Menyoal Vaksin Big Pharma (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian 1, saya telah membahas 3 anggota Big Pharma yang dijadikan rekanan strategis pemerintah Amrik dalam mengembangkan vaksin buat si Kopit. (baca disini)
Ditempat keempat ada GlaxoSmithKline (GSK) yang juga punya catatan hitam dalam dunia farmasi. Satu yang paling mencolok adalah kasus penipuan perawatan kesehatan pada tahun 2012, sebesar USD 3 milyar.
Tak ayal ini merupakan kasus penipuan terbesar dalam sejarah AS yang menyangkut perawatan kesehatan. Dan dalam persidangan, GSK mengaku bersalah penipuan tersebut yang bersedia membayar kompensasi dendanya. (https://www.reuters.com/article/us-glaxo-settlement/glaxosmithkline-settles-healthcare-fraud-case-for-3-billion-idUSBRE8610S720120702)
Gimana ceritanya?
GSK menargetkan anti-depresan yang bernama Paxil untuk pasien dibawah usia 18 tahun. Padahal tuh obat diperuntukkan bagi orang dewasa. “Ah, yang penting obatnya laku. Titik.”
Yang kedua, GSK mendorong obat anti-depresan lainnya yang bernama Wellbutrin, yang juga tidak sesuai peruntukkan. Nyatanya tuh obat digunakan untuk menurunkan berat badan selain pengobatan disfungsi seksual. Setidaknya menurut laporan Departemen Kehakiman AS.
Parahnya lagi, GSK berusaha keras agar obat-obatan tersebut laku di pasaran, dengan cara membuat jurnal medis abal-abal, hingga menyediakan menyuap para dokter yang memasarkan obat-obatan tersebut. (https://www.abc.net.au/news/2012-07-03/glaxosmithkline-fined-over-healthcare-fraud/4106096)
Dan jejak hitam GSK ternyata merambah pasar internasional. BBC pada 2014 melaporkan bahwa GSK dihukum untuk membayar denda sejumlah USD 490 juta oleh pemerintah China karena ketahuan menyogok para dokter dan RS agar produk obat mereka bisa dipromosikan. (https://www.bbc.com/news/business-29274822)
Skandal suap di negara Tiongkok tersebut bukanlah yang pertama. Di tahun 2001, GSK juga melakukan upaya korupsi dan penyuapan atas dokter dan pejabat pemerintah China. (https://www.ft.com/content/d69f494e-0903-11e4-9d3c-00144feab7de)
Dan parahnya, bukannya mengakui GSK malah menyuap polisi China yang tengah melakukan investigasi agar penyelidikan atas perusahaan tersebut mereka dihentikan. Warbiyasah. (https://www.ft.com/content/fe669bfc-db23-11e3-b112-00144feabdc0)
Nggak hanya di China, di Polandia GSK juga melakukan modus yang sama dengan cara menyuap para dokter agar mau mempromosikan obat asma mereka yang dikasih label Seretide GSK. (https://www.theguardian.com/business/2014/apr/14/gsk-accused-bribing-doctors-poland)
Dengan semua catatan hitam tersebut, nyatanya GSK juga masuk dalam tim inti pemerintahan Trump dalam mengembangkan vaksin si Kopit. Business Insider mencatat bahwa GSK mendapat jatah USD 2,1 milyar dari Operation Warp Speed bagi pengembangan vaksin. (https://www.businessinsider.com/sanofi-gsk-coronavirus-vaccine-operation-warp-speed-funding-clinical-trial-2020-7)
Berikutnya ada AstraZeneca. Black notes-nya juga terbilang banyak. Apalagi kalo nggak seputar upaya penyogokan.
Menurut laporan Securities and Exchange Commision, AstraZeneca telah terbukti memberikan hadiah, dukungan konferensi, perjalanan, uang tunai dan manfaat lainnya kepada penyedia layanan kesehatan di negara bagian China dan Rusia di tahun 2005, guna meresepkan produk mereka. (https://www.reuters.com/article/us-astrazeneca-usa/astrazeneca-to-pay-5-52-million-to-resolve-sec-foreign-bribery-case-idUSKCN1152U9)
Akibat aksinya tersebut, pihak berwenang AS mewajibkan AstraZeneca untuk membayar denda sebesar USD 5,2 juta kepada negara.
Sama dengan anggota Big Pharma lainnya, toh AstraZeneca juga masuk dalam tim inti Operation Warp Speed, dengan mengantungi kucuran dana sebesar USD 1,2 milyar guna mengembangkan kandidat vaksin bagi si Kopit. (https://www.hhs.gov/about/news/2020/06/16/fact-sheet-explaining-operation-warp-speed.html)
Dan yang terakhir ada perusahaan yang bernama Novavax. Sama halnya dengan Moderna, Novavax juga nggak menghasilkan apa-apa selama lebih dari 30 tahun. Bahkan dalam portal resminya, Novavax hanya mengembangkan 9 vaksin yang tidak kunjung dipasarkan, dari mulai SARS, MERS, Ebola, Flu Musiman hingga vaksin C19. (https://novavax.com/our-pipeline)
Walaupun nggak pernah menghasilkan vaksin yang dijual dipasaran, nyatanya Novavax justru menerima dana yang lumayan spektakuler bagi pengembangan vaksin si Kopit dari pemerintah AS, dengan nominal sebesar USD 1,6 milyar (https://www.ft.com/content/0d3a3463-0e8d-4b0b-96f5-98fb77c3d51e)
Bahkan, jika vaksinnya gagal ditemukan, Novavax akan tetap dapat jatah kompensasi sebesar puluhan juta dollar dari pemerintah AS. (https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-novavax-compensati/exclusive-novavax-executives-could-get-big-payday-even-if-vaccine-fails-idUSKCN24N1G1)
Nggak pernah buat vaksin, kok bisa dilibatkan dalam Operation Warp Speed?
CEO Novavax, Stanley Erck, justru mengatakan bahwa perusahaannya dipilih bergabung dengan OWS lantaran berpengalaman dengan vaksin virus Corona (SARS dan MERS) dan juga Ebola.
Jelas pernyataan tersebut mengada-ada, mengingat nggak ada satu perusahaan farmasi di dunia yang berhasil mengembangkan vaksin bagi SARS dan MERS. Sedangkan vaksin Ebola, memang berhasil dikembangkan oleh Laboratorium Mikrobiologi Nasional Kanada. Tapi kan bukan dikembangkan oleh Novavax. (https://www.cbc.ca/news/health/second-opinion-ebola-vaccine-1.4672807)
Jadi vaksin yang mana yang telah diklaim oleh Stanley Erck? Apakah vaksin yang dijual di republik Wakanda?
Sebagai penutup, kalo si Kopit dianggap penting, harusnya pemerintahan Trump nggak asal memberikan hak pengembangan vaksin pada perusahaan yang bermasalah dengan seabreg catatan hitamnya.
Apalagi ini menyangkut vaksin yang harus jelas tingkat efektifitas dan keamanannya.
Timbul pertanyaan, apa anda yakin seorang penjahat kambuhan tidak akan mengulang kesalahan yang pernah diperbuatnya? Apa anda masih percaya pada vaksin yang akan diproduksi oleh perusahaan yang hanya mengejar margin keuntungan semata, jika vaksinnya tersedia di negeri +62?
Silakan dijawab sendiri.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments