Kabut Hitam di Sri Lanka


517

Hari Minggu itu (21/4) suasana hiruk pikuk sangat terasa di Kolombo, Batticoloa dan terutama di Negombo yang terkenal sebagai Little Rome. Saat itu, upacara Paskah sedang digelar di gereja-gereja Katolik dan Protestan di ketiga distrik tersebut untuk memperingati kebangkitan Kristus.

Ditengah ibadah yang digelar, tiba-tiba bom berkekuatan dahsyat meluluhlantakkan bangunan suci umat Kristiani tersebut.

Disaat yang hampir bersamaan sekitar jam 8:30, bom juga meledak di Hotel Cinnamon Grand di Kolombo, kala para tamu sedang antri untuk sarapan. Kebayang, bagaimana padatnya pagi itu. Tiba-tiba ledakan dahsyat yang dipicu bom bunuh diri melumatkan bangunan hotel bintang lima tersebut.

Belakangan diketahui, bahwa salah satu pelaku bom di hotel tersebut adalah Mohammed Azzam Mohamed yang telah check-in pada malam sebelumnya. Sistematis sekali cara kerjanya. Bom diikatkan di punggungnya, sehingga membunuh bukan saja dirinya sendiri, tapi juga banyak tamu hotel.

Sri Lanka-pun berduka.

Serangan teror tersebut, boleh dibilang hampir sempurna, mengingat jumlah korban jiwa yang ditimbulkannya lumayan banyak. Tercatat 8 ledakan terjadi di sana dan sebanyak 290 orang akhirnya meregang nyawa.

Dan kelompok yang ditenggarai melakukan aksi teror secara sistematis tersebut adalah Jamaah Tauhid Nasional (NTJ) yang kabarnya berafiliasi dengan ISIS. Setidaknya begitu press release yang dikeluarkan pihak otoritas Sri Lanka.

Sebagai gambaran, kelompok militan Islam NTJ juga tempo hari pernah menyerang kuil Budha di Mawanella, di pusat Sri Lanka pada Desember tahun lalu (2018), dengan merusak wajah patung Budha tersebut.

Pertanyaannya sederhana: bagaimana teror bom itu bisa terjadi? Siapa yang menggerakkan? Dan apa relevansi serangan tersebut dengan kondisi situasi nasional di Indonesia pasca pemilu?

Untuk bisa menganalisa peristiwa tersebut, kalo kita hanya melihat secara parsial tanpa melihat gambar besarnya, pasti kita akan gagal. Seolah teror bom tersebut hanya dikaitkan dengan penembakkan yang pernah dilakukan di 2 mesjid New Zealand, tempo hari. Aliasnya, teror bom dilakukan sebagai bentuk balasan. Titik. Apa benar demikian adanya?

Untuk menjawabnya kita perlu tahu, ada apa di Sri Lanka?

Sri Lanka adalah wilayah yang sangat strategis secara geopolitik yang terletak di Samudera Hindia, sebagai menghubungkan Asia Tenggara dengan Timur Tengah, Afrika dan juga Eropa lewat jalur lautnya. Karena posisinya yang penting, China memandang Sri Lanka sebagai mitra strategis guna mewujudkan jalur sutranya, yang kini diberi label Belt & Road Initiative.

Singkat kata, China menawarkan bantuan berupa pinjaman kepada Mahinda Rajapaksa (presiden Sri Lanka saat itu), untuk pembangunan infrastruktur yang dapat menunjang pryek BRI China. Sedangkan Rajapaksa yang punya niat untuk menjadikan Sri Lanka sebagai pusat pelabuhan Samudera Hindia, tanpa pikir panjang menyambut baik tawaran tersebut.

“Kapan lagi Sri Lanka bisa mengalahkan Singapura sebagai kota pelabuhan, suatu saat nanti,” pikirnya.

Maka mega proyek bernilai US$ 20 miliar, yang diberi nama Colombo Port City yang diproyeksi rampung pada 2041 nanti, langsung digelar. Hambatan teknis, dimana Sri Lanka saat itu kerap menghadapi bayang-bayang teror dari kelompok separatis Macan Elam Tamil (LTTE), harus diselesaikan.

Nggak pakai lama, China segera memberikan bantuan senjata senilai US$ 3,3 miliar selain jet tempur, senjata anti pesawat terbang berikut radar sebagai ‘hadiah’. Walhasil, kelompok separatis Macan Elam Tamil dipaksa keok pada pemerintah Sri Lanka pada 2009 silam, yah karena disokong oleh pemerintah China.

Kesuksesan ini yang kemudian menjadikan Rajapaksa lebih otoriter dari sebelumnya, selain juga lebih korup. Pinjaman dari China yang sedianya digunakan untuk membangun infrastruktur, eh malah dikorupsi. Saat jatuh tempo pembayaran hutang, karena negara tidak memiliki uang yang cukup, terpaksa pelabuhan Hambantota ‘diambil alih’ oleh China sebagai gantinya.

Walaupun pada pemilu 2015 Rajapaksa dilengserkan oleh Maithripala Sirisena, namun pemerintah baru yang diusungnya, masih mengekor pada pemerintah China. Ironis. Padahal Sirisena yang kerap meneriakkan program-program anti-China pada setiap kampanyenya, toh hasilnya sami mawon.

Kenapa itu bisa terjadi, yah karena uang itu manis rasanya. Apa ada istilah ‘uang Aseng’?

Dan mega proyek di Sri Lanka, kembali dikebut pasca pemilu lewat negosiasi ulang yang digelar pada 2016 lalu. Dan sekali lagi, rakyat Sri Lanka-lah yang kembali menjadi korban janji-janji gombal presiden terpilih.

Belum lagi berdasarkan temuan di lapangan, bahwa toko-toko China sekarang mulai menjamur di seantero Sri Lanka. Dan ini menimbulkan gelombang kebencian dikalangan pengusaha pribumi Sri Lanka. Semangat anti China-pun kembali menemukan salurannya.

Bisa dibayangkan, bila mega proyek ini terus berjalan, maka ambisi China untuk ‘menguasai dunia’ lewat jalur sutra maritim-nya, adalah keniscayaan suatu saat nanti. Dan ini tidak boleh terjadi. Hanya ada satu instrumen yang bisa digerakkan oleh Mamarika sebagai penentang hegemoni China, untuk menghambat mega proyek tersebut. Instrumen itu adalah kelompok teroris.

Dengan adanya teror tersebut, apa yang mungkin terjadi? Bukan saja investor, tapi juga wisatawan mancanegara akan segera hengkang dari bumi Sri Lanka. Bila demikian adanya, minimal mega proyek yang dikebut pemerintah China akan terhambat. Syukur-syukur kalo gagal, karena memang itu yang diharapkan.

“Apa yang terjadi di Sri Lanka, bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Apalagi menjelang pengumuman hasil pilpres pada 22 Mei nanti. Kerusuhan yang dipicu aksi teror adalah kondisi yang sangat mungkin terjadi untuk menggantikan rejim yang berkuasa karena dinilai tidak sejalan dengan garis kebijaka AS,” demikian ungkap sebuah sumber.

Anyway, turut berduka yang sedalam-dalamnya untuk para korban ledakan disana.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!