Sokongan Para Pendengung


517

Buzzer (adalah) seburuk-buruknya sampah dalam demokrasi karena mengandung B3 alias Bahan Beracun Berbahaya,” demikian maki Adhie Masardi.

Ucapan tersebut keluar sebagai bentuk kekesalan atas ulah pendengung di media sosial dalam menggiring opini publik, yang konon ditenggarai berasal dari dalam istana. Buzzer istana, istilahnya.

Apakah demikian adanya?

Buzzer atau pendengung merupakan pasukan siber yang digunakan untuk membentuk opini publik dalam dunia maya. Kenapa dunia maya? Ya karena ruang geraknya memang disana, bukan media konvensional. Media sosial jauh lebih tinggi pamornya saat ini ketimbang media konvensional.

Istilah buzzer di Indonesia, pertama kali muncul saat Jokowi Ahok maju berlaga pada pilkada DKI 2012. Saat itu mereka menggunakan pasukan siber dibawah komando Jasmev alias Jokowi Ahok Social Media Volunteer. Kartika Joemadi yang didaulat sebagai kepala pasukan sibernya kala itu.

Jokowi Ahok sangat paham, bahwa untuk memenangkan kontestasi maka media sosial harus bisa dikuasai. Untuk itulah pasukan siber menemukan fungsinya, yang tak lain menyebarkan program, mempengaruhi opini publik dan ujungnya menggerus suara paslon lawan.

Upaya membentuk pasukan siber berbuah manis dengan sukses menghantar Jokowi Ahok ke kursi singgahsana sebagai penguasa DKI.

Pada pilpres 2014, kembali pasukan siber digunakan. Namun, pihak Prabowo Hatta sebagai penantang paslon Jokowi-JK, nggak mau kecolongan. Walaupun secara tidak resmi, mereka mendapatkan sokongan dari pasukan siber yang bernama Saracen dan MCA alias Muslim Cyber Army.

Fungsi pasukan siber yang mati-matian menyokong paslon Prabowo-Hatta tersebut, sudah nggak lagi normatif cara kerjanya. Mereka mulai melakukan black propaganda, menyebar hoaks dan mengumbar ujaran kebencian dengan satu tujuan, paslon yang diusungnya harus menang.

Namun Dewi Fortuna belum memihak paslon Prabowo-Hatta. Walaupun sudah sedemikian brutal menyerang paslon Jokowi-JK, toh nyatanya mereka dipaksa keok di akhir cerita.

Dan yang paling fenomental adalah saat gelaran pilpres 2019 yang lalu. Bagaimana hoaks secara masif disebar dibumbui dengan scaremongering campaign ala Trump. (baca disini)

Namun kali ini, pasukan MCA yang sukses beraksi saat pilkada DKI, justru dipaksa tumbang oleh kedigdayaan pasukan siber yang dimiliki oleh kubu Jokowi.

Kini, walaupun gelaran pilpres telah usai, keberadaan pasukan siber kembali digugat. Nggak tanggung-tanggung, media mainstream sekelas TEMPO terpaksa mengulas keberadaan buzzer istana yang dituding sebagai aktor perusak bangunan demokrasi di Indonesia.

Untuk memperkuat tudingan tersebut, dicomotlah hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Bradshaw dan Howard dari Oxford University, berjudul The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation.

Kurang lebihnya, hasil publikasi tersebut menyatakan bahwa keberadaan buzzer telah dengan sengaja digunakan oleh penguasa untuk memanipulasi opini publik agar mereka percaya apa kata pemerintah.

“Kalo buzzer tidak ditertibkan, maka masa depan demokrasi Indonesia berada diujung tanduk.” Tuduhannya nggak main-main. Dengan kata lain, tatanan demokrasi Indonesia bisa hancur dalam sekejap dengan adanya ulah pendengung istana tersebut.

Pertanyaannya, apa iya?

Kalo saya menganalisa, tudingan tersebut mempunyai 2 implikasi.

Pertama, pihak oposisi merasa keteter dengan keberadaan buzzer yang merajai dunia maya. Media mainstream sekelas TEMPO kewalahan dalam menghadapi ulah para buzzer. Bahkan dalam app store, rating TEMPO pernah menyentuh angka 1, karena aksi rush para pendengung tersebut terhadap start up TEMPO.

Kedua, rencana besar pasukan kadal gurun untuk mengusung Anies dalam gelaran pilkada 2022 dan pilpres 2024 akan menemui banyak hambatan, jika ulah para buzzer istana tersebut tidak bisa ditanggulangi dari awal. Sukses buzzer sebagai senjata untuk memenangkan pilpres 2014 dan 2019 adalah referensi yang nggak main-main.

Buzzer hanya boleh mengkampanyekan program pemerintah. Nggak boleh membalas pihak yang coba mengkritisi kebijakan pemerintah,” demikian ujar barisan dalrun.

Kalo gitu adanya, apa adil?

Masa iya orang nggak boleh nampar balik, kalo sudah ditampar duluan?

Lagian, apa yang diperbuat para buzzer istana bukanlah menyebar hoaks. Hanya gerakan counter saja sifatnya dari serangan berita bohong yang disebar secara masif oleh kubu dalrun. Isu serbuan TK Aseng, bangkitnya komunis, Indonesia sebentar lagi bangkrut dan lainnya, memang siapa yang produksi semua itu?

Lalu ngapain juga ulah buzzer istana yang dipersoalkan dalam hal ini, sementara kubu dalrun yang jelas-jelas hobi menyebar hoaks kok malah tidak dipersoalkan? Apa karena mereka berada dalam satu kubu yang sama?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!