Bukan Anti-Mainstream


514

Bukan Anti Mainstream

Oleh: Ndaru Anugerah

Razia pada warga yang tidak menggunakan masker, mulai masif digelar. Setidaknya di Jakarta. Sanksi yang diberikan-pun beragam, dari mulai denda hingga sanksi sosial. (https://republika.co.id/berita/qelbhu330/62-ribu-warga-jakarta-kena-razia-karena-tak-pakai-masker)

Itu memang haknya pemerintah dalam menerapkan suatu kebijakan. Fungsi saya adalah sebagai analis geopolitik yang hanya bisa kasih masukkan. Diterima syukur, nggak pun saya nggak pernah memaksa.

Kalo kemudian saya berseberangan dengan suatu kebijakan yang diambil pemerintah, itu bukan berarti saya anti mainstream. Dalam iklim demokrasi, berbeda adalah sebuah kewajaran bukan, selama sifatnya tidak memaksa?

Saya cuma mau kasih saran yang masuk akal sebelum sebuah kebijakan diterapkan. Makanya dalam sebuah analisa, saya kasih sumber rujukan dari para ahli di bidangnya. Jadi nggak asal njemplak yang hanya ngandelin jigong.

Termasuk dengan kebijakan menggunakan masker. Pertanyaannya: pakai masker itu efektif apa nggak sih?

Dalam medis, keefektifan seseuatu, diukur dengan penelitian. Jadi nggak bisa asal klaim, alias harus ada bukti ilmiah yang ditunjang oleh penelitian yang sahih dan reliabel.

Walapun sudah banyak saya tulis tentang penelitian seputar pemakaian masker, saya coba kupas lagi tentang hal ini.

Sejauh ini, sebagian besar penelitian menemukan sedikit atau malah tidak ada bukti ilmiah untuk keefektifan penggunaan masker pada populasi umum, baik sebagai alat pelindung diri maupun alat kontrol sumber.

April 2020. Dua profesor AS di bidang pernafasan dan penyakit menular dari University of Illinois menyatakan bahwa masker wajah tidak membawa manfaat jika digunakan, baik sebagai pelindung diri maupun pelindung pihak ketiga alias kontrol sumber. (https://www.cidrap.umn.edu/news-perspective/2020/04/commentary-masks-all-covid-19-not-based-sound-data)

Pada Mei 2020 silam, CDC AS mengeluarkan hasil penelitian bahwa penggunaan masker tidak berpengaruh baik sebagai alat pelindung diri maupun sebagai kontrol sumber terhadap pandemi influenza. Bukankah si Kopit juga sejenis penyakit influenza? (https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/26/5/19-0994_article)

Mei 2020, masih di Inggris, sebuah penelitian lintas negara yang dilakukan oleh University of East Anglia menyatakan bahwa pemakaian masker tidak membawa manfaat dan justru malah dapat meningkatkan risiko infeksi. (https://www.uea.ac.uk/about/-/new-study-reveals-blueprint-for-getting-out-of-covid-19-lockdown)

Mei 2020. Sebuah artikel di New England Journal of Medicine menyampaikan bahwa masker wajah (utamanya berbahan kain), tidak membawa manfaat jika digunakan. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp2006372)

Juli 2020, Oxford Center for Evidence-Based Medicine mengungkapkan bahwa tidak ada bukti keefektifan masker kain terhadap infeksi maupun penularan virus. (https://www.cebm.net/covid-19/masking-lack-of-evidence-with-politics/)

Juli 2020. Para peneliti di Jepang menemukan bahwa masker (utamanya berbahan kain) tidak memberikan perlindungan atau apapun terhadap virus Corona karena ukuran pori-pori pada masker yang terlalu besar untuk bisa menyaring virus. (http://www.asahi.com/ajw/articles/13523664)

Masih banyak penelitian sejenis yang mengatakan hal yang kurleb sama, bahwa masker nggak efektif untuk dipakai. Terlebih masker yang berbahan kain. Ini perlu jadi tekanan. Bukankah mayoritas masker yang beredar di masyarakat berbahan kain?

Ini bisa terjadi, karena masker buatan pabrik (yang sudah bersertifikasi), menurut aturan medis bersifat disposal alias sekali pakai, sehingga butuh uang banyak untuk membelinya.

Lantas, apa dampaknya jika kita pakai masker? Walaupun saya sering ulas, saya kasih bukti yang baru, agar anda makin paham masalahnya.

Negara bagian California yang telah menerapkan kebijakan wajib masker di wilayahnya, utamanya pada pengguna transportasi umum dan toko-toko sejak awal musim panas (Juli) lalu, justru mengalami peningkatan infeksi si Kopit yang melejit. Artinya apa? Efektifitas kebijakan penggunaan masker dipertanyakan. (https://covidusa.net/?state=California)

Bahkan WHO sebagai pihak yang menyarankan penggunaan masker, menyatakan bahwa penggunaan masker membawa efek samping seperti sulit untuk bernafas dan juga ruam pada kulit. (https://www.who.int/publications/i/item/advice-on-the-use-of-masks-in-the-community-during-home-care-and-in-healthcare-settings-in-the-context-of-the-novel-coronavirus-(2019-ncov)-outbreak)

Tes yang dilakukan oleh Universitas Leipzig di Jerman pada sejumlah RS, menyatakan pemakaian masker secara signifikan mengurangi daya tahan tubuh dan kinerja pada orang sehat. (https://science.orf.at/stories/3201213/)

Di China, dua anak laki-laki yang diharuskan memakai masker selama kelas olahraga, akhirnya pingsan dan meninggal dunia. (https://www.ibtimes.com/2-chinese-boys-wearing-masks-during-gym-class-dropped-dead-reports-say-2971556)

Di Amrik sana, seorang pengemudi mobil yang memakai masker N95 (FFP2), pingsan dan mebrak tiang. (https://nypost.com/2020/04/24/driver-crashes-car-after-passing-out-from-wearing-n95-mask/)

Masih banyak paparan lain yang bisa saya sebutkan sebagai dampak penggunaan masker. Tentang ini saya pernah bahas tuntas. (baca disini, dan disini)

Sudah tahu dampaknya, kenapa terus-terusan dipaksakan menggunakannya?

Saya kasih tahu informasi penting, bahwa WHO mengakui kepada BBC bahwa pada Juni 2020 badan kesehatan dunia tersebut terpaksa merevisi kebijakan tentang penggunaan masker, mengingat tidak ada bukti yang mendukung. (https://www.webmd.com/lung/news/20200608/who-changes-stance-says-public-should-wear-masks)

Deborah Cohen selaku BBC Medical Correspondent menyatakan, “Kami telah diberitahu oleh berbagai sumber bahwa komite di WHO telah meninjau ulang terhadap kebijakan penggunaan masker. WHO mengakui bahwa rekomendasi penggunaan masker merupakan hasil lobi politik.” (https://twitter.com/ClarkeMicah/status/1282987860090593280)

Jadi apa yang bisa diambil sebagai kesimpulan?

Bahwa kebijakan penggunaan masker nggak ditunjang oleh penelitian atau data ilmiah, melainkan karena adanya lobi politik supaya orang-orang pakai masker. Setidaknya WHO yang ngomong demikian.

Lantas, kenapa kita terus memaksakan suatu kebijakan, jika kondisinya demikian adanya?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!