Entah darimana asal muasalnya, tiba-tiba dalam situs ‘The Political Strategist’ muncullah nama Jokowi yang disinyalir menggunakan konsultan politik asing yang bernama Stan Greenberg. Sekonyong-konyong publik nusantara kembali memanas gegara postingan tersebut.
Setelah situasi panas tercipta, akhirnya seorang bertanya langsung kepada Greenberg melalui akun twitter-nya guna meluruskan berita yang ada. Hasilnya, Greenberg kasih klarifikasi dan menyatakan bahwa Mr. Widodo tidak pernah menjadi salah satu klien-nya. Dan tentang para kliennya, itu tertera pada situs greenbergresearch.com yang menjadi kanal resmi miliknya.
Tapi apa lacur, berita sudah menyebar kemana-mana. Guna menangkis serangan hoax tersebut, Jokowi pada acara deklarasi dukungan alumni se-Jawa Timur di Surabaya (2/2) terpaksa angkat suara.
“Cara-cara berpolitik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar, lalu minta maaf. Akan tetapi, besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu, lalu minta maaf lagi,” tukas pakde.
Jelas yang diserang Jokowi adalah kubu BOSAN yang sudah terang-terangan memakai ‘cara-cara Rusia’ tersebut dengan tebar hoaks dimana-mana. Cara inilah yang dinamakan teknik propaganda Firehose of Falsehood.
Istilah firehose of falsehood pertama kali dibesut oleh Rand Corporation, lewat tulisan Christoper Paul dan Miriam Matthews yang mencoba menjelaskan kemiripan strategi menyebar propaganda ala Putin saat menganeksasi Crimea (2014) dan Georgia (2008) ke pangkuan Rusia, dengan teknik yang dipakai Trump saat kampanye pilpres AS di 2016.
Setidaknya, teknik firehose of falsehood disebarkan melalui 3 cara.
Pertama, sebar berita bohong secara masif melalui berbagai media massa (online dan off line), dengan tujuan membentuk opini publik. Kedua, pola penyebarannya harus diulang-ulang dan terus menerus. Ketiga abaikan komitmen kejujuran yang penting tetap konsisten untuk terus berbohong.
Dengan modus seperti ini, orang yang menyebarkan berita bohong, praktis akan cuek bebek pada penilaian publik. Kalaupun ketahuan bohongnya, yah cuek bebek aja jangan dianggap. Paling pol minta maaf. Gak masalah, yang penting bisa terus menyebarkan berita bohong.
Apa yang disasar oleh teknik propaganda ini adalah publik, terutama kaum konservatif yang sangat rendah tingkat pendidikannya. Kaum konservatif biasanya memiliki amygdala yang lebih dominan. Ini berbeda dengan kaum progresif yang insula-nya jauh lebih banyak.
Amygdala adalah bagian otak yang berkaitan dengan rasa takut dan sebaliknya respek pada seseorang yang dipandang mempunyai otoritas alias tegas. Sedangkan insula yang dimiliki kebanyakan kaum progresif, berkaitan dengan rasa empati.
Sampai sini kita tahu bersama, bahwa kubu BOSAN menyasar pemilih yang memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga mudah dibakar dengan isu-isu yang provokatif secara berulang. Isu Indonesia dikuasai asing, harga-harga yang serba mahal sampai presiden yang jadi boneka asing adalah turunan dari propaganda yang memainkan emosi para pemilih konservatif.
Sementara kubu JOMIN berada disisi yang sebaliknya, dimana mereka menyasar pemilih yang progresif alias kaum terdidik. Karena insula yang ada pemilih model gini, disasar oleh TKN JOMIN dengan kampanye yang bisa membangkitkan rasa empati, selain sajian data dan torehan prestasi yang telah berhasil diraih Jokowi.
Jangan heran juga kalo dalam menjalankan propaganda firehose of falsehood, kubu kampret selalu menjadikan diri mereka sebagai korban alias playing victim. Dengan menposisikan diri mereka sebagai kaum yang dizolimi, maka opini yang terbentuk bahwa rejim ini otoriter, rejim ini panik dan rejim ini mirip komunis adalah benar adanya.
“Lebih efektif yang mana dari kedua strategi itu, bang?” begitu tanya seorang diujung sana.
Untuk masyarakat Indonesia, dimana tingkat pendidikan masih terbilang rendah, sementara tingkat pemahaman agamanya yang sudah rusak akibat ulah kader-kader HTI, rasa-rasanya teknik firehose of falsehood tidak boleh dipandang sebelah mata.
Dan teknik ini juga cukup efektif menyasar swing voters, karena pada dasarnya seseorang yang ragu, akan lebih mengedepankan emosi ketimbang rasio-nya. Saat mereka bimbang menentukan preferensinya, maka ustadz-ustadz HTI akan menuntun kebingungan mereka untuk melabuhkan pilihan sesuai arahan sang ustadz.
Makanya, bagi saya nggak terlalu tertarik untuk membahas debat capres yang telah berlangsung dua kali. Karena bagi kubu BOSAN, kekelahan di ajang debat bukanlah faktor penentu kemenangan mereka di gelaran 17 April nanti.
Saat para cebong bersuka ria karena merasa telah sukses menghempaskan paslon BOSAN saat debat, sebaliknya kubu BOSAN yang disokong oleh kader-kader HTI seantero nusantara, malah makin masif menggelar gerilya door to door. Bagi mereka, kekalahan di event debat bisa dijadikan cambuk untuk bergerilya lebih militan lagi guna memenangkan kontestasi kali ini.
Semoga tulisan ini bisa menjadi kado mawas diri kubu JOMIN, agar apa yang saya takutkan kelak tidak akan terjadi di negeri ini. Terlalu mahal harganya, brother…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments