Bagaimana Jokowi bisa bertemu dengan Luhut? Saat Jokowi masih menjabat walikota Solo. Saat itu keduanya sepakat untuk membuat perusahaan patungan yang bergerak permebelan yang berpusat di Sragen – Jawa Tengah. PT. Rakabu Sejahtera namanya.
Sesuai prediksi Luhut, Jokowi akan bisa melaju ke RI-1 jika seandainya Pakde berhasil menduduki DKI-1 saat pilkada tahun 2012 silam. Dan sesuai jalannya, sukses Jokowi di Jakarta yang kemudian mengantarnya menjadi orang nomor 1 di republik ini saat gelaran pilpres 2014.
Kedekatan inilah yang kemudian menjadikan seorang Luhut Binsar menjadi barisan di ring-1 dalam pemerintahan Jokowi. “Kemampuan intelejen-nya yang membuatnya dipakai oleh pakde selain loyalitasnya,” demikian ungkap suara dari istana.
Bicara rekam jejak di dunia intelijen, Luhut Binsar memang tak perlu diragukan. Dari mulai komandan Detasemen anti-teror Kopassadha (Kopassus), Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) bahkan Badan Intelijen Strategis (BAIS) pernah dia jajaki.
Apa peran seorang mantan perwira tentara yang sangat fasih pada dunia intelijen?
Banyak. Salah satunya adalah strategi gerilya yang dijalankan guna pemenangan paslon yang diusungnya saat gelaran pilpres berlangsung. Singkatnya, tanpa peran Luhut, mungkin Jokowi nggak akan bisa melenggang ke kursi RI-1.
Steve Colbert dan Michael Davidson dalam bukunya “The Role of Military in Presidential Politics” bahkan mengamini bahwa peran pensiunan militer punya posisi politik yang cukup kuat dalam gelaran pilpres. Walaupun sudah tidak mengendalikan pasukan, namun pengetahuan untuk melakukan operasi gerilya, tentu sangat dibutuhkan buat meraih kemenangan.
Dari segi loyalitas-pun, Luhut nggak perlu dipertanyakan. Contohnya saat pilpres 2014, dimana partai Golkar tempatnya bernaung yang kala itu mendukung Prabowo, Luhut justru berani pasang badan dengan mendukung Jokowi-JK.
Berbekal kapabiltas dan loyalitas, Luhut-pun menambatkan pilihannya ke Jokowi. Saat pilpres 2014, bersama dengan sejumlah purnawirawan TNI yang mayoritas angkatan 1970-an, Luhut mendirikan tim Bravo 5 yang bertugas memenangkan Jokowi dengan konsep perang senyap yang dilakukannya.
Hasilnya sungguh memuaskan. Untuk seorang Jokowi yang nggak punya prestasi apa-apa selain rekam jejaknya yang bersih, Jokowi justru berhasil memenangkan kontestasi. Padahal saat itu, berapa banyak mantan purnawirawan TNI yang ada dibelakang Prabowo, toh tak mampu mengalahkan kepiawaian seorang Luhut di lapangan.
Artinya, secara skill, kemampuan Luhut tak perlu diragukan lagi.
Pada saat aksi 212 digelaran pilkada DKI tempo hari, siapa yang bisa mengendalikan situasi? Mungkinkan seorang Jokowi mampu menangkis aksi para kampret yang berniat melengserkannya, tanpa bantuan seorang perwira intelijen sekelas Luhut?
Atau saat perebutan kursi Jawa Barat 1 yang sangat terkenal sebagai sarang kampret, mungkinkah seorang Ridwan Kamil yang didukung Jokowi bisa mulus melenggang tanpa adanya operasi senyap yang digelar oleh seorang perwira intelijen?
Digelaran pilpres kali ini, Bravo 5 yang walaupun diketuai oleh Jenderal (Purn) Fachrul Razi, namun sasus beredar bahwa Luhut-lah adalah orang di belakang layarnya. Dengan kata lain, Bravo 5 adalah mesin perang gerilya Jokowi yang sesungguhnya, bukan TKN yang dipimpin oleh Erick Thohir.
Mengantisipasi gerakan kampret di lapangan yang menggunakan HTI sebagai instrumen gerilya, tidak akan mampu dilakukan oleh orang sipil. Hanya orang yang punya bekal intelejen yang baik yang mampu mengatasi infiltrasi khas HTI.
“Bravo 5 bukan saja sudah memetakan gerakan masif HTI dari mulai penguasaan mesjid hingga rencana pengadaan dapur umum di tiap TPS, tapi juga sudah mempersiapkan skenario antisipasinya, termasuk skenario rusuh pasca pilpres yang mungkin saja terjadi,” demikian bocoran yang saya dapat.
Bermodal kenyataan tersebut, sudah bisa kita ambil kesimpulan siapa yang akan memenangkan kontestasi pilpres kali ini. Mengutip kata-kata seorang anggota Bravo 5, “Tugas kami pada gelaran pilpres kali ini terbilang lebih ringan ketimbang gelaran pilpres 2014 lalu.” Entah apa maksudnya?
Mungkin kalo diterjemahkan, saat pilpres 2014 saja Jokowi berhasil mereka orbitkan walaupun dengan kemenangan tipis. Pertanyaannya: mungkinkah dengan tugas yang lebih ringan mereka gagal menghantar Jokowi melaju ke kursi RI-1 kembali?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments