Menyoal Demokrasi (*Bagian 1)


523

Menyoal Demokrasi (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah – 19022014

“Mengapa pemilu yang dianggap sebagai saluran warga negara untuk memilih wakilnya yang duduk di pemerintahan, terkadang gagal menjawab bentuk pemerintahan ideal yang mewakili rakyatnya? Mengapa hanya kepentingan segelintir orang/kelompok yang diperjuangkan? Apakah itu merupakan esensi demokrasi?” tanya seorang.

Demokrasi. Satu kata yang kita kerap dengar.

Masalahnya, apakah kita paham esensi kata ‘demokrasi’ itu sendiri?

Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan. Kalo disatukan, secara harafiah demokrasi berarti kekuatan rakyat.

Model pemerintahan terbaik yang pernah dirancang di dunia.

Namun satu yang perlu kita ketahui bersama, bahwa demokrasi dan demokrasi perwakilan adalah dua konsep yang berbeda. Secara prinsip, keduanya berbeda.

Demokrasi yang sesungguhnya, tidak ada hubungannya dengan pemungutan suara untuk mewakili rakyat. Alasan mengapa warga negara tidak perlu diwakili oleh politisi adalah karena dalam konsep demokrasi, rakyat berhak mengambil semua keputusan politiknya sendiri.

Jadi rakyat nggak butuh perwakilan.

Dalam demokrasi, rakyat adalah pemerintah. Mereka melindungi diri mereka dari potensi kesalahan melalui prosedur checks and balances yang mengedepankan supremasi hukum. Dan tentu saja ini ditentukan sepenuhnya oleh rakyat.

Ini baru demokrasi yang sesungguhnya. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Jika ada konsep yang menyatakan bahwa warga negara memilih wakilnya untuk memerintah mereka setiap empat atau lima tahun sekali, itu namanya demokrasi perwakilan alias demokrasi modern yang kini banyak dipakai di banyak negara di dunia.

Biasanya sistem yang akan dijalankan adalah melalui pemilu untuk memilih kekuasaan eksekutif (dan juga legislatif), yang ujung-ujungnya untuk memerintah orang yang telah memilihnya. (https://www.principlesofdemocracy.org/executive)

Dengan adanya sistem ini, maka terbuka peluang bagi kalangan pemodal alias orang-orang kaya yang memiliki koneksi di bidang politik, untuk mengendalikan arah negara, meskipun ini kerap kali menentang keinginan mayoritas warga negara yang telah berpartisipasi dalam pemilihan.

Alih-alih membentuk negara yang demokratis, maka demokrasi perwakilan model ini justru membentuk pemerintah yang kelak dikendalikan penuh oleh kaum pemodal alias oligarki. (https://www.cambridge.org/core/journals/perspectives-on-politics/article/testing-theories-of-american-politics-elites-interest-groups-and-average-citizens/62327F513959D0A304D4893B382B992B)

Padahal, bentuk pemerintahan yang demokratis seharusnya melindungi hak warga negaranya. “Dalam iklim demokrasi setidaknya ada itikad yang menawarkan aspek perlindungan bagi segenap warga negara,” ungkap Sosiolog kondang Inggris, TH Marshall. (https://delong.typepad.com/marshall-citizenship-and-social-class.pdf)

Perlindungan apa yang dimaksud Marshall?

Macam-macam. Mulai dari perlindungan dalam cara seseorang berpikir, kebebasan dalam berekspresi (termasuk berbicara dan melakukan protes secara damai), dan juga hak atas keadilan dan kesempatan yang sama di mata hukum.

Secara global, itulah hak dasar yang disebut hak asasi manusia. Untuk menjaga nilai-nilai tersebut, maka harus ada supremasi hukum yang menjaminnya.

Pertanyaannya: apakah sudah ada supremasi hukum?

Sayangnya, pada banyak kasus hukum justru hanya berpihak pada golongan pemodal alias kaum oligarki.

Ambil contoh dalam pemberian gaji atau penetapan uang pesangon bagi para pekerja, pemerintah lebih memihak pada karyawan atau justru pemilik perusahaan?

Jika terlibat kasus hukum, lebih mudah koruptor kakap yang bisa ‘membeli’ hukum dengan uang hasil korupsinya ataukah orang yang terlibat maling ayam untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya?

Tentu terlalu retorik untuk ditanyakan.

Singkatnya, tanpa supremasi hukum, demokrasi perwakilan tidaklah berfungsi.

Parahnya, para oligarki justru berkepentingan untuk merusak dan menghalangi cita-cita ideal demokrasi perwakilan.

Dengan bertindak sebagai aktor di belakang layar, oligarki justru mengontrol kegiatan bernegara lewat perusahaan-perusahaan multinasional yang mereka miliki, LSM yang mereka danai, hingga bank yang mereka jalankan.

Mengacu pada semua kekuatan modal yang dimilikinya, para oligarki justru melobi dan merusak politisi, partai politik dan proses berpolitik, yang seharusnya dibutuhkan untuk membentuk pemerintah yang demokratis.

Bisa dikatakan jika demokrasi perwakilan nggak akan bisa mencapai pemerintahan demokratis yang menjunjung tinggi supremasi hukum demi terjaminnya hak asasi manusia, selama ada oligarki yang merusak cita-cita ideal tersebut.

Jika demokrasi perwakilan yang menjalankan sistem pemilu ini gagal dalam mencapai tujuan idealnya, lantas konsep apa yang bisa ditawarkan sebagai solusi?

Jawabannya: demokrasi.

Apa itu demokrasi?

Kita akan bahas selanjutnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!