Kontestasi Adu Cepat


513

Oleh: Ndaru Anugerah

“Corona virus akan segera berakhir dalam 1-2 bulan ke depan, karena COVID-19 hanya efektif di musim gugur (autumn) dan dingin (winter),” demikian ungkap seorang virology dari AS.

Merujuk pada pernyataan tersebut, artinya nasib COVID-19 hanya akan efektif hingga akhir Maret ini, karena terhitung April, di China khususnya, sudah berganti musim semi (spring). Dan di musim semi, tuh virus udah nggak efektif untuk menyebar apalagi berkembang.

Lantas, timbul pertanyaan: siapa yang akan menjadi ‘pahlawan’ dengan menjual vaksin COVID-19 kepada publik dunia?

Saya coba jawab, tapi pakai data. Jadi nggak katanya-katanya mlulu sehingga kita bisa terhindar dari debat kusir.

Adalah MIGAL Galilee Research Institute yang berlokasi di Galilea, Israel yang digadang-gadang menjadi pihak terdepan dalam menemukan vaksin COVID-19.

“Jika semuanya berjalan sesuai rencana, vaksin (COVIS-19) akan selesai dalam beberapa minggu dan siap digunakan dalam 90 hari,” demikian ungkap Offir Akunis selaku Menteri Sains dan Teknologi Israel yang dikutip pada Jerusalem Post (27/2).

Menurut keterangan sang menteri, selama 4 tahun terakhir para ilmuwan di MIGAL telah mengembangkan vaksin melawan infeksi virus bronchitis (IBV), salah satunya infeksi yang disebabkan oleh virus Corona dan turunannya.

Itu vaksin rencana dikonsumsi via oral alias diteteskan ke dalam mulut dan tubuh akan otomatis menciptakan sistem pertahanan tubuh atau antibody (anti IBV). Setidaknya begitu keterangan resmi Dr. Chen Katz selaku pemimpin kelompok bioteknologi MIGAL.

Sampai saat ini, MIGAL telah pada tahap uji praklinis yang dilakukan pada hewan. Uji praklinis telah sukses dilakukan di Veterinary Institute. Masih perlu uji klinis pada manusia sebelum melakukan produksi skala besar untuk bisa dijual ke pasar.

Artinya, 90 hari itulah waktu minimal yang diperlukan sebelum dipasarkan ke khalayak umum. Bisa juga molor dari jadwal semula.

Lantas, apa cuma Israel yang telah mengembangkan vaksin untuk COVID-19?

Tentu tidak Rudolfo…

Amrik juga nggak ketinggalan mengembangkan vaksin COVID-19 tersebut. Kalo Israel butuh waktu 90 hari alias 3 bulan, maka pihak AS butuh waktu satu tahun hingga 18 bulan. Aliasnya butuh waktu yang agak lama.

“Laboratorium penelitian militer kamu bekerja dengan cepat untuk mencoba membuat vaksin. Jadi kita akan melihat bagaimana penelitian berkembang selama beberapa bulan ke depan,” demikian ungkap Ketua Kepala Staf Gabungan – Jenderal Mark A. Milley (2/3) pada Reuters.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa dalam mengembangkan vaksin, kok pakai fasilitas laboratorium milik angkatan bersenjata? Kalo anda baca ulasan saya sebelumnya, maka anda akan mengerti alasannya (baca disini).

Dari kedua pihak tersebut, masih ada 1 pihak lain yang cukup progres dalam mengembangkan vaksin COVID-19, namanya perusahaan farmasi Moderna yang berlokasi di Cambridge, Massachusetts, AS.

Kabarnya, vaksin yang merupakan turunan dari remdesivir tersebut sudah ready, tinggal uji keamanan pada bulan Maret ini. “Tingkat efektivitasnya sangat tinggi hingga mencapai 90%,” demikian ungkap sebuah sumber di Moderna.

Kalo merujuk pada keterangan pers yang dikemukan oleh pihak Moderna, maka per April atau paling lambat Mei, vaksin sudah bisa beredar dipasaran. Warbiyasah…

Jika kita agak kritis, kenapa AS dan Israel yang justru leading dalam mengembangkan vaksin COVID-19?

Mungkin pernyataan Philip Giraldi, selaku mantan perwira di CIA bisa dijadikan rujukan.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Strategic Culture Foundation, Giraldi menyatakan, “AS dan Israel telah berkonspirasi dalam menciptakan senjata biologis bernama virus Corona.” (6/7)

Ini yang mengeluarkan pernyataan bukan kaleng-kaleng, karena seorang mantan perwira di CIA. Kalo yang mengeluarkan pernyataan Fadli Zon atau Fahira Idris, kita bisa tutup mata, bray…

Menurutnya, virus Corona sengaja diciptakan guna menghantam China sebagai kelanjutan gagalnya perang dagang yang dilakukan AS terhadap China.

Sebenarnya ini bukan barang baru. Dulu, Israel dan AS pernah menciptakan virus komputer yang bernama Stuxnet di tahun 2005. Virus ini sengaja dikembangkan guna menginfeksi serta merusak sistem kontrol dan pengoperasian komputer Iran yang terkoneksi dengan senjata nuklirnya.

Namun apesnya, ibarat virus Stuxnet yang mempunyai efek samping yaitu juga menginfeksi komputer warga sedunia, bukan hanya Iran. Nah, COVID-19 juga ternyata membawa efek domino serupa yaitu mampu menyeret komunitas global ke dalam jurang resesi ekonomi.

Nggak heran, akibat COVID-19 maka Trump banyak dikecam dan dipersalahkan oleh publik Amrik. Dan ini bisa jadi hal buruk, karena lumbung suara Trump pada pilpres yang digelar tahun 2020 ini, bukan nggak mungkin akan tergerus akibat Corona’s effect.

Sampai sini clear, ya

“Bukankah China juga telah mengembangkan vaksin COVID-19, bang?”

Benar. Namun masih dalam tahap in vitro alias baru penelitian yang dilakukan di laboratorium pada PBM alias pasien bukan manusia. Keefektifannya juga patut dipertanyakan, karena hanya mengkombinasi obat remdevisir dengan Chloroquine Phosphate alias obat malaria.

Butuh waktu lumayan lama dalam menciptakan vaksin yang siap dijual ke pasaran.

Jadi paham kan, Roberto Carlos?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!