Narasi Kebohongan (*Bagian 2)


523

Narasi Kebohongan (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 09102024

Pada bagian pertama tulisan kita sudah bahas tentang ketidak-konsistenan narasi seputar perubahan iklim yang ditenggarai menyebabkan banyak hal yang tidak masuk akal.

Dari mulai perilaku para suami yang tetiba menjadi ‘beringas’ kepada istrinya, hingga perilaku lobster yang tetiba menjadi hewan kanibal yang memangsa sesama-nya. (baca disini)

Singkatnya, semua fenomena ‘janggal’ tersebut, diklaim karena disebabkan oleh perubahan iklim, meskipun itu semua diluar nurul. Bukankah perilaku ‘kasar’ suami pada istrinya sudah ada sejak lama, bahkan sebelum narasi perubahan iklim didengungkan?

Belum lagi menyangkut ketidak-ajegan narasi. Pada satu sisi dikatakan bahwa akibat perubahan iklim, rotasi bumi melambat dan menyebabkan panjang hari berubah. (https://agupubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1029/2001GL013672)

Namun, di sisi yang lain dikatakan bahwa rotasi bumi bukannya melambat tapi justru bertambah cepat. (https://agupubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1029/2006GL029106)

Lah, yang benar mana nih? Akibat perubahan iklim yang antropogenik, rotasi bumi melambat atau justru bertambah cepat? Bingung deh kasih jawabannya, karena keduanya di-klaim telah disebabkan oleh perubahan iklim.

Masalahnya, peningkatan suhu rata-rata secara global telah ada sejak lama, bahkan sejak berakhirnya Zaman Es Kecil yang terjadi di akhir abad 19 dan awal abad 20. Dan ini bukan disebabkan oleh aktivitas manusia. (https://www.britannica.com/science/medieval-warm-period)

Peningkatan suhu juga bisa terjadi akibat aktivitas gunung berapi yang menyebabkan langit tertutup debu vulkanik. Dan ini bukan disebabkan oleh aktivitas manusia alias non-antropogenik. (https://judithcurry.com/2024/07/05/hunga-tonga-volcano-impact-on-record-warming/)

Mengapa yang dijadikan narasi justru perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pemakaian bahan bakar fosil hingga segudang aktivitas lainnhya yang nggak ramah lingkungan?

Lagi pula, hawa panas tidaklah menyebabkan kematian lebih banyak ketimbang hawa dingin. “Tiap tahunnya, peningkatan temperatur telah menyelamatkan setidaknya 166.000 nyawa,” ungkap mantan Direktur Environmental Assessment Institute Denmark, Bjorn Lomborg. (https://notrickszone.com/2024/09/01/rising-global-temperatures-saving-millions-of-lives-study-finds-cold-kills-30-times-more/)

Dengan kata lain, perubahan iklim bukannya menyebabkan lebih banyak kematian, tetapi justru menyelamatkan orang dari kematian. Adalah fakta bahwa lebih banyak orang meninggal akibat kedinginan daripada kepanasan. (https://www.thelancet.com/journals/lanplh/article/PIIS2542-5196(21)00081-4/fulltext)

Nggak hanya itu.

Anda pasti tahu NASA, bukan?

Lembaga antariksa AS ini telah mengonfirmasi bahwa peningkatan kadar karbon dioksida di atmosfer, sebenarnya telah menghijaukan bumi. (https://www.nasa.gov/centers-and-facilities/goddard/carbon-dioxide-fertilization-greening-earth-study-finds/)

Akibatnya, proses penghijauan ini justru memperlambat pemanasan global dan bukan-nya menambah panas planet bumi. (https://earthobservatory.nasa.gov/images/146296/global-green-up-slows-warming)

Lalu, mana yang benar: konsentrasi karbondioksida di udara menambah panas suhu bumi, atau justru menahan laju peningkatan suhu bumi karena efek penghijauannya?

Nggak bisa kasih jawaban, kan?

Satu yang pasti bahwa narasi pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia adalah final dan amin. Jadi, siapapun itu nggak boleh menolak narasi yang dikembangkan.

Jika anda nekat melawan narasi tersebut, maka anda akan berhadapan dengan ‘pasukan tuyul’ yang bernama ‘pak ceker’. Anda nggak perlu heran, karena memang begitu cara ‘kerjanya’. (baca disini dan disini)

Kita coba kembangkan dengan kasus yang lain.

Anda pasti tahu tentang narasi kenaikan permukaan air laut akibat es di kutub mencair, bukan? Bahkan digambarkan bahwa beruang kutub Antartika nyawa-nya bakal terancam dengan adanya pemanasan global. (https://interactive.carbonbrief.org/polar-bears-climate-change-what-does-science-say/)

Pertanyaan sederhana: memangnya lapisan es di Antartika jika berkurang massa-nya, mampu menentukan kenaikan permukaan air laut global hingga seperseratus milimeter?

Sampai di titik ini, nggak ada jawaban pastinya karena semua pakar hanya mengandalkan asumsi dan simulasi semata.

Nyatanya permukaan air laut nggak mengalami perubahan, sampai kemudian sosok Al Gore ‘mendeklarasikan’ istilah pemanasan global kepada dunia. (https://wattsupwiththat.com/2013/12/21/oh-say-can-you-see-modern-sea-level-rise-from-a-geological-perspective/)

Sejak itulah narasi-narasi kenaikan air laut yang disebabkan pemanasan global mulai masif dikumandangkan, dengan harapan satu: anda semua sukses dibuat mati ketakutan. (baca disini dan disini)

Bukankah orang yang takut akan lebih mudah untuk disetir guna melakukan ‘APAPUN’ tanpa pernah pikir panjang?

Kembali ke laptop.

Jadi narasi seputar pemanasan global merupakan kebohongan atau tidak, saya beri anda space untuk menjawabnya secara obyektif. Tapi mengingat banyak ketidak-konsistenan atas narasi yang dibawa, masa anda nggak meragukan sedikit-pun atas narasi-narasi tersebut?

Kalo saat ini anda sadar bahwa anda telah dikadalin, harusnya anda bersyukur karena akhirnya anda tersadar.

Celaka adalah mereka yang terus menerus dikadalin, dan hingga kini juga nggak tersadar.

Kenapa?

Jika kedepan ada berita di media mainstream bahwa Kuntilanak menjadi lebih sering bergentayangan karena terganggu waktu istirahatnya akibat suhu yang terus memanas. Atau buaya yang berubah menjadi vegetarian akibat pemanasan global.

Masa iya anda langsung telan berita tersebut dan menganggapnya sebagai kebenaran?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!