Menjawab Teka-Teki
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, kasus positif Kopit dimana-mana turun secara drastis,” ungkap seseorang.
Saya hanya tersenyum, karena itu sudah saya prediksi pada Januari silam. Saya katakan bahwa penambahan kasus positif akan turun tajam seiring digelarnya program vaksinasi. (baca disini)
Dan sekali lagi, prediksi yang saya lakukan kembali menemukan pembenarannya.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?
Sudah sebulan ini, jumlah orang terinfeksi di banyak negara turun drastis, terutama di AS dan Inggris. (https://www.telegraph.co.uk/global-health/science-and-disease/coronavirus-cases-falling-globally-big-question/)
Lantas beberapa pakar ‘pesanan’ sang Ndoro mulai berbicara dengan mengklaim bahwa vaksin yang dipakai telah ‘bekerja’ sehingga dapat menghentikan penyebaran virus.
Apakah demikian adanya?
Prof. Waafa El-Sadr selaku epidemiolog kenamaan dari Sekolah Kesehatan Masyarakat di Universitas Columbia menyatakan, “Penurunan jumlah kasus nggak bisa dikaitkan dengan vaksin C-19, mengingat belum ada 10% dari populasi yang telah mendapatkan vaksin.” (https://eu.usatoday.com/story/news/health/2021/02/06/us-covid-cases-falling-but-its-not-vaccine-yet-experts-say/4401778001/)
Lagian, nggak semua negara melakukan vaksinasi dengan kecepatan yang sama dan dengan vaksin yang sama. Jadi mana bisa dikatakan bahwa vaksin menyebabkan penurunan kasus Kopit?
Alasan kedua yang umum dikemukakan media mainstream adalah bahwa proses karantina (lockdown) dan protkes yang dilakukan oleh banyak negara, akhirnya membuahkan hasil. (https://www.thescottishsun.co.uk/news/6699915/covid-cases-fall-two-thirds-since-january/)
Kalo begitu klaimnya, ini mudah untuk dibantah.
Swedia yang tidak melakukan kebijakan lockdown dan protkes ketat ala WHO, kasus Kopitnya juga anjlok sama halnya dengan Inggris.
Dengan kata lain, bukan kebijakan lockdown dan protkes ketat yang menjadi penyebab turunnya kasus Kopit secara drastis.
Lalu, kalo bukan itu, penyebabnya apa?
Jawabannya ada dalam ulasan saya pada Januari lalu. Pedoman baru tentang test PCR yang dikeluarkan WHO adalah penyebabnya.
Kalo anda jeli, penurunan kasus Kopit secara global terjadi pada akhir Januari, setelah sebelumnya WHO menerbitkan memo tentang kasus positif asimtomatik yang ditemukan oleh test PCR. Jika kejadiannya demikian, maka hasil test dapat dianulir dan orang tersebut disuruh test ulang. (https://www.who.int/news/item/20-01-2021-who-information-notice-for-ivd-users-2020-05)
Memo ini dengan jelas menginstruksikan laboratorium di seluruh dunia untuk menggunakan ambang batas siklus (Cycle Threshold) yang lebih rendah, karena nilai ambang batas (CT) diatas 35 dapat menghasilkan banyak positif palsu. (https://web.archive.org/web/20210120083427/https://www.who.int/news/item/14-12-2020-who-information-notice-for-ivd-users)
Ini jelas lucu.
Nah dulunya WHO yang kasih aturan bahwa kalo seseorang nggak ada gejala dan di test positif Kopit, maka orangnya disebut OTG alias asimptomatik. Dan sekarang, dia yang keluarin aturan, eh dia juga yang menarik aturan tersebut. Ngakak gak sih?
Dengan kata lain, logika bahwa terjadi penurunan kasus Kopit secara besar-besar di dunia, itu hanya akal-akalan doang, karena nggak begitu kejadian sesungguhnya.
Lalu apa target dari dikeluarkannya kebijakan baru dari WHO tersebut?
Agar program vaksinasi bisa dilanjutkan sampai tuntas dan program besar sang Ndoro dapat dieksekusi tanpa hambatan.
“Tuh lihat, gegara divaksin maka angka kasus baru Kopit langsung anjlok.”
Dilanjut Mang, vaksinasinya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments