Menyoal Survei Kompas


514

 

Ada yang heboh belakangan ini. Litbang Kompas mengeluarkan hasil survei-nya yang lumayan mengejutkan. Saat lembaga-lembaga survei yang lain menggadang-gadang proyeksi hasil pilpres 2019 dengan kemenangan paslon petahana diangka 52-58%, namun Kompas justru merilis hasil yang berbeda. 49,2% untuk paslon 01 dan 37,4% untuk paslon 02. Sementara undecided voters sekitar 13,4%-an.

Tentu hasil ini langsung ditanggapi sinis oleh pendukung berat Jokowi alias cebongers apalagi yang pakai kata ‘militan’, dengan mengatakan bahwa hasil survei-nya abal-abal. “Mendingan kita boikot Kompas aja,” demikian ujarnya.

Walaupun bukan sebagai lembaga survei, namun hasil survei litbang Kompas layak dijadikan rujukan. Berkaca pada pilpres 2014, Kompas merilis hasil survei dengan 42,3% untuk kemenangan paslon Jokowi-JK melawan paslon Prabowo-Hatta dengan angka 35,3%. Sebagai gambaran, itu hasil dirilis 3 minggu jelang pilpres 2014.

Hasilnya, memang nggak beda jauh. Paslon Jokowi-JK mengukuhkan kemenangan dengan angka 53,15% sedangkan paslon Prabowo-Hatta meraih 46,85%. Kalo ditarik proyeksi, maka paslon Jokowi-JK mendapatkan kenaikan 10,15%, sedangka pesaingnya mendapatkan kenaikan 11,55%. Nggak nyampe 2% selisihnya.

Yang heboh lagi saat gelaran pilkada DKI putaran kedua, dimana litbang Kompas tidak mengeluarkan hasil surveinya. Sasus beredar, Kompas sudah mengetahui bahwasannya Ahok bakal keok digelaran pilkada tersebut. “Daripada mubazir, mending gak usah dirilis,” demikian situasinya. Walhasil, Ahok-pun sukses nyungsep sesuai prediksi yang ada.

Tentu metodologi-lah yang dijadikan acuan litbang Kompas, sehinga hasil surveinya bisa diandalkan alias nggak ngasal.

Terus kenapa sekarang pada ramai? Ada apa sebenarnya dengan Kompas? Apakah benar Kompas mulai berpolitik praktis? Sebagai orang yang melek statistik, saya coba mengulasnya.

Hasil survei tersebut merupakan risalah litbang Kompas terhadap 2000 responden pada rentang waktu 22 Februari hingga 5 Maret yang lalu, di 34 provinsi se-Indonesia dan dilakukan secara acak. Margin of error yang ada sekitar 2,2%. Artinya apa? Kalo kenaikan atau penurunan di rentang angka plus minus 2,2 dikali 2 alias 4,4%, maka itu belum bisa dikatakan trend-nya naik/turun.

Jika mengacu pada hasil survei yang dilakukan di bulan Oktober 2018, angka paslon 01 adalah 52,6%, maka jika angka tersebut dikurang atau ditambah 4,4%, bisa jadi angka yang didapat adalah 48,2% hingga 57%. Artinya apa? Trend paslon JOMIN tidak bisa dikatakan menurun. Lha, kan masih ada direntang aman 48,2%-57%.

Kecuali jika paslon JOMIN ada direntang 47%, misalnya, itu bisa dikatakan trend-nya menurun. Belum lagi syarat sebuah trend dikatakan naik/turun, setidaknya perlu 3 waktu pengambilan data. Kalo hanya 2 kali, belum layak dijadikan acuan.

Terus menyangkut metodologi, juga nggak kalah serunya. Apakah surveinya menggunakan metode demonstrasi dengan simulasi kertas suara, ataukah hanya sekedar wawancara, juga nggak dijelaskan oleh litbang Kompas.

Namun anehnya, Kompas malah kemudian berasumsi, bahwa: “Jika paslon 02 mendapatkan angka 6% saja, maka bisa dipastikan paslon BOSAN memenangkan pemilu.” Kok bisa kesimpulannya seperti itu? Mengingat ada sekitar 13,4% undecided voters yang belum memilih. Dan biasanya hasil itu dibagi rata kepada kedua paslon.

Artinya kalo paslon 02 dapat tambahan suara 6%, maka paslon 01 juga mendapatkan tambahan suara 6% juga, kurang dan lebihnya. Terus kok Kompas malah berasumsi kalo suara undecided voters ‘seolah-olah’ hanya dimonopoli paslon 02 semata?

Amazing,…Entah darimana asal muasalnya kok bisa sampai pada simpulan tersebut? Teori cocoklogi-pun kemudian berkembang, bahwa sosok pimred Kompas, mbak Ninuk Mardiana Pambudi yang rumornya  sudah main mata dengan Prabowo, gegara dijanjikan jabatan menteri jika BOSAN menang pemilu nanti.

Ada juga yang mengkaitkan dengan ijin yang dikeluarkan KPU untuk tiap paslon boleh beriklan di media massa baik cetak maupun elektronik, pertanggal 24 Maret hingga 13 April nanti. Pastinya, Kompas ingin juga mengail rejeki dari situasi ini. “Kalo beritanya cuma menangin Jokowi, bakal sepi iklan, bray.”

“Terus bagaimana menyikapi hasil survei tersebut, bang?” demikian pertanyaan seseorang diujung sana.

Berkali-kali saya ungkapkan, kalo hasil survei nggak menggambarkan apa-apa. Hasil survei hanya mungkin menjawab masalah, jika pilpres-nya diadakan hari ini. Lha, pilpresnya kan baru 17 April nanti. Bijaksanalah dalam menyikapi hasil survei tersebut.

Mungkin Kompas mau memberikan peringatan dini, bahwa sinyalemen kalahnya Jokowi, itu masih ada kalo nggak segera dibenahi. Misalnya? Cebongers yang kerap menggelar mobilsasi massa disana-sini, tapi enggan melakukan aksi door to door sebagai gerakan gerilya. Aneh, walaupun Jokowi sudah sering meneriakkan seruan tersebut, tapi tetap saja seolah ‘nggak digubris’.

Kedua, yang nggak kalah set, adalah soal tingkat partisipasi. Berapa banyak cebongers militan yang beneran militan? Banyak yang ngaku-ngaku, tapi pas pelaksanaan hari H, datang ke TPS aja ogah, dengan alasan klise, “Ngapain ke TPS? Jokowi pasti menang kok.”

Mungkin satu yang saya mau ungkapkan sebagai ‘bocoran’. Kompas itu seyogyanya ‘digerakkan’ oleh kelompok intelektual Katolik. Saya cukup tahu kelompok ini, percayalah. Pertanyaannya: masa iya, mereka berani menjatuhkan petahana yang notabene-nya sudah banyak membela hak minoritas? Nyang bokir…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!