Menilik Vaksin Terawan
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, kenapa nggak bahas soal vaksin Nusantara?” begitu pertanyaan seorang netizen. Karena banyak pertanyaan sejenis, saya akan coba mengulasnya dalam konteks geopolitik, tentunya.
Awalnya Indonesia lewat PT Bio Farma berencana membuat vaksin Kopit sendiri yang belakangan disebut vaksin Merah Putih, yang bibit vaksinnya juga dihasilkan oleh peneliti Indonesia sendiri. (https://independen.id/read/data/1119/menunggu-vaksin-merah-putih-vaksin-buatan-anak-negeri/)
Untuk pengembangan vaksin 6 lembaga ditunjuk, yaitu: Eijkman, LIPI, dan 4 kampus ternama UI, ITB, UGM dan Unair. Rencananya vaksin itu untuk menutupi kekurangan vaksin yang diperlukan untuk kepentingan jangka panjang. Kemandirian vaksin, istilahnya.
Namun ada kendala waktu, mengingat vaksin MP akan tersedia dalam jumlah besar pada triwulan ketiga di tahun 2022 atau sekitar bulan Agustus 2022. Ini jelas terlalu lama kalo pemerintah punya target menuntaskan pandemi Kopit. (https://www.liputan6.com/news/read/4384687/menkes-terawan-vaksin-merah-putih-baru-siap-tahun-2022)
Ditengah kegamangan, tetiba muncul vaksin baru yang diberi nama vaksin Nusantara yang dikembangkan oleh Rama Pharma bersama Aivita Biomedical AS, Universitas Diponegoro dan juga RSUP Dr. Kariadi Semarang. Penggagasnya adalah mantan Menkes Terawan. (https://kumparan.com/kumparansains/mengenal-sel-dendritik-basis-vaksin-nusantara-yang-digagas-terawan-1vC55hSugrF)
Memang vaksin Nusantara itu apa?
Menurut Terawan, vaksin Nusantara merupakan vaksin yang sifatnya personalized alias dendritic cells vaccines, dimana sel dendritik merupakan sel imunitas yang diperlukan untuk membentuk sistem imun dalam tubuh manusia
Dan uniknya, karena bersifat personal, maka satu vaksin hanya dibuat khusus untuk satu orang. Jadi otomatis vaksinnya aman bahkan bagi mereka yang punya penyakit penyerta (komorbid) sekalipun.
Awalnya, darah pasien diambil untuk diambil sel darah putihnya dan sel dendritik-nya. Sel tersebut kemudian dikenalkan dengan rekombinan SARS-CoV-2. Dan setelah satu minggu, maka dalam bentuk vaksin disuntikkan kembali ke orang yang sama.
Lantaran berasal dari sel yang diambil dari tubuh penerima, maka kecil kemungkinan vaksin tersebut menyebabkan infeksi atau penolakan sangat kecil. (https://nasional.tempo.co/read/1434191/tim-pengembang-sebut-harga-vaksin-nusantara-sekitar-us-10-dolar/full&view=ok)
Vaksin tersebut dikatakan telah mengalami uji coba tahap pertama pada 30 orang, dimana hasilnya cukup memuaskan. “Efek sampingnya minimal, berjalan singkat dan tak perlu pengobatan,” demikian kurleb-nya. Sehingga vaksin Nusantara bisa melaju ke uji coba tahap kedua.
Lalu apa keuntungannya jika seandainya menggunakan vaksin tersebut?
Pertama vaksin tersebut diklaim dapat mengembangkan kekebalan lebih lama dibanding vaksin lainnya, karena menggunakan basis sel dendritik. (https://znews.id/2021/02/18/bpom-evaluasi-vaksin-covid-19-yang-dikembangkan-dr-terawan-dan-tim/)
Bahkan tim uji klinis mengklaim bahwa vaksin tersebut bisa menciptakan antibodi alias kekebalan tubuh seumur hidup karena mampu membentuk kekebalan seluler pada sel limfosit T. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210217175237-20-607537/antibodi-vaksin-nusantara-terawan-diklaim-tahan-seumur-hidup)
Udah gitu, harga vaksin Nusantara termasuk ramah dikantong, karena harganya yang hanya USD 10 atau sekitar Rp.140 ribu. Kok bisa murah? Karena anggaran penyimpanan, distribusi dan penambahan bisa ditekan, sehingga jatuhnya harga ditingkat konsumen bisa murah.
Dan satu lagi, vaksin tersebut tergolong aman mengingat tidak ada tambahan adjuvant maupun komponen binatang. Jadi otomatis halal untuk dikonsumsi.
Lantas bagaimana menanggapi klaim yang diajukan Terawan dan tim-nya?
Secara ilmiah, klaim tersebut memang harus dibuktikan. Misalnya hasil uji coba tahap 1 dipublikasi pada jurnal yang sudah melalui validasi rekan sejawat alias peer-review. Ini perlu dilakukan, jadi publik nggak bertanya-tanya tentang efektivitas dan keamanan vaksin dikemudian hari.
Kedua, saya sebagai analis memandang Terawan sebagai dokter yang punya kepedulian terhadap kemanusiaan. Tujuan dia menyediakan vaksin Nusantara nggak lain untuk mengatasi pandemi yang berlarut-larut. Harapannya, setelah divaksin, maka masalah pandemi bablas dengan sendirinya.
Dan saya memandang baik itikad seorang Terawan. Lagian kalo dinalar, kenapa harus dibuat vaksin yang demikian ruwet, wong faktanya Kopit bukanlah virus yang mematikan. Dan vaksin Nusantara menjanjikan secercah harapan untuk itu. (baca disini).
Namun, itikad baik seorang Terawan bakalan nggak berjalan lancar, mengingat program Ndoro besar bakalan terganjal seandainya vaksin tersebut dipakai di Indonesia.
Kalo nggak percaya, tengok apa yang dikemukakan Ketua Satgas Kopit Persatuan Dokter Wakanda, “Terlalu prematur kalo dikatakan vaksinnya berhasil, karena itu baru melewati fase uji coba tahap pertama. Lalu apa mungkin vaksin tersebut dapat membentuk kekebalan seumur hidup?”
Lebih lanjut dikatakan, bahwa kalo bicara klaim ya harus didasarkan pada data alias evidence based medicine seperti yang sudah dilakukan oleh vaksin-vaksin buatan Big Pharma. (https://www.suara.com/news/2021/02/19/070442/terawan-klaim-vaksin-nusantara-kebal-covid-19-pb-idi-meradang)
Prok-prok-prok…melihat penilaian yang dilontarkan ketua satgas yang gelarnya bererot tersebut, saya jadi nelongso. Yang terdidik saja asal nyeblak, lha gimana kaum middle class-nya?
Saya perlu sampaikan bahwa vaksin-vaksin Big Pharma yang katanya kredibel tersebut, nyatanya data uji cobanya juga nggak komplit alias menyajikan data bodong. Tapi dengan pede-nya diklaim oleh media mainstream punya efektivitas 95%.
Saya bisa katakan demikian karena saya pernah ulas dengan detil soal itu. (baca disini dan disini)
Singkatnya kita bisa proyeksi hambatan-hambatan yang bakal dihadapi oleh seorang Terawan dalam mewujudkan niat baiknya tersebut.
Apakah bisa berjalan lancar?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments