Strategi Tingkat Tinggi Xi
Oleh: Ndaru Anugerah
Saat kontraksi ekonomi menghantam China dipicu oleh pandemi C19, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa Tiongkok harus siap menghadapi situasi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Yang Xi Jinping maksudkan adalah putusnya rantai pasokan global selain stigma demonisasi pada China, yang pada ujungnya diharapkan akan menghentikan proyek Belt and Road Initiative.
Pandemi C19 memang secara prinsip merupakan strategi yang dimainkan untuk merontokkan China sebagai penantang hegemoni AS. (baca disini)
Setidaknya peringatan yang diberikan Xi Jinping nggak berlebihan, dan senada bocornya dokumen internal China yang mengatakan bahwa memang ada skenario AS untuk terus menyalahkan China atas virus Corona yang kurleb-nya mirip kejadian Tiananmen. (https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-china-sentiment-ex/exclusive-internal-chinese-report-warns-beijing-faces-tiananmen-like-global-backlash-over-virus-idUSKBN22G19C?fbclid=IwAR3JkZMoMALr3P2doMbyOc3DrWEa7ABRkUtF69yYTBpIb0ns5MX7W_nt68Y)
Merujuk pada dokumen tersebut, China harus mempersiapkan konfrontasi bersenjata terhadap AS sebagai tanggapan terhadap perang hibrida yang diluncurkan AS kepada China, sebagai pilihan ‘terburuk’. (https://asiatimes.com/2020/03/china-locked-in-hybrid-war-with-us/)
Tentang rencana untuk menggagalkan upaya China membesut proyek Belt and Road Initiative pada tahun 2020 ini dengan pintu masuk pandemi C19, memang bukan mengada-ada.
Setidaknya laporan Economist Intelligence Unit telah menegaskan hal tersebut. (https://country.eiu.com/article.aspx?articleid=1909412174&Country=China&topic=Politics)
Pertanyaannya, apa agenda Mamarika akan tersebut berhasil?
Pada kunjungan ke provinsi Shaanxi, Xi Jinping menegaskan kembali komitmennya untuk menghilangkan angka kemiskinan di China pada tahun ini. Caranya dengan mengembalikan produktivitas industri China secepatnya. (https://news.cgtn.com/news/2020-04-23/Xi-Jinping-in-Shaanxi-Anti-poverty-drive-amid-COVID-19-PVvK7Rc7Ze/index.html)
Pesan yang mau disampaikan Xi Jinping cukup jelas. Bagaimana China bisa mengentaskan angka kemiskinan di negaranya jika mengatasi gangguan C19 saja China sudah angkat tangan? Karenanya China akan melawan, apapun risikonya.
Perlawanan China bukan isapan jempol belaka. Saat Barat memproyeksikan nilai ekspor China bakalan anjlok (karena data bulan April terjadi penurunan 6,6%), nyatanya itu hanya sementara.
Ekspor China malah tumbuh 3,5% pada bulan April sebulan kemudian. Padahal ekspektasi Barat, bakalan volume ekspor bakal anjlok 15,7%. (https://www.cnbc.com/2020/05/07/china-reports-april-2020-trade-data-exports-imports.html)
Bahkan ditengah pandemi global C19, China masih sempat menandatangai kesepakatan untuk proyek-proyek baru Belt and Road Initiative di 3 negara: Myanmar, Turki dan juga Nigeria. (https://www.beltandroad.news/2020/05/08/china-forges-ahead-through-chaos-and-threats/)
Aliasnya, China masih dapat mengontrol semua variabel dasar dalam kebijakan ekonominya (termasuk lembaga keuangan dan perusahaan besar), bahkan setelah menderita upper cut C19 yang sangat telak.
Lantas bagaimana nasib BRI ke depannya?
Pandemi C19 nggak cukup sukses menghancurkan impian China akan jalur sutra barunya. Ini terbukti pada sektor perdagangan China dengan negara-negara yang ada pada jalur BRI, yang berhasil mencapai angka 3,2% di kuartal pertama. Padahal pada akhir tahun, proyeksinya diharapkan mencapai 10,8%. (https://www.beltandroad.news/2020/04/27/belt-road-may-take-a-year-to-recover-from-falling-investment/)
Ironis. Padahal dengan adanya pandemi C19, diharapkan Jalur Sutra Baru akan terkendala banyak hal, mulai dari terputusnya jalur konektivitas, gangguan pasokan, pembatasan perjalanan hingga keterlambatan proyek gegara pengeluaran negara terkerek naik akibat situasi ini.
Contoh yang paling gampang adalah proyek rel berkecepatan tinggi yang menghubungkan China – Laos sepanjang 414 km. Walaupun sempat terkendala, namun proyek yang menghubungkan Yunnan melalui Vientiane, Thailand, Malaysia dan Singapura, saat ini sudah berjalan lagi sesuai dengan rencana.
“Proyek ini akan rampung pada akhir 2021 nanti, sebagai jalur utama perdagangan China dengan negara-negara ASEAN.” (https://www.globaltimes.cn/content/1186717.shtml)
Dengan adanya pandemi C19 juga, secara nggak langsung Jalur Sutra Kesehatan (JSK) yang dimiliki China otomatis diaktivasi. Sebagai informasi, JSK merupakan prosedur yang dikembangkan China sejak 2017 manakala pandemi global sewaktu-waktu menghajar jalur BRI mereka. (https://asiatimes.com/2020/04/china-rolls-out-the-health-silk-road/)
Jangan aneh bila China terus menawarkan peralatan dan bantuan medis terkait pandemi C19 kepada tidak kurang dari 89 negara di dunia, termasuk ke Indonesia. Karena memang sudah ada cetak birunya.
Dan yang tak kalah penting adalah diluncurkannya DCEP (Digital Currency Electronic Payment) baru-baru ini oleh Tiongkok. (baca disini)
Kelak DCEP akan dipakai sebagai mata uang dalam perdagangan global di jalur BRI. “Masa iya, punya jalur perdagangan internasional, tapi transaksinya pakai dollar?”
Dengan dipakainya DCEP sebagai mata uang digital, maka otomatis nasib dollar sebagai hard currency bisa jadi tinggal kenangan.
Setidaknya seorang analis dari Singapura, Kishore Mahbubani memproyeksi, bahwa China akan memiliki daya dukung ekonomi dan keuangan yang mumpuni, mengingat DCEP sebagai alat transaksi perdagangan yang dicadangkan dengan emas. (https://asiatimes.com/2020/04/the-unbearable-lightness-of-china/)
Bisa dikatakan, ‘permainan kasar’ yang dipermainkan oleh Mamarika saat ini, dapat diprediksi akan berujung pada kegagalan. Karena apa? China bukanlah musuh kaleng-kaleng bagi AS.
Pertinyiinnyi: setelah semua skenario gagal, akankah perang lanjutan digelar?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Saya salah satu yang mengagumi tulisan mas ndaru anugrah, sehat terus mas dan terus menulis untuk mencerahkan.. Izin share tulisannya mas…
Terima kasih. Senang bisa membantu..