“Bang, selamat ya,” begitu pujian yang kudapat karena dianggap telah berhasil menganalisis, setidaknya siapa pemenang kontestasi pilpres 2019 berikut skor-nya. Walaupun semuanya saya sajikan dalam bentuk kalimat retoris.
Saya pikir, itu bukan murni capaian saya semata. Kenapa? Karena memang kebetulan saya sudah mendapatkan bocoran dari ‘tim perang Jokowi’, sebelumnya.
Namun apa yang saya dapatkan, agak sedikit melenceng dari yang ditargetkan. Info yang saya dapat, margin kemenangan Jokowi, mencapai angka psikologis 2 digit. Tapi hasil sementara, merujuk pada hitung cepat alias quick-count, selisihnya hanya 9-10% maksimum.
Artinya apa? Mesin perang Prabowo, sudah melakukan tugasnya dengan sangat optimal di kalangan akar rumput. Yang paling gampang, perolehan PKS yang mencapai 8-9% suara di parlemen, ini layak dijadikan salah satu indikator keberhasilan. “Itu baru PKS. Gimana HTI?” demikian ucap seorang narsum.
Apakah kemenangan sementara ini, akan menghentikan hiruk-pikuk pilpres? Yang paling klasik pertanyaannya: akankah terjadi situasi chaos jelang saat pengumuman hasil rekapitulasi pilpres yang dilakukan oleh KPU pada tanggal 22 Mei nanti?
Karena sudah mendapat banyak pertanyaan, saya akan coba ulas. Meskipun, saya pernah mengulasnya berkali-kali, jauh hari sebelumnya.
Apa yang bisa menyebabkan suatu keadaan dikatakan chaos atau rusuh? Karena situasi yang tidak terkendali. Situasi yang tak terkendali, ada dua jenisnya. Pertama by design, yang berarti bagian dari perang asimetris yang berujung pada pendudukan alias lengsernya rejim yang ingin digulingkan.
Reformasi 1998 adalah salah satu contoh klasik perang asimetris, dimana tiga diktumnya: Isu – Aksi – Pendudukan, berhasil diorkestrasi dengan baik dengan bantuan instrumen gerakan mahasiswa 1998 berikut LSM sebagai pion-pion asing di Indonesia.
Kedua by luck, yang artinya bukan merupakan bagian perang asimetris, sehingga ujung-ujungnya bukan pendudukan yang terjadi, tapi situasi rusuh tak terkendali. Anarkis-lah yang akan tercipta.
Siapa yang paling didaulat untuk menciptakan kedua situasi tersebut? Mesin perang, jawabannya.
Telah kita tahu bersama, bahwa HTI dibentuk sebagai bagian proxy asing di Indonesia, mempunyai tujuan jangka panjang. Mempersiapkan karpet merah, bagi pemimpin yang akan mengganti rejim yang akan digulingkan. Pengalaman di Libya adalah buktinya.
Bagaimana mereka mempersiapkan langkah tersebut? Pertama dengan mengilfiltrasi kaum intelektual, dan yang kedua dengan mengilfiltrasi militer. Untuk langkah pertama, boleh dikatakan sukses, karena banyak kaum intelektual di negeri ini yang menjadi kaki tangan HTI.
Teknisnya, HTI masuk ke kampus-kampus, hingga berhasil ‘menguasai’ kampus tersebut. Dari jajaran rektor/dekan, hingga gerakan mahasiswa, mayoritas adalah kader mereka. Berikutnya mereka menjaring calon potensial, untuk bisa mereka kirim ke luar negeri dengan iming-iming program beasiswa.
Jangan aneh, kader mereka begitu militan di kampus-kampus papan atas di negeri ini, sebagai bentuk ucapan terima kasih atas promosi ke luar negeri gratis plus mendapatkan gelar. Kalo anda membaca ulasan saya tentang ‘Bocah-Bocah Chicago’, anda akan tahu modus operandinya.
Untuk langkah kedua, HTI mendapatkan ganjalan. Masa gemilang 10 tahun yang disediakan oleh Pepo semasa kepemimpinannnya, belum berhasil secara mutlak mengilfiltrasi kubu militer. Sasus yang saya dapat, hanya segelintir kader yang mereka punya di tubuh militer yang jumlahnya tidak signifikan.
Naas, saat akan mengintensifkan gerakan gerilya tersebut di tubuh militer, Jokowi keburu membubarkan mereka. Maka makin terbukalah mata semua orang akan bahaya laten yang dibuat oleh HTI. Tak terkecuali militer, yang selama itu ‘mendengar’ secara polos siraman tausiah yang digelar oleh kader-kader HTI ditiap acara keagamaan yang mereka gelar.
Ibarat nonton film produksi Brazzer University, lagi asyik-asyiknya hendak mencapai klimaks, eh filmnya ngadat di tengah jalan, karena beli DVD bajakannya di Glodok. Keki habis-habisan yang ada.
Nah begitulah kira-kira perasaan kesal HTI pada Jokowi. Mereka telah kehabisan waktu sebelum mencapai klimaksnya.
Bermodal pada situasi ini, kemungkinan adanya chaos yang merujuk pada penggulingan rejim Jokowi, masih jauh panggang dari asap. Kenapa? Kubu angkatan bersenjata belum berhasil mereka kuasai. Yang ada, posisi vital di tubuh militer, malah diisi oleh ‘orang-orangnya Jokowi’.
“Emang lu pikir upaya kudeta cukup pakai people power?” Yang bokir…
Apa yang akan terjadi kemudian, sudah bisa diprediksi. Walau Prabowo sudah menggelar sujud syukur di Kertanegara (19/4) lengkap dengan prosesi presiden-presidenan, namun semua hanya jadi bahan olok-olok alias guyonan semata.
Yang mungkin terjadi, kehendak untuk menggelar people power akan mudah dipukul oleh aparat keamanan. Coba lihat keluar, dimana aparat keamanan kerap berkeliling untuk memantau situasi yang ada. Baru mau kumpul sedikit, tentu akan mudah dibubarkan. Apalagi people power? Siapa yang mau ambil resiko?
Pun, seandainya dipaksakan, pesertanya paling banter hanya DLDL alias dia lagi, dia lagi. Kalo people power hanya berisikan kampret dan gagal mengajak rakyat ikut serta, itu sama aja aksi onani berjamaah. Situasi anarkis yang akan tercipta, dan itu jauh diluar rencana.
“Situasi yang perlu dihitung adalah pasca pilpres, dimana para kampret akan mengoyak pemerintah lewat berbagai cara. Ingat bagaimana seorang Gus Dur yang berhasil mereka angkat setinggi langit, lalu mereka banting di tengah jalan. Cara-cara itu jangan coba ditampikkan,” demikian tukas temanku.
Dan memang, perjalanan untuk menegakkan kedaulatan negara ini, masih jauh langkah yang harus ditempuh. Bersiaplah untuk aksi marathon di kepemimpinan pakde yang kedua. Akan banyak kejutan di tengah cerita, ketimbang hanya ucapan: “Siap presiden!”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments