Menunggu Vaksin Jatuh Dari Langit
Oleh: Ndaru Anugerah
“Kapan sih pandemi Corona bakal berakhir? Apa sampai terciptanya vaksin?” tanya seorang netizen di ujung sana.
Kalo-pun vaksin sudah tersedia, namun perangkat hukum yang bakal melindungi perusahaan pembuat vaksin dari jeratan hukum belum ada, maka bisa dipastikan vaksin nggak bakal bisa digunakan.
Siapa juga yang mau kena jeratan hukum saat vaksin sudah diproduksi, dan saat dipakai pada manusia, kemudian membawa efek samping yang sugguh tidak diharapkan. Ingat kasus vaksin Pamdemrix, kan? (baca disini)
Dengan kata lain, produsen vaksin masih menunggu payung hukum bagi implementasi vaksin di lapangan. Jadi, kalopun ada collateral damage saat pemakaian vaksin (dari mulai cacat permanen hingga kematian), produsen vaksin nggak bisa dijerat hukum. Apapun yang terjadi.
Jadi, para produsen vaksin (baca: Big Pharma) tengah mendukung payung hukum yang melegalisasi tindakan mereka. Mo pasien bakal mati atau cacat permanen, nggak ada kaitannya sama mereka. Yang penting vaksin laris manis tanjung kimpul. Titik.
Tentang ini saya pernah ulas. (baca disini)
Aliasnya perangkat UU yang akan memberikan perlindungan bagi Big Pharma belum diketok palu. Tapi kalo lihat gelagatnya, tinggal menunggu hari saja UU tersebut akan disahkan. (https://www.arnoldporter.com/en/perspectives/publications/2020/07/coronavirus-legislative-update)
Nggak percaya?
Di tahun 2011, Mahkamah Agung AS memutuskan untuk ‘melindungi’ Big Pharma (Wyeth) dari tuntutan hukum yang dilayangkan beberapa pihak yang menuntut ganti rugi atas cedera atau kematian yang terjadi akibat menggunakan vaksin yang diproduksi perusahaan tersebut.
Masih banyak berita senada kalo anda rajin mencarinya. Intinya adalah negara AS bakal mengesahkan UU yang memberikan perlindungan pada Big Pharma terhadap tuntutan hukum. Setidaknya sejarah sudah membuktikannya.
Padahal, berdasarkan fakta bahwa semua vaksin mengandung racun berbahaya bagi kesehatan manusia, dari mulai merkuri, aluminium, formaldehida hingga fenoksietanol (baca disini)
Dengan kata lain, vaksin justru bisa lebih berbahaya daripada penyakit yang ingin ditanggulangi. Namun kebanyakan orang nggak sadar ini. Kenapa? Karena media mainstream sengaja menyembunyikan informasi tersebut. “Bisa-bisa orang mati ketakutan untuk divaksin.”
Selanjutnya, menyangkut vaksin si Kopit, sudah bertahun-tahun penelitian digelar untuk menemukan vaksin Corona, namun nyatanya belum ada satupun yang berhasil dikembangkan. Ingat kasus virus Corona jilid 1 di tahun 2002 di China, bukan? (baca disini)
Namun anehnya, kini orang sudah ramai-ramai punya persepsi yang sama, bahwa satu-satunya cara agar pandemi Corona dapat berlalu adalah bahwa kita harus divaksin. Aneh bukan?
Berbekal asumsi ini, maka semua perusahaan farmasi berlomba-lomba adu cepat dalam mengembangkan dan memproduksi vaksin bagi jutaan orang dalam melawan si Kopit. Bukankah bagi industri, makin banyak vaksin diproduksi sama dengan banyaknya keuntungan yang didapat?
“Ada lebih dari 148 vaksin Corona dalam tahap pengembangan,” begitu kurleb isi beritanya. (https://www.thailandmedical.news/news/covid-19-pandemic-thailand-medical-news-exclusive-review-6-months-into-the-pandemic-we-are-still-clueless-grim-future-ahead)
Lalu dimana faktor keselamatan manusia ditempatkan? Bukankah proses membuat vaksin itu butub waktu tahunan? Kenapa semua prosedur dipangkas dengan menjadikan vaksin identik dengan tahu bulat?
