Gagap Statistik


508

Oleh: Ndaru Anugerah

“Banyak berita seliweran mengulas kasus COVID-19. Namun semuanya satu suara bahwa COVID-19 adalah hal yang sungguh menakutkan. Bisa kasih pencerahan, bang?” demikian tanya seseorang nun jauh disana.

Sejak merebaknya wabah COVID-19 di Wuhan, saya sudah mulai curiga bahwa ada banyak hal ketidakwajaran ditemukan disana. Tentang ini saya sudah pernah mengulasnya beberapa kali. Satu kesimpulannya, bahwa terjadi perang biologis disana, merupakan kelanjutan dari perang dagang yang gagal.

Kalo kita cermat, ada 3 hal yang merupakan faktor dominan yang menjadikan kasus Wuhan menjadi demikian hebohnya. Pertama adanya perang biologis yang dilancarkan. Kedua, gagap statistik. Dan ketiga framing media dan badan dunia. Apa maksudnya?

Mengenai perang biologis alias biological warfare, ini saya pernah mengulasnya dengan lengkap pada tulisan terdahulu. (baca disini)

Yang kedua adalah gagap statistik. Dalam melihat deretan angka yang disajikan, orang awam yang kurang mengerti maksud angka-angka, pasti akan telan bulat-bulat data yang disajikan.

Kalo GISAID (Global initiative on Sharing All Influenza Data) menyajikan temuan bahwa per tanggal 14 Februari, setidaknya ada sekitar 64,418 orang terinfeksi COVID-19. 1491 orang dinyatakan tewas dan 7,064 orang dinyatakan recover. Apa yang kemudian ada dibenak anda?

“Anjay, yang mati udah ribuan,” begitu kurleb-nya.

Apa salah? Nggak salah. Tapi tidak komprehensif dalam membaca datanya.

Kalo saya, selaku orang yang bergumul saban hari dengan statistik, akan membacanya begini:

Pertama, dari yang terinfeksi ternyata banyakan yang sembuh daripada jumlah yang tewas. Kedua, tingkat kematian orang yang terinfeksi kemudian mati, hanya sekitar 2,3%.

Dari data tersebut saya bisa ambil kesimpulan, ternyata COVID-19 nggak cukup mematikan seperti yang dihembuskan banyak pihak. Banyakan yang sembuh daripada yang mati.

Bandingkan dengan kasus yang melibatkan varian virus Corona sejenis, misalnya SARS dan MERS.

SARS yang pernah menghantam China di tahun 2002 hingga pertengahan 2003, belakangan sukses menginfeksi 8.098 orang di berbagai belahan dunia, dengan jumlah tewas 774 orang, sisanya sembuh.

Artinya apa? Tingkat kematian yang diakibatkan SARS mencapai 9,6%.

Bagaimana dengan MERS?

Merujuk pada rilis yang dikeluarkan WHO, MERS memiliki tingkat kematian sebesar 37%. Para pakar virology di Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bahkan menyatakan bahwa kalo ada 10 orang terkena MERS, bisa dipastikan 3-4 orang bakalan tewas dengan sukses.

Berdasarkan data tersebut, apa yang bisa disimpulkan? Bahwa pernyataan COVID-19 bukanlah virus ganas yang mematikan, benar adanya. Setidaknya data yang berbicara.

Lagian, yang banyak terkena secara langsung adalah orang China yang memiliki ras Mongoloid. Terus ngapain harus panik?

Jadi aneh kalo tiba-tiba badan dunia sekelas WHO bukan saja mengeluarkan status kesiagaan level risiko penularan untuk COVID-19 dari skala global tingkat tinggi menjadi sangat tinggi.

Kenapa dikatakan aneh?

Di Amrik sana, pada tahun 2018 saja terdapat 40.414 angka kematian akibat virus influenza. Setidaknya bunyi data resmi yang dikeluarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Itu belum seberapa, bray..

Data 2017 lebih dahsyat lagi. Sebanyak 80 ribu warga AS tewas mengenaskan akibat serangan penyakit flu dan kroni-kroninya semisal pneumonia hingga asma.

Dengan jumlah kematian yang jauh lebih fantastik, kenapa WHO nggak mengeluarkan status yang sama terhadap negara AS kala itu? Ada apa? Apa karena WHO dibawah kendali Mamarika?

Ditambah peran media mainstream internasional sekelas BBC, CNN dan sejenisnya, kasus Wuhan digoreng sedemikian hingga seolah-olah menjadi demikian gawat statusnya.

Padahal data terakhir yang dikeluarkan oleh John Hopkins CSSE per tanggal 3 Maret yang lalu, total orang yang terinfeksi COVID-19 dibelahan dunia ada sekitar 93.000, namun tingkat pemulihan alias recovery-nya meningkat hingga 55%.

Kalo kemudian ditetapkan statusnya sebagai darurat skala global dari tingkat tinggi menjadi sangat tinggi oleh WHO, apa nggak lebay namanya?

Sampai sini clear ya, titik masalahnya.

Aliasnya, skenario biological warfare ini ditujukan bagi China tersebut, tujuannya nggak lain nggak bukan guna menghantam sisi ekonomi sekaligus politiknya. Apakah berhasil? Nggak semudah itu Rudolfo.

Gimana akhir ceritanya?

Ibarat sinetron, akhir ceritanya bakalan gampang ditebak.

Berikutnya akan ada pihak bak dewa penyelamat yang bakal menawarkan vaksin yang bisa mencegah penularan kasus COVID-19 sehingga nggak bakalan berulang.

Bicara vaksin, saya jadi ingat anti-virus untuk komputer. Begitu komputer seseorang dihantam serangan virus, nggak lama bakalan keluar deh anti-virusnya.

Apa ini kebetulan? Kebetulan gigi lu gondrong…

Pihak yang kemudian jualan anti-virus, dialah penyebar virus sesungguhnya.

Jadi paham kan, Bambang.

Masa yang beginian aja, harus panggil Lucinta Luna buat ngebahasnya?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!