Potongan Puzzle Terakhir


517

Potongan Puzzle Terakhir

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, saya sudah baca ulasan tentang Omicron, tapi masih ada satu pertanyaan yang mengganjal. Kenapa Afrika yang dinarasikan sebagai tempat asal varian tersebut?” tanya seorang netizen.

Saya pikir ini pertanyaan kritis dan saya harus kasih jawaban.

Buat pembaca yang tidak mengikuti berita tentang Omicron, saya sudah menulis 2 artikel terdahulu. (baca disini dan disini)

Sebelum saya kasih jawaban atas pertanyaan di atas, anda perlu tahu bahwa selain Imperial College dan 2 lembaga lainnya di Inggris yang membuat simulasi pemodelan varian baru Kopit jauh-jauh hari, ada juga negara yang secara gamblang menggelar simulasi ‘perang’ terhadap varian baru dari si Kopit.

Negara itu adalah Israel.

Pada 11 November atau 2 minggu sebelum varian baru yang diberinama Omicron tersebut muncul ke permukaan, Israel tengah melakukan simulasi perang dalam menghalau varian baru yang mematikan. Nama yang diberikan pada varian tersebut adalah Omega.

Lusinan pejabar tinggi di Israel ambil bagian dalam simulasi tersebut untuk mengukur kesiapan negara itu dalam menghadapi gelombang plandemi berikutnya. (https://www.jpost.com/health-and-wellness/coronavirus/israel-successfully-completes-covid-19-war-games-684719)

Bahkan PM Israel Baftali Bennett mengatakan, “Kami memulai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya di sini, tidak hanya pada skala Israel, tapi pada tingkat global. Jadi kami melakukan latihan perang untuk mempersiapkan varian baru yang belum pernah ada sebelumnya.”

Nah terus, jika 2 minggu kemudian muncul si Omicron, apa ini hanya kebetulan?

Kembali ke laptop.

Lalu kenapa Afrika (secara khusus pada bagian Selatan) yang disasar sebagai asal munculnya varian Kopit tersebut?

Setidaknya ada 2 alasan utama.

Pertama, soal vaksin. Afrika merupakan benua yang memiliki tingkat vaksinasi terendah di dunia. Namun anehnya jumlah kematian akibat Kopit justru yang paling sedikit.

Ini jelas bertentangan dengan narasi Kopit.

Ryan McMaken dari Mises Institute mengatakan, “Sejak awal narasi Kopit adalah sebagai berikut: terapkan lockdown secara ketat, atau akan ada banyak kematian. Kamar mayat penuh karena nggak mampu menangani masalah ini.” Singkatnya, aturan lockdown perlu diterapkan. (https://mises.org/wire/low-vaccination-rates-africas-covid-deaths-remain-far-below-europe-and-us)

Tapi, saat vaksin Kopit tersedia, narasinya diubah.

“Dapatkan vaksin atau Kopit akan menyebar. Dan negara-negara tanpa vaksin, akan bersiap untuk mengahapi korban massal.”

Sialnya, narasi nggak sesuai ekspektasi. Nyatanya negara yang menerapkan lockdown atau nggak, sama-sama saja dengan negara yang nggak menerapkan kebijakan tersebut. Swedia adalah contoh yang paling gamblang. Jadi pendukung lockdown kecele sama fakta ini. (https://mises.org/wire/without-lockdowns-sweden-had-fewer-excess-deaths-most-europe)

Tapi fakta tinggal fakta, karena vaksinasi tetap dijalankan sesuai arahan sang Ndoro besar. Narasi yang dikembangkan: suntik massal akan mampu mengatasi seseorang dari kematian akibat Kopit.

Sekali lagi, ini nggak berjalan sesuai rencana, mengingat negara-negara di Afrika nggak menerapkan lockdown dan nggak juga ambil bagian untuk vaksinasi. Vaksinnya darimana mengingat mereka adalah negara-negara misqueen?

Tapi ajaibnya, wilayah Afrika termasuk yang sedikit tingkat kematiannya akibat Kopit yang dinarasikan sebagai virus yang menular dan mematikan.

“Ada sesuatu yang misterius yang terjadi di Afrika. Meskipun Afrika tidak memiliki vaksin dan sumber daya untuk memerangi Kopit seperti di negara Eropa dan Amerika, tetapi entah bagaimana mereka tampaknya lebih baik,” ungkap Dr. Wafaa El-Sadr dari Columbia University. (https://news.yahoo.com/scientists-mystified-wary-africa-avoids-074905034.html)

Memang berapa tingkat vaksinasi di Afrika?

Kurang dari 6%. Meski WHO mengatakan berkali-kali bahwa Afrika adalah salah satu wilayah yang paling terkena dampak dari plandemi karena nggak mendapatkan vaksin, nyatanya apa yang terjadi di benua Hitam tersebut bertolak belakang dengan prediksi yang dilontarkan WHO. (https://www.firstpost.com/world/why-africa-which-has-less-than-6-of-people-vaccinated-is-least-affected-by-covid-19-10149471.html)

Itu soal vaksin.

Yang kedua soal lockdown, pun nggak semudah membalikan telapan tangan jika diterapkan pada benua ini. Orang Afrika nggak bisa hidup ongkang-ongkang kaki di rumah dan bergantung hanya pada uang tabungan ataupun utang. Belum lagi pemerintahnya paling pelit untuk kasih subsidi ke rakyatnya.

Pilihannya: buruan kerja atau mati kelaparan.

Kalo kerjanya di sektor formal pasti mudah melakukan aktivitas lockdown. Nah kalo kerjanya serabutan alias informal, gimana mau menerapkan karantina? Hari ini mungkin bisa makan, tapi besok gaje karena menunggu kerjaan yang ada. Sehingga ini jelas nggak masuk akal untuk diterapkan di Afrika.

Dengan kerja yang serabutan dan sudah pasti tinggal di rumah yang serba empit-empitan, sudah pasti Afrika bakal jadi sasaran empuk si Kopit yang ‘katanya’ sangat menular tersebut.

Apa iya?

Nyatanya kematian akibat Kopit di Afrika terbilang kecil. Ini fakta yang nggak bisa disangkal. (https://mises.org/wire/low-vaccination-rates-africas-covid-deaths-remain-far-below-europe-and-us)

Dengan kedua alasan tersebut, ada realita yang bertolak belakang dengan narasi plandemi di Afrika sana. Pertam soal vaksin dan kedua soal lockdown, yang dua-duanya nggak berjalan sesuai narasi di benua Hitam.

Bayangkan jika fakta ini diketahui masyarakat dunia, kira-kira vaksin dan semua kebijakan didalamnya bakal laku atau nggak?

Jadi paham kenapa Afrika disasar sebagai wilayah asal Omicron?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!