Menurut dokter James Todaro, “Perusahaan farmasi telah menggunakan kekuatannya untuk mengkooptasi setiap lembaga yang mungkin menghalangi jalan mereka dalam menjual vaksin. Mulai dari FDA hingga profesi medis itu sendiri.” (https://www.medicineuncensored.com/twenty-one-billion-reasons)
Lebih lanjut dokter Todaro menambahkan, “Dalam sejarah kedokteran, tidak ada satu-pun obat yang ‘diserang’ secara luar biasa oleh media mainstream, WHO, hingga pejabat pemerintah dan pakar kesehatan, selain hydroxychloroquine.”
Pendapat dokter Todaro nggak berlebihan, mengingat hampir semua outlet pemberitaan media mainstream, isinya menegasikan keampuhan obat potensial bagi si Kopit tersebut. Bahkan sekelas Mayo Clinic mati-matian mengklaim bahwa tidak ada obat yang efektif bagi C19, termasuk hydroxychloroquine. (https://newsnetwork.mayoclinic.org/discussion/debunking-covid-19-myths/)
Nyatanya, epidemiolog kondang Dr. Harvey Risch menyatakan, “Hydroxychloroquine sangat efektif diberikan kepada pasien pada tahap awal pengobatan C19, terutama jika diberikan dengan kombinasi azithromycin dan doxycycline serta zinc.” (https://medicine.yale.edu/news-article/26218/)
Kenapa informasi ini tidak bisa didapatkan publik? Ya karena ada mega proyek berjudul vaksinasi global plus yang dapat mendatangan uang besar. Caranya dengan meyakinkan orang bahwa vaksin-lah solusi tunggal atas masalah si Kopit. Kalo sudah divaksin, maka masalah akan segera teratasi.
Padahal bahaya besar justru mengancam masa depan anda, saat anda divaksin Corona.
Robert F. Kennedy Jr. menjelaskan, “Pandemi SARS yang terjadi di tahun 2003 adalah alias pembuka jalan bagi pandemi C-19 di tahun 2020.” (https://childrenshealthdefense.org/news/two-tiered-medicine-why-is-hydroxychloroquine-being-censored-and-politicized/)
Dengan kata lain, bahaya akan vaksinasi si Kopit, bukan main-main. Siapa yang bisa menjamin bahan dasar pembuatnya bukan bahan yang berbahaya? Yang kedua, apa urgensi-nya juga kita wajib divaksin? Kecuali kondisinya: anda divaksin atau anda mati. Itu lain lagi ceritanya.
Jelas bahwa ada solusi yang lebih masuk akal ketimbang pemakaian vaksin pada tubuh manusia dalam memerangi pandemi si Kopit. Dan hydroxychloroquine-lah solusi tersebut.
“Pada awal April, survei dokter di AS menemukan bahwa sekitar 65% dokter akan meresepkan hydroxychloroquine bagi para pasien. Dan para dokter (67%) nggak ragu untuk mengkonsumsi obat tersebut bagi diri mereka sendiri kalo misalnya mereka terkena si Kopit,” ungkap Children’s Health Defense.
Kalo para dokter di AS sana dengan akal sehat mereka percaya akan kehandalan obat hydroxychloroquine, kenapa juga kita masih berharap vaksin jatuh dari langit?
Bagi saya, pemerintah yang peduli pada rakyatnya, akan mempromosikan hydroxychloroquine sebagai solusi atas pandemi si Kopit, karena selain murmer efeknya tidak membahayakan bagi orang bila mengkonsumsinya.
Bukan malah bersekongkol sama Big Pharma dengan mengatakan bahwa vaksin merekalah solusi satu-satunya mengatasi si Kopit, bila sudah tersedia. Mpok Ijah juga bisa ngomong begitu.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments