Kok Bisa Menang?
Oleh: Ndaru Anugerah
Gelaran pilpres di Turki telah usai. Erdogan lagi-lagi terpilih menjadi sosok presiden di negara tersebut. Padahal pesaing utamanya (Kemal Kilicdaroglu) nyaris menyaingi sang petahana pada pemungutan suara di dua putaran. Tapi toh ujung-ujungnya sang Sultan nggak tergoyahkan. (https://www.npr.org/2023/05/29/1178711800/erdogan-turkey-election-takeaways)
Apa rahasia kesuksesan sang Sultan?
Saya mau kasih sedikit bocoran untuk anda agar anda tercerahkan.
Secara geografis, Turki hanya memiliki 3 kota besar dan terbilang penting, yaitu: Istanbul, Ankara dan Izmir. Selain itu, negara ini memiliki ribuan desa kecil, dimana para penduduknya secara umum berpendidikan rendah, fundamentalis Islam dan memegang nilai konservatisme.
Inilah sebenarnya silent majority di Turki, yang nggak terdengar oleh para penduduk yang ada di 3 kota besar tadi, termasuk para politisinya. (https://jcpa.org/article/turkey-between-ataturk%E2%80%99s-secularism-and-fundamentalist-islam/)
Keuntungan yang didapat Erdogan adalah bahwa dirinya adalah sosok yang religius, sehingga mudah untuk melakukan pendekatan yang meyakinkan kepada kelompok silent majority tadi.
Kita flashback sedikit.
Turki modern lahir sejak kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk. Ataturk menjadi pemimpin yang memiliki visi baru untuk negara yang saat itu sudah diambang kehancuran setelah PD I.
Saat ditampuk kekuasaan, Ataturk langsung banting setir buat kebijakan nasional, antara lain pelarangan penggunaan jilbab bagi kaum Hawa dan pelarangan menggunakan alfabet Arab sebagai aksara resmi di Turki. Sebagai gantinya alfabet Latin malah diperkenalkan kepada masyarakat. (https://www.languageconflict.org/wp-content/uploads/2020/08/gordonwatsonpaper_compressed.pdf)
Singkatnya, Ataturk mulai meninggalkan cara lama model Asia dan Timur Tengah untuk dipakai oleh segenap masyarakat Turki, dan memalingkan kiblat kebijakan nasional ke bumi Eropa.
Apakah semua masyarakat Turki menerima pembaharuan yang dibawa Ataturk?
Nggak juga. Masa iya negara yang penduduknya mayoritas Islam, tapi nggak satupun mengadopsi nilai-nilai keislaman, malah menerapkan demokrasi sekuler ala Barat?
Yang Bokir ajah…
Silent majority inilah yang suaranya ‘tidak pernah didengar’ selama ini, walaupun mereka banyak.
Dan sosok Erdogan paham bagaimana cara memanen suara mereka dengan cara memainkan politik identitas. Dengan kepiawaiannya, Erdogan berhasil memukau mereka yang punya romantisme sejarah Turki yang gemilang sebagai pemimpin dunia Islam.
“Kalo mau menjadikan kekhalifahan Islam kembali dengan Turki sebagai kiblatnya, maka pilihlah Erdogan,” begitu kurleb-nya.
Ini sebenarnya kunci sukses seorang Erdogan yang berhasil mengantarnya kembali ke puncak kepemimpinan Turki pada 28 Mei 2023 silam.
Sudah jadi rahasia umum kalo Erdogan punya kelompok Ikhwanul Muslimin sebagai motor penggerak kepemimpinannnya. Wajar jika kemudian pemerintahan Erdogan melembagakan Alquran sebagai satu-satunya konstitusi Islam bukan hanya sebagai keyakinan, tetapi juga sistem kehidupan yang mengatur pemerintahan sipil di Turki.
