Sang Arsitek Penggulingan Rejim


524

Pada dekade 1980an, presiden AS Ronald Reagan dan kepala CIA Bill Casey mendesain suatu badan yang kelak dipakai dalam operasi terselubung mereka di seluruh dunia. Badan ini diperlukan untuk menyamarkan gerakan intelijen mereka di negara-negara tujuan.

Kelak, lembaga ini dinamakan NED alias National Endowment for Democracy. Bentuknya LSM alias Non-Governmental Organization (NGO).

NED inilah cikal bakal perang baru tanpa menggunakan kekuatan militer, yang sekarang kerap disebut sebagai perang asimetrik. Tujuannya untuk menggulingkan rejim yang mereka hendak kudeta dengan menggunakan kekuatan massa. Massa dihimpun melalui LSM-LSM yang telah mereka bina.

“Secara ekonomi, juga bisa dibilang ngirit namun daya rusaknya sangat dahsyat,” begitu ungkap seorang pengamat intelijen.

Proyek percobaan NED dilancarkan pada negara-negara Balkan berhaluan komunis, yang pada akhir dekade 1980an mulai menunjukkan gejala bubar gerak. “Sebelum mereka menyatu kembali, ya baiknya dipecah belah lewat kekuatan non-militer.” Disinilah NED menemukan fungsinya.

Setelah sukses memecah negara-negara bekas blok komunis seperti Azerbaijan dan Georgia, secara teknis AS, mulai melirik negara Serbia yang kala itu dipimpin oleh tokoh komunis kawakan, Slobodan Milosevic.

Disinilah USAID berkolaborasi dengan Open Society Institute bentukan George Soros dalam menggelontorkan dana, kemudian menggandeng NED untuk mencari rekan strategis di Serbia.

Setelah cari-cari, dapatlah seorang calon potensial yang bernama Srdja Popovic.

Singkat cerita Popovic direkrut dan mendapatkan pelatihan khusus gerakan intelijen di hotel Hilton Budapest pada bulan Oktober 1999 dari Gene Sharp dan Robert Helvey. Berbekal organisasi kemahasiswaan yang dipimpinnya di Universitas Beograd, Popovic muda mulai menapak karir.

Setelah dirasa siap, organisasinya, Otpor! (= perlawanan dalam bahasa Serbia), segera mendapatkan kucuran dana yang lumayan gede dari mamarika. Targetnya 1, agar Slobodan Milosevic yang ditakutkan akan menghidupkan Pakta Warsawa kembali, harus segera dilengserkan.

Operasinya meraih sukses besar dengan menjungkal Milosevic dari kursi kepresidenan dan menyeretnya ke Tribunal Internasional di Den Haag atas kejahatan kemanusiaan pada perang Kosovo.

Sukses ini mengantar karir Popovic meroket dan mendapatkan restu dari Washington untuk melebarkan sayapnya.

Akhirnya di tahun 2000, Popovic mendirikan konsultan penggulingan rejim yang bernama Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS). Apa spesialisasinya?

Merujuk pada laman website-nya, CANVAS bercita-cita untuk menegakkan demokrasi di seluruh dunia, dengan cara menggulingkan rejim yang mereka anggap otoriter. Apa tolok ukurnya suatu rejim dikatakan otoriter? Yah tentu saja sesuai dengan kriteria sang pendana.

Jualannya apalagi kalo nggak HAM dan Demokratisasi. Kitab suci yang diusungnya adalah “From Dictatorship to Democracy” karya Prof. Gene Sharp, sang mentor dari universitas Harvard, yang kemudian dijadikan buku acuan untuk menggulingkan ‘rejim otoriter’ yang berkuasa.

Jejak sang arsitek sudah banyak ditemukan pada berbagai upaya kudeta dari yang terjadi di Timur Tengah hingga Asia dan Amerika Latin. Modusnya sama, menggunakan jaringan LSM lokal yang hobby meneriakkan HAM dan demokratisasi sebagai kata sandi untuk memulai operasinya.

Dengan uang dalam jumlah besar yang didapat dari USAID dan Open Society Institute yang berafiliasi dengan genk Rothchild, tentu tidak sulit bagi sang Popovic untuk menggulung rejim yang tidak kooperatif dengan kepentingan bisnis kelompok Rothschild.

Satu yang pasti, bahwa kisruh Papua dan Hongkong ada benang merahnya. Kalo di Papua menggunakan operator lapang yang bernama VerKom, sedangkan di Hongkong operator lapangnya adalah Joshua Wong. Apa kesamaannya? Sama-sama meneriakan HAM dan demokratisasi.

Yang satu ingin China angkat kaki dari Hongkong, yang satunya lagi ingin Indonesia angkat kaki dari Papua.

Kok bisa sama? Ya karena, yang kasih dana sama, konsultannya-pun juga sama. Logikanya selanjutnya, pesanannya juga pasti sama. Apa mungkin pesan bakso, keluarnya somay?

Terus, apa masih percaya kalo rusuh Papua hanya sebatas kerusuhan rasial semata, Bambang?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!