Upaya Merekayasa Cuaca


515

Upaya Merekayasa Cuaca

Oleh: Ndaru Anugerah – 10042025

Dalam sebuah diskusi, seorang bertanya kepada saya tentang fenomena banjir yang terjadi di banyak tempat. Bukan saja di negara tercinta, tapi juga terjadi di banyak negara. Dari mulai Kongo, Inggris, Argentina, Afghanistan, Uruguay, Oman, Prancis, Jerman hingga Selandia Baru. Semua bermasalah dengan banjir. (https://floodlist.com/)

Apa penyebabnya?

Menurut kamus media mainstream, ini disebabkan karena adanya Sungai Atmosfer yang mengakibatkan pembuangan hujan dalam jumlah besar, ke wilayah-wilayah dunia yang bersifat merusak, seperti bencana banjir. (https://www.noaa.gov/stories/what-are-atmospheric-rivers)

Adalah karbon yang dikeluarkan dari sisa pembakaran migas dan batubara (serta nuklir) yang dituding menyebabkan fenomena Sungai Atmosfer tersebut.

Dan solusinya cuma satu: jangan pakai energi berbahan karbon yang nggak ramah lingkungan dan beralih ke energi hijau.

Pertanyaannya: kalo memang fenomena Sungai Atmosfer disebabkan oleh aktivitas pembakaran migas, adakah buktinya?

Layaknya plandemi Kopit, semua hanya asumsi hasil pemodelan komputer yang nggak bisa diverifikasi kebenarannya. (baca disini, disini dan disini)

Lantas, jika bencana banjir yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh jejak karbon sisa pembakaran migas, lalu apa penyebab sesungguhnya?

Jawaban yang paling mungkin adalah geo-engineering alias rekayasa bumi.

Adalah Prof. Peter Wadhams dari Universitas Cambridge yang mulai memperkenalkan istilah geo-engineering secara luas di tahun 2012 silam, dalam upayanya menanggulangi krisis iklim akibat pemanasan global.

“Kita harus memulai geo-engineering walaupun peluang keberhasilannya sangat kecil,” ungkapnya. (https://www.euractiv.com/section/climate-environment/news/climate-change-expert-calls-for-geoengineering-and-nuclear-binge-to-avert-global-warming/)

Benarkah proyek geo-engineering pertama digagas oleh Prof. Wadhams?

Faktanya, pihak militer dan badan intelijen AS telah mengembangkan geo-engineering jauh sebelumnya selama beberapa puluhan tahun.

Pada Juni 1966, Angkatan Udara AS merilis laporan dengan judul yang spektakuler: “Cuaca sebagai Pengganda Kekuatan: Menguasai Cuaca pada tahun 2025.” (https://web.archive.org/web/20170909014905/http:/csat.au.af.mil/2025/volume3/vol3ch15.pdf)

Apa isi laporan tersebut?

Penggunaan geo-engineering untuk meningkatkan curah hujan, mencegah curah hujan, menghilangkan tutupan awan dan kejadian-kejadian lainnya yang dapat digunakan sebagai senjata perang.

Dengan adanya geo-engineering maka AS bukan saja bisa menciptakan pola cuaca yang sama sekali baru tapi juga mengubah iklim global dalam skala luas dan dalam waktu yang lama.

“Pada 2025 mendatang, kita akan dapat ‘menguasai’ cuaca,” begitu isi dokumen rahasia tersebut. Dengan demikian, menurut prediksinya, AS akan menjadi pihak yang dapat memanipulasi cuaca pada tahun 2025 ini.

Pada dekade yang sama, tepatnya di tahun 1966, Menlu AS kala itu, Henry Kissinger yang berkolaborasi dengan CIA, menggagas proyek geo-engineering rahasia yang diberi nama Operasi PopEye saat Perang Vietnam berlangsung.

Caranya dengan menyemprotkan cairan perak iodida dan timbal iodida ke awan yang merangsang terjadinya hujan lebat dan mengakibatkan lumpur dalam jumlah banyak, sehingga jalur yang disasar tidak bisa dilewati oleh pasukan Vietkong. (https://www.nytimes.com/1972/07/03/archives/rainmaking-is-used-as-weapon-by-us-cloudseeding-in-indochina-is.html)

Seiring berjalannya waktu, proyek geo-engineering juga makin canggih.

Di tahun 1985, ketika bekerja untuk ARCO Oil Company yang mendapat sokongan dana dari DARPA Pentagon, Dr. Bernard Eastlund dari Universitas Columbia, mengajukan paten berupa alat yang bisa mengubah suatu wilayah di atmosfer, ionosfer dan magnetosfer bumi.

“Pancaran gelombang radio yang kuat ke ionosfer dapat menyebabkan pemanasan dan peningkatan ionosfer bumi yang tentu saja bisa digunakan untuk mengendalikan cuaca, mengubah tornado hingga menciptakan atau menganulir curah hujan,” begitu kurleb-nya. (https://patents.google.com/patent/US4686605A/en)

Apa yang nggak diceritakan adalah bagaimana hak paten tersebut kemudian dibeli oleh pihak militer AS lalu menjualnya pada kontraktor militer bernama Raytheon.

Asal tahu saja, bahwa Raytheon selaku salah satu pemain utama di Military Industrial Complex banyak terlibat dalam pembangunan setiap susun radar pemanas ionosfer utama di kolong jagat, termasuk salah satunya proyek fenomenal HAARP (High-frequency Active Auroral Research Program).

Secara umum, HAARP adalah antenna radar berpenampang sangat kuat yang diarahkan ke ionosfer. Ionofer sendiri adalah lapisan atmosfer di dataran tinggi dengan partikel bermuatan sangat tinggi. Jika radiasi diproyeksikan ke ionosfer, sejumlah besar energi dapat dihasilkan dan digunakan untuk ‘memusnahkan’ wilayah tertentu.

Setelah sukses mendatangkan polemik, HAARP di Gakona akhirnya ditutup oleh militer AS di tahun 2013 silam. Namun, proyek HAARP nggak berhenti sampai disitu.

Pada tahun 2015, HAARP dilanjutkan pada Universitas Alaska yang berlokasi di Fairbanks. (https://www.afgsc.af.mil/News/Article-Display/Article/629158/haarp-transitions-from-air-force-to-university-of-alaska-fairbanks/)

Parahnya, pihak militer AS dan mitra kerjasamanya terus mengembangkan HAARP jauh melebihi kapasitas awalnya. Jika dulu HAARP hanya berkapasitas 3,6 megawatt, maka saat ini kapasitas tersebut dianggap outdated alias usang.

Proyek HIPAS (High Power Auroral Stimulation Observatory) yang berlokasi di sebelah timur Fairbanks, bahkan punya kapasitas 70 megawatt. (https://www.thelivingmoon.com/45jack_files/03files/HIPAS_HIgh_Power_Auroral_Stimulation_Observatory.html)

Atau EISCAT (European Incoherent Scatter Scientific Association) yang berlokasi di Tromso, Norwegia bahkan berkapasitas 1,2 gigawatt. (https://www.thelivingmoon.com/45jack_files/03files/EISCAT_Ramfjordmoen_Tromso_Norway.html)

Jika HAARP yang punya kapasitas ‘kecil’ saja bisa menciptakan badai, lantas bagaimana dengan HIPAS atau EISCAT yang punya kapasitas super jumbo?

Apakah berlebihan jika bencana banjir yang melanda banyak negara, terjadi by design yang bertujuan untuk menjustrifikasi proses transisi ke energi hijau?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!