Agak miris, memgingat banyak negara (mulai dari Mesir, Suriah, Rusia hingga Arab Saudi) sudah me-label Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris, justru Erdogan memberi angin segar bagi kelompok tersebut untuk bisa bercokol di Turki.
Dan yang nggak banyak orang paham, kalo justru negara-negara Barat (utamanya AS) malah menggandeng Ikhwanul Muslimin sebagai ‘mitra’ mereka dalam memberangus pemimpin negara tertentu yang nggak sejalan dengan garis kebijakan mereka.
Nggak heran jika Senator AS asal Texas, Ted Cruz, gagal meloloskan UU di Negeri Paman Sam yang intinya melarang eksistensi organisasi Ikhwanul Muslimin. (https://www.politico.com/blogs/2016-gop-primary-live-updates-and-results/2016/03/ted-cruz-defends-muslim-patrols-221143)
Kenapa?
Karena memang AS (dan juga sang Ndoro besar) membutuhkan organisasi Ikhwanul Muslimin sebagai mesin perang mereka. (baca disini dan disini)
Konflik di Suriah adalah contoh yang paling gamblang, dimana AS berkeinginan agar rezim Bashar Assad dilengserkan dengan menggandeng mitra Ikhwanul Muslimin sebagai eksekutor lapangannya.
Selain itu, Turki juga dijadikan daerah penyangga bagi para jihadis untuk bisa masuk ke Suriah dan juga jalur masuk persenjataan yang hendak dipakai dalam melawan rezim Assad. (baca disini dan disini)
Operasi CIA yang berkode Timber Sycamore dengan jelas menyatakan hal ini, semasa Obama berkuasa. (baca disini)
Kenapa Erdogan mau terlibat dalam perang di Suriah?
Alasan klasik, untuk memperluas pengaruh. Bukankah kalo pemimpin Suriah satu garis dengan Ikhwanul Muslimin, Turki juga yang diuntungkan?
Belakangan, ekspektasi sang Sultan meleset. Assad nggak berhasil ditumbangkan, dan sebaliknya Turki ‘dipaksa’ menerima 3,6 juta pengungsi Suriah akibat proyek gagal tersebut. (https://www.worldbank.org/en/news/feature/2021/06/22/10-years-on-turkey-continues-its-support-for-an-ever-growing-number-of-syrian-refugees)
Kembali ke laptop…
Apa yang membuat oposan Erdogan tidak berdaya terhadap sang Sultan?
Selain oposisi nggak pandai dalam menggarap grass root yang notabene-nya para fundamentalis Islam, sebaliknya Erdogan cukup jeli dalam menyingkirkan lawan-lawan potensialnya.
Misalnya mantan Wakikota Istanbul, Ekrem Imamoglu yang bukan saja muda dan cerdas tapi juga punya karisma.
Tahu betapa potensialnya sosok Imamoglu untuk mengusik singgahsananya, Erdogan terpaksa merekayasa kasus agar dirinya nggak bisa melaju kembali ke panggung politik. (https://www.theguardian.com/world/2022/dec/14/istanbul-mayor-ekrem-imamoglu-sentenced-to-jail-over-fools-insult)
Makanya dalam analisa saya tempo hari saya katakan bahwa Erdogan itu politisi kawakan yang bukan kaleng-kaleng. Dan banyak analis nggak paham kenyataan ini. (baca disini)
Sebenarnya, Erdogan bisa saja dikalahkan dalam kontestasi asal ketemu lawan yang seimbang. Misalkan oposisi bisa pasang sosok Mansur Yavas (sebagai Walikota Ankara) yang lebih greng untuk diadu dengan Erdogan, ketimbang memilih sosok Kemal Kilicdaroglu sebagai penantang.
Nyatanya, oposisi entah nggak jeli atau gimana, kok malah pilih sosok akuntan uzur seperti Kilicdaroglu.
Walhasil belum bertanding-pun, oposisi sudah layu sebelum berkembang.
Dan sebagai analis geopolitik, saya pahami kenyataan ini sedari awal.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments