Menyoal Diktum Sesat WHO
Oleh: Ndaru Anugerah
Dalam menjalami hidup di masa pandemi Kopit, badan kesehatan dunia menggunakan semua kekuatannya untuk mengatur hidup manusia di dunia yang selaras dengan rencana elite global akan vaksinasi global plus.
Sejumlah protokoler kesehatan sengaja dirilis untuk diterapkan secara global. Contoh yang paling gampang menggunakan masker. “Perlukah?” demikian ungkap suara diujung sana.
Saya berbicara dalam kapasitas saya sebagai seorang analis geopolitik. Jadi yang saya sajikan, semuanya berbasis data dan tidak ada pretensi saya dalam menerima atau menolak suatu kebijakan. Silakan anda cerna dengan cermat.
Adalah seorang ahli bedah saraf dari University of Mississippi Medical Center yang bernama Russel Blaylock, yang mengatakan bahwa dengan menggunakan masker, justru akan menempatkan diri seseorang pada RISIKO INFEKSI YANG LEBIH BESAR.
Ini bisa terjadi karena terjadinya proses oksigenasi rendah (hipoksia) akibat penggunaan masker yang akhirnya memicu turunnya kesehatan, kekuatan dan kekebalan tubuh.
“Masker N95, jika dipakai selama berjam-jam akan mengurangi oksigenasi darah sebanyak 20% yang dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran,” lebih lanjut Dr. Blaylock mengungkapkan. (https://www.jpost.com/health-science/could-wearing-a-mask-for-long-periods-be-detrimental-to-health-628400)
Bahkan penelitian terbaru yang melibatkan 159 petugas kesehatan yang berusia 21-35 tahun, menemukan hasil bahwa 81% orang menderita sakit kepala akibat menggunakan masker, yang dapat mempengaruhi kinerja mereka di lapangan. (https://www.researchgate.net/publication/340301751_Headaches_Associated_with_Personal_Protective_Equipment_-_A_Cross-sectional_Study_Amongst_Frontline_Healthcare_Workers_During_COVID-19_HAPPE_Study)
Dr. Blaylock menjelaskan, “Proses hipoksia (penurunan kadar oksigen) berkaitan dengan GANGGUAN KEKEBALAN TUBUH, dimana hipoksia dapat menghambat jenis sel yang dibutuhkan untuk melawan infeksi virus, yaitu CD4 + T–limfosit. Sebaliknya hipoksia akan meningkatkan senyawa HIF-1 yang menghambat limfosit T dan menstimulasi sel penghambat kekebalan tubuh yang disebut Treg.”
Pada orang yang menderita kanker, kondisi rendahnya oksigen(hipoksia) justru dapat meningkatkan peradangan yang dapat memicu pertumbuhan, invasi dan penyebaran kanker. Bukan itu saja. Bahkan hipoksia dapat meningkatkan penyakit jantung dan stroke dalam diri seseorang. (https://alachuachronicle.com/letter-neurosurgeon-details-risks-of-face-masks/)
Secara singkat, Dr. Blaylock mau ngomong bahwa dengan pakai masker, justru akan meningkatkan konsekuensi tertular infeksi yang lebih parah pada diri seseorang.
“Bahkan dalam beberapa kasus, virus dapat masuk ke otaj melalui indera penciuman yang terhubung langsung ke otak. Dengan memakai masker, virus yang dihembuskan tidak akan dapat melarikan diri, malah terkonsentrasi dalam saluran hidung, kemudian memasuki saraf dan meluncur ke otak,” demikian ungkap Dr. Blaylock. (https://www.technocracy.news/blaylock-face-masks-pose-serious-risks-to-the-healthy/)
Dr. Blaylock nggak sendirian. Penelitian yang dipimpin oleh Jonathan J.Y Ong (30/3) menemukan bukti bahwa penggunaan masker memicu kumatnya sakit kepala sekitar sepertiga pekerja. Ini dipicu oleh tali dan tekanan yang ada pada masker.
