Ketika Normal Menjadi Keharusan


524

Ketika Normal Menjadi Keharusan

Oleh: Ndaru Anugerah

Bicara tentang pandemi si Kopit, ada 2 wilayah mainstream yang jadi rujukan. Pertama di negara Barat pada umumnya, yang satunya lagi di wilayah Skandinavia. Dengan melihat beda treatment pada kedua wilayah tersebut, anda akan duduk masalahnya.

Di kebanyakan negara Barat pada umumnya (AS dan mayoritas negara Eropa) mereka masih menerapkan lockdown. Dasar penerapan kebijakan tersebut nggak lain adalah tes PCR. Asumsinya, banyak angka orang yang terinfeksi si Kopit.

Padahal banyak sekali penelitian bilang bahwa test PCR nggak bisa diandalkan dalam mendiagnostik si Kopit. Jadi mana bisa hasilnya dijadikan rujukan? (https://www.cebm.net/covid-19/when-is-covid-covid/)

Akibatnya sungguh fatal. Lockdown menemukan pembenarannya.

Bahkan pihak berwenang di Inggris menetapkan bahwa selama liburan Natal tahun ini, kampus ditutup guna menghentikan penyebaran si Kopit ke keluarga mereka di rumah. (https://www.independent.co.uk/news/education/education-news/coronavirus-students-might-be-asked-stay-campus-over-christmas-government-admits-b571804.html)

Hal yang sama sekali berbeda justru terjadi di wilayah Skandinavia.

Awalnya Denmark dan Norwegia ambil langkah ekstrim dengan menerapkan lockdown. Namun paradigma kedua negara berubah setelah mendapat ‘temuan menarik’ di Swedia.

Sejak awal pandemi, Swedia nggak pernah ambil langkah lockdown seperti anjuran WHO. Sebagai konsekuensinya mereka menjalankan kekebalan kawanan atau herd immunity, dengan memberlakukan semua kegiatan secara normal. Semua berjalan normal, nggak terkecuali sekolah.

Saat itu saya ingat, banyak sekali media mainstream yang mengecam langkah yang diambil Swedia diawal-awal pandemi. (baca disini)

Kenapa?

Karena menurut banyak spekulasi, kekebalan kawanan hanya bisa terjadi jika sekitar 60-70% populasi terinfeksi si Kopit. Dan ini bisa jadi bunuh diri.” Iya kalo terinfeksi bisa kebal, nah kalo mati?” kurleb begitu spekulasinya. (https://www.nature.com/articles/d41586-020-02948-4)

Nyatanya, persentase orang yang terinfeksi guna mencapai kekebalan kawanan, nggak nyampe 60-70%. Angkanya jauh lebih kecil dari dugaan. “Hanya 10-20% saja,” ungkap hasil penelitian yang dibuat oleh para ilmuwan Oxford, Virginia Tech dan Liverpool School of Tropical Medicine. (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.04.27.20081893v3)

Dan para ilmuwan di Swedia sudah menghitung cermat dari awal pandemi alias sudah tahu duluan tentang informasi itu. Makanya mereka dari awal menolak lockdown.

Saat sekolah dibuka secara normal di Swedia, nyatanya nggak ada tuh gangguan berarti yang menimpa anak-anak usia sekolah seperti kekhawatiran banyak orang tua murid saat awal-awal.

Nggak ada anak-anak yang mati bergelimpangan disebabkan oleh si Kopit. Padahal nggak ada protokol pakai masker, nggak menerapkan social distancing, dan nggak ada istilah jumlah siswa yang dibatasi pada tiap kelas. (https://21stcenturywire.com/2020/05/01/covid-why-sweden-has-already-won-the-debate-on-covid-19-lockdown-policy/)

Sukses Swedia menginspirasi negara Skandinavia lainnya, semisal Denmark dan Norwegia. “Ah, ternyata anggapan bahwa si Kopit berbahaya, hanya bualan saja,” begitu kurleb ungkap mereka.

Setelah sempat sebulan di lockdown, Denmark mengikuti lamgkah Swedia dengan membuka kembali negaranya, termasuk sekolah pada 15 April silam.

Hak anak-anak untuk mengenyam pendidikan jangan sampai dikorbankan akibat pandemi ini,” ungkap pejabat berwenang. (https://time.com/5868098/schools-reopening-coronavirus-denmark-south-korea-israel/)

Langkah ini berlanjut dengan membuka sekolah pada semua jenjang di Denmark pada Mei silam secara normal. Dan nggak ada tuh banyak kematian tragis pada anak-anak begitu sekolah dibuka normal seperti spekulasi banyak orang sebelumnya. (https://www.irishexaminer.com/news/arid-40035254.html)

Hal yang sama juga terjadi di Norwegia, yang pada April silam juga telah memulai membuka kegiatan secara normal secara bertahap, termasuk persekolahan. Dan sekali lagi, nggak ada korban tewas pada anak-anak, setelah kembali bersekolah. (https://www.ft.com/content/de2027d4-5153-462b-a38d-75b7a5ddad17)

Dan kini, setidaknya ketiga negara Skandinavia tersebut (Swedia, Norwegia dan Denmark) kehidupan telah berjalan normal seperti sedia kala. Bukan kehidupan ala new normal yang digembar-gemborkan oleh WHO selaku antek elite global.

Masyarakat nggak perlu pakai masker saat jalan kemana-mana. Nggak ada juga social distancing saat beraktivitas. Sehingga rakyat nggak perlu diancam denda atau kurungan penjara kalo melanggar aturan pembatasan yang diterapkan pemerintah.

Gimana bisa didenda, lha wong aturan pembatasannya aja nggak ada?

Tujuan sekolah dibuka adalah membuat pengalaman belajar senormal mungkin selama pandemi dan yang terpenting jangan takuti anak-anak dengan asumsi yang tidak mendasar,” ungkap seorang tenaga pengajar di Denmark. (https://www.cbc.ca/news/world/denmark-schools-covid-19-pandemic-1.5720508)

Itu baru pernyataan waras.

Dan yang terpenting, ketiga negara tersebut nggak perlu menantikan datangnya vaksin sebagai ‘syarat mutlak’ untuk mengakhiri pandemi.

Indah bukan jika akal sehat bekerja?

Btw, Kopit di Swedia, Denmark dan Norwegia sama nggak sih bentuknya dengan yang ada di Republik Wakanda? Kalo sama, kenapa disana justru ambil langkah beda?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!