Optimisme vs Pesimisme


515

Kampanye terakhir paslon 01 yang bertajuk Konser Putih Bersatu pada Sabtu (13/4) kemarin, merupakan strategi mobilisasi massa yang boleh dibilang sukses. Tapi kalo dibilang sukses besar, apalagi dengan jumlah peserta sampai juta-jutaan adalah pernyataan yang lebay.com.

Kenapa? Karena memang kapasitas Stadion Utama GBK daya tampungnya nggak muat sampai angka jutaan. “Cuma bisa menampung peserta maksimal hanya ratuan ribu orang saja,” demikian ungkap seorang pengelola GBK.

Dan memang angka realistisnya yah cuma segitu doang. Nggak mungkin angka psikologis jutaan tercipta, walaupun kondisi didalam empet-empetan sekalipun. Kalo ada yang ngeklaim dengan angka jutaan, entah bagaimana cara berhitungnya? Apakah jin iprit dan tuyul juga masuk hitungan? Entahlah.

Dari sisi acara, kampanye akbar tersebut juga menuai pujian. Kenapa? Konsep acaranya kontras dengan kampanye akbar yang digelar paslon 02 pada minggu lalu (6/4), yang sifatnya monoton dan juga ekslusif. Hanya diperuntukkan bagi para kampret yang hobi menebar janji dan mengkapling-kapling sorga.

Tidak ada kebhinnekaan disana, apalagi ke-Indonesiaan. Semuanya hanya berbalut doa-doa dengan penegasan agar Tuhan mau mendengar suara para kampret, kalo tidak mau diboikot.

Walhasil, Pepo-pun meradang, dan segera membuat surat terbuka yang isinya keprihatinan acara kampanye akbar 02 yang dituding sebagai bentuk ekslusifitas. Acara kampanye akbar kok dikemas mirip acara munajad? Nggak pas formatnya. Belum lagi model sholat jamaah yang digelar, dimana kaum pria dan wanita berada pada satu shaf yang sama. Sungguh warbiyasah..

Konon, karena rasa kecewa, Pepo akhirnya nitip pesan kepada paslon 01, agar saat menggelar kampanye akbar memperhatikan aspek kelaziman. “Jangan ekslusif tapi harus inklusif yang menonjolkan sisi ke-Indonesiaan,” pesannya.

Artinya konsep acaranya harus mengusung nilai kebhinnekaan, kemajemukan dan tentunya semangat persatuan.

Masukkan ini diterima dengan baik oleh kubu TKN JOMIN. Walhasil, tadaa…acara kampanye akbar tersebut berlangsung dengan format ke-Indonesiaan tulen, tanpa perlu mengancam-ancam Tuhan untuk memihak paslon JOMIN.

Jumlah peserta yang membludak, juga dapat dijadikan indikator suksesnya acara. “Peserta luber sampai bunderan HI, bang,” demikian laporan teman wartawan yang meliput acara. Bahkan beberapa reporter asing mengatakan bahwa acara tersebut mirip-mirip konser Queen, karena riuhnya peserta yang hadir.

Apa yang bisa disimpulkan dari suksesnya acara tersebut?

Pertama, cebongers sebagai massa solid pendukung Jokowi sudah siap menyongsong kemenangan kembali saat hari pencoblosan nanti. Inilah esensi utama yang ingin disampaikan oleh lautan massa yang hadir Sabtu kemarin. “Kami rindu Jokowi memimpin kembali negeri ini,” begitu kurang lebih pesan yang ingin disampaikan.

Yang kedua, keluarnya massa solid dari kantong-kantong suara juga ingin menegaskan bahwa mereka menginginkan negeri ini kelak menjadi bangsa yang besar. Dan untuk menjadi bangsa yang besar, nggak mungkin dipimpin oleh seorang pemimpin yang pesimistis. Harus pemimpin yang punya semangat optimisme yang kuat.

Coba bandingkan dengan paslon BOSAN. Masa belum-belum sudah memprediksi Indonesia bubar atau TNI kita yang nggak mampu bersaing dengan angkatan bersenjata dari luar negeri. Mau dibawa kemana kira-kira negara ini, jika kelak dipimpin oleh presiden yang model gini, yang hanya bisa menyalahkan keadaan tapi nggak bisa kasih solusi?

“Kampanye akbar kemarin telah menegaskan siapa pemenang kontestasi pilpres kali ini,” demikian ungkap seorang analis politik senior.

Tinggal satu langkah lagi bagi Jokowi untuk bisa melenggang kembali. Dan itu ditentukan saat hari pencoblosan. Akankah pendukungnya berbondong-bondong datang ke TPS dan memberikan suaranya pada presiden rakyat tersebut?

Inilah yang harus dibuktikan bersama. Mengingat para kampret sudah jauh-jauh hari mempersiapkan strategi serangan fajar jelang pencoblosan.

Di mulai dengan sholat subuh berjamaah dengan ceramah provokasi ala kampret hingga pengadaan dapur umum gratis dengan pesan sponsor, yang tentu saja menelan biaya yang tidak sedikit. Mungkin untuk itulah Uno rela menjual saham Saratoga miliknya senilai puluhan milyar rupiah.

Saatnya sejarah akan berkata, dimana militansi kampret hanya akan mungkin ditaklukkan oleh semangat perubahan yang revolusioner.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!