“Penggunaan masker akan memicu hipoksia (pengurangan oksigenasi darah) dan meningkatkan kadar C02 dalam darah (hiperkapnia),” ungkap penelitian tersebut. (https://headachejournal.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/head.13811)
Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. KK Aggarwal selaku Presiden Asosiasi Medis India menunjukkan, “Masker adalah sumber bakteri dan virus yang potensial. Kelembaban yang terjadi saat bernafas dalam masker dengan suhu 37 derajat Celcius, menjadi tempat yang ideal bagi virus dan bakteri untuk berkembang.”
“Penggunaan masker dapat menghasilkan pertumbuhan mikroba pada masker selain membantu penyebaran penyakit yang ditularkan melalui udara seperti influenza,” tambah Dr. Aggarwal.
Bahkan Dr. Aggarwal mewanti-wanti untuk TIDAK MENGGUNAKAN MASKER tanpa rekomendasi dari dokter. (https://scroll.in/bulletins/272/the-best-of-eco-india-and-a-brand-new-season)
Pernyataan Dr. Aggarwal jelas nggak berlebihan, mengingat masker yang banyak digunakan orang saat ini (terbuat dari bahan kain), mayoritas buatan sendiri yang tidak mungkin menghentikan virus yang diukur dengan satuan nanometer (10-9 alias 0,000000001 meter). Sangat mustahil.
Alih-alih ingin menghentikan virus, malahan mereka menciptakan sarang bagi mikroba untuk berkembang dalam kondisi yang hangat dan lembab pada masker yang digunakannya.
Lantas, apakah penggunaan masker nggak penting?
Ada sih, cuma nggak signifikan. Dokumen yang dirilis oleh Public Health Agency of Canada (PHAC) menunjukkan bahwa penggunaan masker hanya sedikit melindungi seseorang dari bahaya infeksi virus.
“Sedikit bukti yang ada tentang seberapa efektif pemakaian masker oleh individu yang akan mencegah mereka menjadi terinfeksi. Namun ada beberapa syarat. Maskernya harus dipakai sekali saja dan selalu digantu saat kotor/basah. Jika tidak, maka masker justru menyebabkan risiko lebih besar penularan pandemi influenza karena adanya kontaminasi pada masker tersebut,” begitu kurlebnya. (https://www.canada.ca/en/public-health/services/flu-influenza/canadian-pandemic-influenza-preparedness-planning-guidance-health-sector/public-health-measures.html)
Dalam medis, secara umum masker biasanya digunakan oleh mereka yang TERINFEKSI bukan malah digunakan bagi yang TIDAK TERINFEKSI.
Sudah tahu fakta yang didapat dari berbagai penelitian tentang manfaat dari penggunaan masker yang boleh dibilang nggak ada gunanya, lau kenapa WHO tetap ngotot merekomendasikan penggunaan masker?
Jawabannya: karena penggunaan masker berkaitan erat dengan operasi Corona yang dibesut oleh elite global. Jadi ini nggak ada kaitannya dengan akal sehat atau logika medis. Sama sekali bukan. Ini bicara tentang kontrol pada populasi. Seberapa besar orang-orang akan mematuhi anjuran mereka. (https://thefreedomarticles.com/2020-rockefeller-foundation-paper-urges-testing-tracing-all-americans/)
Sama saja kasusnya dengan anjuran WHO yang lain seperti penerapan jarak sosial (social distancing) yang nggak ada dasar ilmiahnya. Coba tanyakan: berapa jarak sosial yang benar sesuai aturan medis, apakah 1 meter, 1,5 meter atau 2 meter? Pasti bingung sendiri nge-jawabnya.
Kenapa? Karena memang anjuran tersebut nggak ilmiah.
Operasi Corona berbicara tentang 1 hal. PENGKONDISIAN, dimana masyarakat dibuat takut dan akhirnya mematuhi kondisi yang sengaja diciptakan oleh elite global, agar mereka bisa selamat.
Dan sejauh mana pengkondisian ini bisa berlangsung dengan baik, sangat berbanding lurus dengan tingkat KETIDAKTAHUAN dan KETAKUTAN yang mereka rasakan.
“Makin nggak tahu dan makin takut, maka makin sukseslah pengkondisian yang diciptakan.”
Sampai sini saya harap clear, ya…
Karena saya sudah ngantuk.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis geopolitik dan mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments