Memangnya si Kopit Ada? (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan saya telah mengulas tentang isolat virus si Kopit, yang nyatanya hanya klaim bodong, mengingat nggak bisa dibuktikan secara fisik.
Bahkan sekelas WHO dan CDC AS yang kerap koar-koar soal plandemi, nyatanya gagal membuktikan keberadaan isolat virus dari si Kopit. (baca disini)
Jadi bisa anda tarik kesimpulan, apakah si Kopit ada? Silakan anda jawab sendiri berdasarkan data yang sudah saya berikan dan jangan mengandalkan asumsi apalagi intuisi semata.
Lantas bagaimana WHO begitu beraninya menyatakan status pandemi secara global? Apakah WHO telah menerima isolat virus dari ilmuwan China?
Berdasarakan data yang ada, WHO nggak pernah terima specimen SARS-CoV-2 yang dimurnikan dari otoritas China. (https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.3.2000045)
Bahkan merujuk pada penelitian yang dirilis pada 2 Januari 2020 silam pada New England Journal of Medicine, dengan sangat menjelaskan bahwa para para ilmuwan nggak pernah bisa membuktikan keberadaan virus Kopit sesuai kaidah yang berlaku pada Postulat Koch. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa2001017)
Kalo nggak pernah terima specimen dari China, bagaimana WHO bisa menuding bahwa si Kopit-lah sebagai biang kerok pandemi?
Disinilah patgulipat berlangsung.
Maksudnya?
Karena nggak punya isolat virus si Kopit, WHO memutuskan untuk menggunakan RT PCR untuk mengamplifikasi isolat virus SARS 2003 alias SARS-CoV-2, yang diduga MIRIP dengan SARS-CoV-2 sebagai titik acuan dalam mendeteksi keberadaan (fragmen genetik) si Kopit.
Ini sama saja dengan mendeteksi keberadaan maling, dengan datang ke dukun beranak. Ya nggak nyambung, mengingat PCR itu hanya alat amplifikasi dan bukan alat deteksi virus. Selain itu, ‘kunci jawaban’ yang dipakai, nggak sesuai dengan virus yang ingin dicari. (baca disini dan disini)
Apakah dalam menjalankan aksi patgulipat tersebut, WHO memutuskan sendirian?
Nggak juga.
WHO meminta saran dari Christian Drosten dan Victor Corman yang berasal dari Institut Virologi Berlin. Mereka berdua-lah (dan rekannya) yang kasih sumbangsih ke WHO tentang aksi patgulipat tersebut, setelah sebelumnya merilis penelitian mereka yang berjudul ‘Detection of 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) by real time RT-PCR’. (https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.3.2000045)
Apa isi laporannya?
“Beberapa sekuens genom virus telah dirilis dalam kasus 2019-nCoV, namun isolat virus atau sampel dari pasien yang terinfeksi tidak tersedia,” begitu kurleb-nya.
Nah kalo sampel-nya nggak ada, bagaimana mungkin mengurutkan genom virus? Virus mana yang diambil untuk diurutkan? Amazing!
Berdasarkan penelitian tersebut, mereka kasih rekomendasi WHO.
Apa isi rekomendasinya?
Bahwa urutan genom menunjukkan adanya virus yang terkait erat dengan anggota species virus CoV yang terkait dengan sindrom pernapasan akut (SARS), yang menyebabkan wabah SARS di tahun 2003 silam.
Selain itu, mereka merekomendasikan penggunaan RT PCR guna mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2, meskipun isolat virusnya tidak tersedia. Dengan kata lain, pemurnian 2019-nCoV tidak diperlukan sebagai faktor kalibrasi pada alat tersebut. (https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.3.2000045)
Kenapa WHO kemudian menerima rekomendasi Drosten?
Ya karena mereka ada dalam genk yang sama, dimana layaknya WHO, Dosten cs juga terima dana yang sama dari BG. Jelas aja bisa kompakan. (https://www.gatesfoundation.org/How-We-Work/Quick-Links/Grants-Database/Grants/2020/03/INV-005971)
Jangan heran kalo kemudian RT PCR digunakan sebagai gold standard dalam mengidentifikasi keberadaan si Kopit dalam tubuh seseorang. Drosten-lah yang merekomendasikannya. (baca disini)
Apakah isolat virus yang hanya pepesan kosong tersebut hanya omong kosong belaka?
CDC sendiri pada 7 Juni 2021 silam dengan jelas menyatakan bahwa mereka nggak punya catatan pemurnian SARS-CoV-2 dari sampel pasien melalui maserasi, filtrasi dan penggunaan ultrasentrifugasi dari manapun. (https://www.fluoridefreepeel.ca/wp-content/uploads/2021/06/CDC-FOIA-request-response-no-records-SARS-COV-2-purification.pdf)
Meras nggak puas, beberapa ilmuwan juga menanyakan hal yang sama kepada otoritas berwenang dibeberapa negara yang mempertanyakan soal isolat virus si Kopit.
Dan mereka sampai pada kesimpulan yang sama, dimana isolat virus si Kopit nggak pernah ada. (https://www.fluoridefreepeel.ca/fois-reveal-that-health-science-institutions-around-the-world-have-no-record-of-sars-cov-2-isolation-purification/)
Ini saya kasih link tentang aksi para ilmuwan dan komunitas medis di berbagai belahan negara dalam mempertanyakan keberadaan isolat virus si Kopit kepada otoritas berwenang di negaranya masing-masing. (https://www.fluoridefreepeel.ca/wp-content/uploads/2021/02/FOI-replies-SARS-COV-2-isolation-existence-causation-47-institutions-Feb-12-2021-chrono-part-1.pdf)
Sebagai penutup, specimen SARS-CoV-2 belum pernah di-isolasi. Nah kalo belum dimurnikan, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa virusnya ada? Terlebih lagi, perlukah semua kebijakan turunan yang berdasarkan pada virus ‘abrakadabra’ tersebut, diteruskan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Salam kenal bang Ndaru, senang sekali menemukan blog ini yang banyak menjawab pertanyaan saya selama ini tentang plandemi ini. Tulisan ini dan sebelumnya mementahkan penggunaan vaksin sekalipun sinovac yang ditengarai relatif aman dibanding vaksin besutan big pharma, pertanyaanya jenis virus apa yang dipakai Sinovac?
tentang vaksin, pada gilirannya memang nggak ada yang aman. namun saat dihadapkan pada pilihan, mana yang bisa kita pakai, selaku analis geopolitik saya pernah kasih saran. if and only if there is no option to take. ini bukan tanpa alasan, karena saya kasih saran tentu karena punya alasan. datalah sebagai pegangan saya.
kalo anda dihadapkan pada wajib vaksin, sementara vaksin-nya cuma ada 2 pilihannya: Big Pharma atau buatan China, anda akan pakai yang mana? jika saya boleh pilih, ngapain juga tubuh yang sehat kok divaksin? apakah demikian mematikan si Kopit tersebut? kan nyatanya nggak.
but, once again, if there is no option to take but taking the jab, what will you choose?
Anyway, salam kenal juga.