Promosi Pangan Masa Depan
Oleh: Ndaru Anugerah
Beberapa bulan yang lalu, saya pernah mengulas tentang rencana Ndoro besar dalam menggulirkan pangan masa depan yang berkelanjutan. (baca disini dan disini)
Segudang strategi tengah digarap dari mulai Farm to Fork hingga New Genomic Techniques (NGT) yang akan menjadi peta jalan bagi rencana pangan ke depannya, yang tentu saja berkeadilan dan cukup untuk menyediakan makanan bagi miliar-an penduduk dunia.
Caranya?
Tentu saja dengan mengedit gen dari tanaman atau daging asli. Jadi yang kita makan nantinya bukan hasil pertanian atau daging yang biasa kita santap hari ini, tapi semua serba sintetik hasil dari pengembangan di laboratorium.
Ini dilakukan karena 2 alasan.
Pertama, sang Ndoro berasumsi bahwa manusia dengan sifat dasarnya yang rakus, akan menyebabkan kelangkaan pangan jika pangan sintetis tidak segara diperkenalkan.
Kedua, pangan sintetis akan otomatis ramah lingkungan, karena nggak butuh lahan untuk menghasilkannya. Belum lagi pertanian yang dituding sebagai penyebab pemanasan global. “Kontribusinya lebih dari 17%,” demikian kurleb ujar pejabat di OECD. (https://www.oecd.org/agriculture/ministerial/background/notes/4_background_note.pdf)
Itu kan baru strategi. Pada tataran teknis bagaimana mengeksekusinya?
Selain lobi-lobi tengah dilakukan pada banyak pemerintahan dunia tentang implementasi pangan sintetik, promosi juga kian digalakkan.
Pernah dengar World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)?
Secara umum WBCSD merupakan koalisi yang berisi CEO perusahaan multi-nasional terbesar di dunia, yang beranggotakan lebih dari 200 pebisnis. Koalisi yang dibentuk pada 2014 silam tersebut, saat ini tengah mempromosikan pangan masa depan bagi masyarakat dunia secara kolektif.
Jadi, WBCSD dibentuk sebagai wadah komunikasi bagi para pebisnis (khususnya di bidang pangan) agar ada kesepahaman.
Setelah komunikasinya clear, maka mereka tinggal promosikan secara masif agar orang sedunia mau melakukan transisi pangan dari makanan yang biasa kita santap hari ini ke makanan sintetis. (https://www.theguardian.com/sustainable-business/sustainability-case-studies-world-business-council)
Langkah WBCSD mungkin nggak mengalami kesulitan yang berarti, karena selain perusahaan pangan raksasa seperti Kellogg’s dan Nestle yang terlibat pada WBCSD, ada juga jaringan Big Tech dan WEF yang ikutan bergabung.
Minimal promosi transisi pangan yang mereka lakukan, menjadi lebih mudah karena adanya WEF dan jaringan Big Tech. Bayangkan jika nggak ada koalisi tersebut, bagaimana orang sedunia tahu tentang rencana transisi pangan? (https://www.weforum.org/agenda/2021/11/what-is-the-true-cost-of-a-chocolate-cookie/)
Apakah hanya promosi melalui platform media yang dilakukan? Lantas apa yang dipromosikan?
Promosi transisi pangan saat ini memang sengaja dilakukan melalui media online, karena memang saat ini orang terkoneksi dengan sistem digital, bukan? (https://www.wur.nl/en/article/food-transitions-2030.htm)
Apa konten yang dipromosikan nggak lain adalah bagaimana kita harus mengubah pola makan kita yang dituding merusak bumi dan nggak ramah lingkungan, dengan pola makan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Untuk mengukurnya, mereka menggunakan standar baku yang dikenal dengan analisa True Value of Food (TVoF). Pada pengantarnya mereka mengatakan bahwa TVoF diperlukan guna menghindari rusaknya bumi akibat pola pangan yang berkontribusi pada meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK). (https://www.wbcsd.org/contentwbc/download/12974/190792/1)
Pada tataran teknis, TVoF dikukur melalui matrik.
Misalnya ada sepotong kue. Maka berdasarkan matrik TVoF nilai kue tadi harus dihitung berdasarkan faktor ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan untuk menghasilkannya.
Berapa banyak pekerja yang digunakan perusahaan dalam menghasilkan kue tersebut? Berapa biaya yang dikeluarkan dalam menggaji mereka? Apakah kue tersebut menyumbang kontribusi yang besar bagi timbulnya penyakit pada tubuh kita, obesitas misalnya? Dan apa dampaknya bagi lingkungan dalam proses menghasilkan kue tersebut?
Kesemuanya itu akan dilimpahkan pada konsumen sebagai penikmat kue tersebut.
Ringkasnya, dengan skema TVoF, maka harga pangan yang dihasilkan oleh produsen pangan kelak, akan menjadi lebih mahal karena adanya ‘biaya-biaya’ yang dikeluarkan tadi.
Solusinya?
Jangan konsumsi pangan yang nggak ramah lingkungan, melainkan santap saja pangan sintetis. Nggak butuh pekerja pabrik, nggak mengeksplorasi alam dan sudah pasti ramah lingkungan.
Ambil contoh, ketimbang makan kue, kenapa kita nggak makan bubur oatmilk saja (yang merupakan pangan sintetik) yang ramah lingkungan? Toh ini bisa dilakukan karena nilai yang didapat konsumen kurleb-nya sama.
Apakah dengan makanan sintetis, masalah jadi selesai?
Nyatanya nggak semudah itu.
Makanan sintetis semisal daging, mengandung kadar glifosat berlebih yang tentu saja dapat memicu kanker. (baca disini)
Selain itu Dr. Allison Wilson dari Bioscience Resource Project menyatakan bahwa metode yang dipakai pada penyuntingan gen tanaman (guna menghasilkan makanan sintetis) sangat rentan menghasilkan mutan yang tidak diinginkan pada obyeknya. Bahasa gaulnya UT alias Unintended Traits alias kerusakan genetik. (https://www.researchgate.net/publication/344956402_Will_gene-edited_and_other_GM_crops_fail_sustainable_food_systems)
“Pengeditan gen pada tanaman sangat bersifat mutagenik dan sulit untuk diprediksi,” imbuh Dr. Wilson.
Jadi alih-alih menciptakan sistem pangan baru, dampak negatif yang ditimbulkan bukan nggak mungkin malah lebih besar dari masalah pangan itu sendiri.
Siapkah anda?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments