Oleh: Ndaru Anugerah
Apa itu kebenaran?
Kebenaran sejatinya proses, dimana: pertama diabaikan. kedua diejek secara luas. dan ketiga, baru bisa diterima sebagai bukti diri.
Inilah yang terjadi dengan wabah global dengan tag #COVID-19.
Awal-awal kasus ini merebak, saya tahan diri walaupun banyak kubu yang berteriak dengan versinya masing-masing. Banyak yang bilang asal virusnya dari bio-lab Wuhan di China, ada juga yang klaim asalnya justru dari AS. Semua mengklaim versinya sendiri-sendiri yang paling benar.
Sebagai orang yang sadar literasi, saya nggak mau buru-buru terjebak ditengah-tengahnya, apalagi masuk ke dalam teori konspirasi dengan tuduhan yang nggak mendasar.
Misalnya dengan mudah mengatakan: Bumi itu datar.
Bagi saya pribadi, pantang terima sesuatu yang nggak mendasar, apalagi berbekal: “katanya-katanya melulu” tanpa sumber yang pasti. Check dan recheck, adalah operasi standar yang biasa saya lakukan.
Setelah saya runut jalan ceritanya, sampailah saya pada satu kesimpulan. Bahwa memang asalnya virus yang diklaim Trump sebagai ‘Chinese Virus’ tersebut, memang paling logis berasal dari AS sebagai negara pembuat. Dan bukan berasal dari China seperti yang dituduhkan selama ini. (baca disini)
Secara singkat, beberapa sumber semisal ahli virologi dari Jepang maupun China, memberikan kajian ilmiah di laboratorium dengan merunut asal virus dan menemukan secara meyakinkan bahwa sumber asli virus ini bukanlah China atau Wuhan, ataupun pasar makanan laut di pasar Wuhan.
Terus asalnya dari mana? Mutasi gen apa jatuh dari neraka?
Yang paling mungkin ya berasal dari bio-lab militer Angkatan Darat-Fort Detrick yang ditutup secara tiba-tiba oleh CDC tanpa penjelasan yang logis (Juli, 2019).
Selanjutnya virus yang sudah siap pakai tersebut dibawa ke China selama pertandingan militer dunia (ICSM) pada bulan Oktober 2019, yang berlangsung di Wuhan.
Dengan kata lain, militer AS lah yang membawa virus tersebut alih-alih ikut pertandingan. Dan militer yang sudah dibekali teknik intelijen, jelas sangat tahu bagaimana harus bergerak di lapangan secara sempurna.
Namun siapa yang mendorong opini publik, agar seolah-olah bukti dan pendapat ilmiah itu, sebenarnya nggak lebih dari klaim kosong semata?
Mereka-lah yang biasa disebut sebagai mainstream media alias media-media raksasa utama yang selama ini bertengger secara global (baca disini).
Siapa saja mereka? Saya coba kasih contohnya.
Pada 12 Maret, Guardian yang berkantor di Inggris menerbitkan sebuah narasi bahwa China-lah yang sekarang mendorong propaganda global bahwa seolah-olah virus tersebut datangnya dari AS dan bukan dari Wuhan.
Pada 13 Maret, New York Times menurunkan laporan serupa tentang kisah konspirasi virus Corona, dengan menyatakan bahwa klaim AS sebagai sumber asal virus oleh China, adalah mengada-ada.
Pada 14 Maret, ABC News menurunkan laporan yang membantah klaim kosong China tentang sumber-sumber virus Corona yang katanya berasal dari AS.
The Seattle Times (15/3) juga nggak ketinggalan dalam menurunkan beritanya, dengan menyatakan bahwa tuduhan China lewat Menteri Luar Negeri-nya, bahwa virus Corona sengaja didatangkan dari AS, selain tanpa bukti, juga mengada-ada. “Lucunya kok malah pihak AS disuruh terus terang?”
Dan nggak ketinggalan, UK Independent dan juga CNN (15/3) yang sepakat menurunkan berita yang sama dengan judul teori konspirasi Tiongkok yang disebar kepada dunia internasional tentang atas asal virus China.
Apakah narasi yang tengah dikembangkan media mainstream terhadap asal virus Corona, terjadi secara kebetulan? Ataukah justru ada yang menjadi dirijen-nya?
Jawabnya mudah. Pertanyaan mendasar: apa peran media?
Banyak tentunya. Namun yang pasti, media bisa digunakan sebagai corong propaganda untuk membentuk opini publik.
Nggak heran bila pemodal besar yang tergabung dalam genk the Rothschild, menginvestasikan uang dalam jumlah besar pada bisnis media massa. Alasan utama cukup sederhana: agar bisa memiliki kontrol atas opini publik secara global.
Coba tengok sejarah awal-awal perang Suriah. Berkali-kali dinarasikan lewat media mainstream bahwasannya Bashar Assad-lah pemerintah dzalim yang hendak dijatuhkan oleh mayoritas rakyat Suriah.
Dan seolah-olah, jihadis yang diimpor secara internasional oleh pihak yang sama, sedang berjuang di jalan Allah dalam menuntut kebenaran dan menegakkan syariah.
Belum lagi sokongan White Helmet kepada para jihadis yang tengah merongrong kepemimpinan Bashar Assad kala itu. Jadi sempurna deh, narasinya.
Pemberitaan ini disebar secara terstruktur dan masif, hingga publik internasional akhirnya antipati terhadap sosok Bashar Assad yang dinarasikan dzalim.
Bila kemudian ada rencana militer Barat dalam mengobok-obok Suriah, jadi sah-sah saja untuk digelar. “Lha wong pemerintahan Bashar Assad dzalim..”
Saat itu, kebenaran yang disuarakan media independen, seakan ditelan oleh masifnya pemberitaan media mainstream.
Tapi sayangnya, kebenaran sejati nggak bisa disembunyikan. Lambat laun akan terungkap.
Dan diakhir cerita, mata internsional jadi tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Suriah selama ini.
“Saat ini fase kebenaran telah menapak di tahap kedua, dimana statusnya diejek dan dicemooh oleh masyarakat internasional melalui tangan media mainstream.”
Tugas kita bersama untuk menyuarakan dan menyebarkan kebenaran secara simultan.
Jika kampanye yang kita lakukan terus berlanjut, maka ini bisa menjadi tekanan yang signifikan dimana publik akan sadar dan percaya fakta, bahwa AS-lah sumber virus yang selama ini diklaim berasal dari China.
Jadi ingat ungkapan seorang filsuf: “Kebenaran itu ibarat kentut. Serapat apapun anda menutupinya, toh baunya akan tersebar juga.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments