Saat Jenuh Menerpa
Oleh: Ndaru Anugerah
“Kapan sekolah akan dibuka kembali?” Begitu kurleb pertanyaan yang dilontarkan oleh orang tua dan juga siswa saat pembelajaran online digelar.
Baru-baru ini, Indonesia Political Opinion (IPO) merilis hasil survei nasional tentang evaluasi publik atas penanganan pandemi Kopit, terutama yang soal kebijakan membuka pembelajaran tatap muka. (https://www.wartaekonomi.co.id/read335505/sekolah%20)
Apa hasil survei-nya?
“Kebijakan membuka sekolah kembali mendapat dukungan suara mayoritas, karena 94% responden menyatakan setuju dengan kebijakan pembukaan sekolah tersebut,” ungkap Direktur IPO Dedi Kurnia Syah (5/4).
Artinya, hanya sekitar 6% responden yang menolak kebijakan tersebut.
Tidak hanya itu.
Dalam survei itru juga terungkap bahwa hanya 36% responden yang setuju dengan kebijakan penutupan sekolah yang diberlakukan selama ini. Secara otomatis, mayoritas responden sebenarnya nggak menginginkan kebijakan ‘main tutup sekolah’.
Kenapa mayoritas tidak menginginkan kebijakan tersebut?
Banyak faktor yang menjadi penyebab, salah satunya anak-anak bukanlah independent learners. Saat ortu bekerja, anak yang ikutan PJJ nyatanya malah main game dengan teman-temannya atau melakukan aktivitas lainnya selain belajar.
Dan ini bisa terjadi karena nggak ada pendampingan yang dilakukan orang tua pada anak saat pembelajaran online berlangsung.
Ujung-ujungnya ortu juga yang dijadikan bemper dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru kepada anak mereka.
Pertanyaannya: yang belajar anak-anak apa orang tua-nya?
Apakah hasil survei tersebut representatif?
Survei yang dilakukan IPO pada 20-30 Maret 2021 silam tersebut meibatkan 1200 responden yang tersebar proporsional di seluruh Indonesia dengan metode Multistage Random Sampling. “Sampling error-nya 2,50% dengan tingkat akurasi 97%,” demikian ungkap Syah.
Jadi, jangan ragukan hasil test tersebut, setidaknya secara statistika.
Tentang hasil survei tersebut, selaku analis Geopolitik saya mengamininya.
Artinya PJJ memang bukan belajar yang sesungguhnya.
Kenapa?
Yang namanya mendidik, bukan semata-mata knowledge transfer karena ada kontak sosial yang dilakukan antara pendidik dan peserta didik. Ada nilai hidup yang didapat siswa dari teman sebaya dan juga dari gurunya saat belajar di sekolah.
Makanya dalam pendidikan, konsep brick and mortar mutlak diperlukan untuk bersosialisasi.
Kalo pendidikan hanya sebatas transfer pengetahuan, ngapain juga sekolah karena nyatanya mbah Google lebih pintar ketimbang guru, bukan? (https://ballotpedia.org/Brick-and-mortar_education)
Lagian kalo dikatakan bahwa pembukaan sekolah akan mendatangkan risiko terjadinya klaster baru, mana dasarnya? Adakah penelitian yang mendasari pernyataan tersebut? Nggak ada, bukan?
Jadi itu hanya asumsi yang dibangun tanpa ada landasan ilmiahnya.
Sebaliknya, begitu sekolah dibukan, nggak ada fakta ditemukan bahwa anak-anak bakal terinfeksi virus dan mati bergelimpangan di sekolah. Setidaknya penelitian di Islandia menyatakan hal tersebut.
“Bukan saja anak-anak cenderung kebal terhadap infeksi virus Corona, tapi terlebih lagi, anak-anak bukanlah carrier kepada orang yang lebih tua,” demikian ungkap peneliti di Islandia. (https://www.nationalreview.com/corner/icelandic-study-we-have-not-found-a-single-instance-of-a-child-infecting-parents/)
Tentang bukaan sekolah, saya pernah bahas beberapa kali. (baca disini dan disini)
Saran saya, ikuti sains dan jangan ikuti asumsi yang nggak ada dasarnya. Kasihan anak-anak jadi korban kebijakan nggak mendasar yang akan mengorbankan masa depan mereka.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments