Mental Udik


504

Sebenarnya apa yang salah sama perilaku anak-anak alay? Sekilas memang gak ada yang salah. Cuma kesannya norak. Warna kulit sawo matang, cenderung keling, eh rambutnya di cat kuning sampai hijau ngejreng. Mungkin mereka pikir itu gaul. Tapi bagi saya, ya mirip ondel-ondel.

Kalo ditelisik, kenapa kok rambutnya dicat warna-warni bak pelangi?

Pernah tau lagu Jamrud yang diberi judul “Asal British”? Mungkin disanalah ditemukan jawabannya. Pengen kebule-bulean. Pokoknya, yang berbau bule, pasti oke punya. Ketemu bule dijalan, langsung minta foto. Kekinian, katanya. Cekrek-cekrek, langsung upload, dan kata keren seolah telah diraihnya.

Itulah yang namanya mental udik.

Apa cuma anak Alay yang punya mental udik?

Coba lihat kelakuan artis-artis kita. 11-12. Bagi artis Indonesia, khususnya cewek, adalah membanggakan jika mendapatkan cowok bule. Minimal dijadiin pacar. Syukur-syukur bisa dijadiin suami. Apa alasannya? Perbaikan keturunan.

Apa artinya, gen orang Indonesia sudah sedemikian rusaknya, sehingga harus diperbaiki dengan gen orang bule?

Jawabannya: itulah yang namanya mental udik.

Dahulu orang biasa menyebut dengan watak inlander alias kacung. Tapi saya lebih sreg memanggilnya dengan mental udik.

Pernah tahu kelakuan perantau yang sudah ‘sedikit sukses’ mengais rejeki di Jakarta? Begitu balik kampung, mental udik-pun digelar. Dari mulai fashion sampai gaya bicara yang keJakarta-Jakartaan lengkap dengan dialek ‘Lu-Gue’ dengan aksen medoknya.

Sebenarnya mental udik alias inlander adalah warisan budaya penjajahan Belanda. Tapi toh, watak itu hingga kini masih melekat dikalangan orang Indonesia. Karena pada esensinya, pendidikan waktu itu adalah buah politik etis. Yang namanya politis, pasti banyak efek sampingnya. Salah satunya mental udik tadi.

Singkatnya, semua tergila-gila dengan luar negeri. Seolah yang lokal adalah produk yang kurang layak jual. Coba dicermati, dalam setiap pembicaraan keluarga, suami istri yang punya anak lulusan “luar negeri” pasti mendominasi pembicaraan. Dan superioritas-pun dipertontonkan.

Seolah kalo sudah lulusan luar negeri, KW-1 pun sudah otomatis didapat dan masa depan terpampang jelas. Seolah yang lulusan lokal, bisa dipastikan madesu. Plesiran-pun bernasib sama. Kalo sudah jalan-jalan keliling Eropa, gengsi sudah pasti didapat ketimbang mereka yang hanya plesiran lokal.

Dan parahnya ini sudah menjalar ke berbagai bidang, dari mulai guru hingga politisi. Tanyakan ke politisi yang berwatak inlander, apa Indonesia bisa mengolah sumber daya alamnya sendiri? Pasti jawabannya seribu satu, dari mulai belum siap sampai teknologi yang belum mumpuni.

Singkat kata: hanya asing yang bisa mengolahnya, bangsa Indonesia mah ke laut aja!! Jadilah hasil Freeport sebagai barang jarahan, melayang kepangkuan paman Sam. Dan kitapun tinggal dapat ampasnya setelah bertahun-tahun emas disana dikeruk sampai kemudian jadi ‘danau’ tak berair.

Dan yang paling gres adalah pernyataan politisi Cikeas menanggapi target Jokowi untuk beroleh 16 Emas pada ajang Asian Games ke-18, “Optimis perlu, namun harus realistis juga.” Maknanya adalah: sampe lebaran monyet, Indonesia nggak mungkin raih tuh target bombastik.

Nyatanya, kini target itu terlampaui. Bukan hanya 16 Emas yang diraih, tapi 31 Emas telah digondol atlet-atlet Indonesia. Bukan saja target 10 besar yang diraih, bahkan posisi 4 besar telah Indonesia kantungi. Pertanyaanya: kenapa sang politisi Cikeas keluar omongan tersebut?

Satu jawabannya: mental udik.

Seolah Indonesia nggak akan mampu berjalan di atas kemampuannya sendiri. Seolah Indonesia belum pantas menyandang gelar 4 besar. Seolah Indonesia masih jauh terbelakang. Yah begitulah mental udik dengan semua pengandaiannya.

Akankah mental udik ini terus ada didalam diri kita?

Bisa iya, bisa juga nggak. Tergantung bagaimana kita mengambil langkah antisipasinya.

Maksudnya?

Mental udik ini hanya bisa dikikis lewat pendidikan. Ada muatan yang namanya pendidikan karakter. Disanalah mental udik ini bisa dimusnahkan untuk selamanya dari bangsa Indonesia.

Cuma, apa bisa pendidikan karakter tercipta lewat seorang konseptor sekelas menteri yang menyikapi aksi parade ala ISIS TK Kartika di Probolinggo, bukan malah mengecam tapi malah memberi santunan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!