Kebiasaan Yang Mulai Punah


519

Kebiasaan Yang Mulai Punah

Oleh: Ndaru Anugerah

Dalam suatu sesi seminar, saat break saya ditanya oleh seorang peserta. “Menurut abang, apa masalah utama bangsa kita?” tanyanya.

Bingung juga menjawabnya, mengingat pertanyaan itu sangat spontan yang butuh jawaban instan. Tanpa ragu saya langsung menjawab, “Masalahnya mungkin banyak dan saling berkait. Tapi yang utama, menurut saya adalah pada kebiasaan membaca. Disitu bangsa kita lemah.”

Saya jadi teringat ayat pertama dalam Al-Qur’an yaitu Iqra (baca), yang turun kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Iqra sedemikian pentingnya, hingga harus diulang dua kali.

Allah SWT berfirman, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-Alaq:1-5)

Saat itu, Muhammad SAW tidak bisa baca tulis. Lalu kenapa ada perintah baca? Lalu apa maksud perintah baca tersebut?

Baca yang dimaksud adalah bukanlah kegiatan membaca suatu tulisan, karena bukan itu juga tujuannya, melainkan membaca situasi saat itu, dimana zaman jahiliyah yang menguasai masyarakat kala itu, harus segera diperangi oleh sang Nabi sebagai utusan Allah.

Bukan itu saja, perintah iqra juga berarti peringatan kepada seluruh ummat manusia lewat Nabi Muhammad SAW untuk senantiasa membaca. Kenapa perlu membaca? Karena dengan membaca banyak informasi yang bisa seseorang dapatkan agar kelak menjadi sosok yang berilmu.

Bukankah orang yang berilmu lebih dekat pada kebahagiaan alias sukses dunia dan akhirat? Setidaknya begitu sabda Rasulullah SAW.

Dengan kata lain, perintah membaca merupakan perintah yang amat berharga yang diturunkan Allah kepada ummat manusia. Dengan membaca maka manusia diharapkan akan mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna.

Dalam konteks pengetahuan, membaca merupakan keterampilan reseptif, selain mendengar. Sifatnya pasif, dimana seseorang hanya menerima sesuatu dari membaca dan mendengar. Diharapkan orang tersebut akan mampu mengekstrak apa yang dibaca dan didengarnya. (Jeremy Harmer, The Practice of English Language Teaching, (England: Longman, 2001), 199)

Untuk apa keterampilan reseptif tersebut?

Diperlukan bagi pengembangan keterampilan produktif. David Nunan mengatakan bahwa keterampilan produktif bisa berupa berbicara dan menulis. Dengan keterampilan tersebut, maka seseorang akan mampu menghasilkan suatu produk bahasa baik secara lisan maupun tulisan. (David Nunan, Practical English Language, (New York: Mc Graw-Hill, 2003), 48)

Satu yang pasti, jangan menghayal untuk dapat menghasilkan suatu karya bahasa (entah itu tulisan atau lisan), tanpa melalui keterampilan reseptif terlebih dahulu, semisal membaca dan mendengar.

Disini masalah timbul. Bangsa Indonesia tergolong bangsa yang nggak produktif. Gimana mau produktif, wong membaca aja ogah-ogahan.

Sekalinya mau membaca, yang tulisannya pendek-pendek. Kalo udah panjang sedikit, langsung di-skip atau malah dilempar.

Saya cuma mikir, apa ada bahan bacaan berbobot yang sifatnya ringkas alias terdiri dari beberapa halaman saja? Bisa dikatakan nggak ada, bukan?

Seingat saya, bacaan yang pendek-pendek cuma ada di stensilan yang isinya kalo nggak oh yes, oh no dan oh my God.

Coba situasinya dibalik. Bisakah mereka menghasilkan karya tulis yang tebalnya bisa bikin anjing kaing-kaing kalo ditimpuk pakai itu? Pasti sulit, bukan?

Kemampuan baca inilah yang akhirnya menyuburkan bagi hoax tumbuh subur di sini. Baca baru headline-nya, langsung di-share. Padahal banyak kejadian antara isi dan headline nggak sinkron. Headline-nya soal Jokowi yang dituduh antek aseng, eh isinya soal pedagang cilok.

Belum lagi konfirmasi sumber yang nggak jelas darimana asalnya.

Yang penting di-share dulu secepat kilat, tanpa perlu membacanya terlebih dahulu.

Dan para produsen hoax bisa bertepuk tangan dengan gembira, karena proyeknya laris manis tanjung kimpul.

Jangan heran kalo akhirnya bangsa ini nggak pernah menjadi bangsa yang kritis, karena kebiasaan utama yang diperintahkan Tuhan, cenderung diabaikan. Padahal dengan membaca, pemikiran kritis kita secara otomatis dilatih. Kemampuan literasi istilahnya. “Benar nggak ya isi tulisan yang saya baca?” begitu kurleb-nya.

Nggak percaya?

Coba tilik berapa peringkat yang didapat Indonesia berdasarkan hasil PISA (Programme for International Student Assessment) 2018 yang dirilis pada Desember 2019 silam. Untuk kemampuan membaca, Indonesia hanya dapat skor 371 alias berada diperingkat 74 dari 79 peserta. (https://www.researchgate.net/publication/337717927_Hasil_PISA_Indonesia_Tahun_2018_Turun_Dibanding_Tahun_2015)

Artinya apa?

Kemampuan baca siswa Indonesia, tergolong rendah. Apa sebabnya? Karena nggak punya kebiasaan membaca yang baik. Apa-apa serba instan, termasuk membaca. Cukup lihat paragraf awal, terus lanjut paragraf akhir, langsung tarik kesimpulan. Nggak peduli in between paragraph isinya apa. Padahal disitu point pentingnya.

Saya jadi ingat kalimat yang diungkapkan Ibnu Khaldun, “Yang kalah cenderung mengekor yang menang dalam segala hal. Bahkan cenderung meniru cara hidup pihak yang menang.”

Bukankah ungkapan tersebut relevan dalam menjawab bangsa kita, yang kini mulai kehilangan jati dirinya sebagai bangsa?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Saya setuju ttg membaca ini Bang,dikalangan birokrat juga demikian..udah ngeluarin biaya besar utk nyusun dokumen (yg biasax dikerjakan pihak ketiga) dokumen itu ga pernah di baca!! Kan sayaang…isix bagus ada kajianx,pas di tanya sama si empunya kegiatan malah ga tau isi bukux…

error: Content is protected !!