Tuding Mereka Dengan Teori Konspirasi
Oleh: Ndaru Anugerah
Saat rencana besar elite global mulai terkuak oleh sekelompok orang dengan memaparkan beberapa bukti, maka elite global mulai kehabisan akal. Maka cara paling gampang untuk membungkam suara-suara kritis adalah dengan memanggil lembaga fact checker dan memberi label mereka dengan teori konspirasi.
Tentang ini saya pernah bahas dengan sangat lengkap. (baca disini)
Bagi mereka yang dikit-dikit ngomong teori konspirasi kepada orang yang coba membongkar rencana besar tersebut, saya ingatkan baiknya anda pikir ulang akan kebiasaan anda tersebut.
Kenapa? Karena bisa jadi anda nggak paham akan permainan yang sedang berlangsung. Atau yang kedua anda adalah antek elite global alias troll.
Menarik apa yang diungkapkan Peter Koenig selaku analis geopolitik kawakan yang menyatakan hal serupa yang pernah saya ulas beberapa bulan yang lalu. (https://www.21cir.com/2020/08/conspiracy-theory-what-is-it/)
Menurutnya, julukan teori konspirasi adalah taktik yang digunakan elite global dalam membungkam orang/sekelompok orang yang berencana mengungkapkan skenario yang tengah dimainkan oleh mereka.
Labeling teori konspirasi diciptakan oleh CIA tepat setelah PD II, untuk menutup mulut lawan semasa perang dingin berlangsung. Jadi, siapapun yang tidak sejalan dengan kebijakan CIA, akan langsung dicap: teori konspirasi. Dan media mainstream-lah yang didaulat memainkan peran ini.
Ini perlu dilakukan, mengingat fakta bahwa Uni Soviet-lah yang sesungguhnya membuat Hitler dan antek-anteknya bertekuk lutut pada PD II, dan bukannya Anglo-Amerika alias sekutu. Tercatat, 25-30 juta orang warga Soviet tewas pada perang melawan Hitler dan Mussolini. (https://www.nationalgeographic.com/history/magazine/2020/05-06/soviet-victory-battle-berlin-finished-nazi-germany/)
Tapi apa yang terjadi kini? Semua orang tahunya, PD II dimenangkan oleh sekutu. Kalo ada yang bilang bahwa Soviet telah membebaskan Eropa dari bahaya fasisme, maka akan dengan mudah dilabel dengan hoax alias teori konspirasi.
Jadi, teori konspirasi berjalan seiring dengan berita palsu (hoax).
Saat ini, pemainnya bukan hanya media mainstream, tapi juga Big Tech (Google, Youtube, Twitter, Instagram, Facebook). Pada tataran teknis, pihak yang berupaya membongkar skenario dengan membawa segudang data, tanpa berlama-lama langsung dicap teori konspirasi.
Jadi nggak ada guna data yang dibawa sebagai upaya pengungkapan skenario besar elite global. Kalo sudah dicap teori konspirasi, maka otomatis dianggap hoax. Orang sudah nggak punya hak lagi untuk berargumen. Tamat sudah riwayatnya. Dibunuh oleh labeling.
Ya jelas aja. Karena memang begitu permainannya.
Padahal, kalo anda sedikit kritis: adakah cara yang lebih manusiawi ketimbang memberi stempel pada seseorang dengan teori konspirasi? Apakah orang nggak punya hak untuk mengemukakan pendapat? Dimana juga demoksrasi yang amat diagung-agungkan AS saat pembungkaman model begini dibiarkan terjadi?
Sebaliknya, elite global dan para minion-nya justru menyebarkan berita palsu yang sesungguhnya, terutama saat pandemi abal-abal si Kopit. Bagaimana pandemi yang sebenarnya nggak ada, justru dihembuskan sedemikian hebatnya sehingga sukses membius banyak orang untuk percaya.
Lantas lockdown diterapkan pada 193 negara. Negara-negara dipaksa berhutang pada IMF sebagai obat penawar krisis ekonomi. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, jutaan lainnya mulai menghadapi bahaya kelaparan. (https://www.oxfam.org/en/press-releases/12000-people-day-could-die-covid-19-linked-hunger-end-year-potentially-more-disease)
Yang terjadi kemudian, bukan si Kopit yang membunuh orang, tapi situasi kelaparan akibat nggak punya duit buat beli apa-apa. Gimana mau punya duit, wong terus dikurung di rumah?
Meskipun demikian, ada beberapa negara yang nggak tunduk pada permainan elite global tersebut. Mereka lebih pilih akal sehat daripada mengikuti arahan WHO. Swedia dan Belarus adalah contohnya. (https://newseu.cgtn.com/news/2020-05-10/Belarus-defies-lockdown-thousands-parade-to-mark-end-of-World-War-II-Qmqd0bkH9m/index.html)
Mereka pakai cara mereka sendiri guna menolak lockdown. Dan hasilnya cukup sukses, meskipun media mainstream dan para antek elite global mati-matian mengejeknya. Setidaknya ekonomi mereka tetap utuh. (https://www.wsj.com/articles/sweden-has-avoided-a-coronavirus-lockdown-its-economy-is-hurting-anyway-11588870062)
Lalu dimana suara para medis, ahli virology dan epidemiologist?
Mereka bukan nggak tahu akan skenario besar ini. Mereka tahu. Cuma kebanyakan pilih main aman dengan cara tutup mulut. Siapa juga yang nggak takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat berani melawan arus mainstream?
Untungnya nggak semuanya memiliki ketakutan yang sama. Secara diam-diam beberapa mulai buka suara. Kenapa akhirnya mereka berani bersuara? Karena sebagai ilmuwan tugas mereka adalah mengungkapkan kebenaran bukan malah menyangkal kebenaran.
Itu beban moral yang mereka panggul.
Satu yang perlu anda tahu, bahwa si Kopit nggak berbahaya apalagi mematikan. Dr. Anthony Fauci yang bilang begitu dalam New England Journal of Medicine. “Tingkat kematian C19 mungkin sangat kurang dari 1%. Ini artinya pandemi C19 kurleb sama saja dengan pandemi influenza tahunan,” katanya. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejme2002387)
Terus ngapain lockdown dan aturan ribet sana-sini? Lalu kemana suara media mainstream dalam menanggapi pernyataan Dr. Fauci tersebut? Kenapa informasi penting ini tidak di-blow up pada media mereka? Kenapa mereka tutup mulut berjamaah? Kenapa juga Dr. Fauci tidak dicap sebagai teori konspirasi?
Jadi, anda kini tahu permainanan yang sesungguhnya bukan?
Bahwa yang hobi teriak teori konspirasi adalah elite global dan para anteknya alias troll. Tujuannya agar skenario besar mereka tersimpan rapat dan tidak terbongkar.
Apa mereka lupa peribahasa: yang namanya kentut seberapa rapat anda menutupnya, kelak akan tercium juga baunya.
Kini anda yang menjadi hakimnya. Mau terus-terusan dibohongi dan ditakut-takuti oleh elite global dan antek-anteknya, atau justru anda kembali ke fitrah anda sebagai manusia bebas yang berpikir waras.
Keputusan ada ditangan anda.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments