Lebih Dalam dengan C19


515

Lebih Dalam dengan C19

Oleh: Ndaru Anugerah

Walaupun pandemi C19 sudah berlalu sekian bulan, tapi nggak ada jaminan juga orang tahu banyak tentangnya. Ya mungkin karena keterbatasan kemampuan literasi yang memungkinkah hal itu terjadi.

Lewat tulisan ini, sebagai bentuk kepedulian saya kepada masyarakat +62, saya coba menjawab pertanyaan yang selama ini diajukan oleh banyak pihak terkait C19.

Pertanyaan pertama, kenapa virus-nya kok dinamai Corona? Nggak lain karena virus tersebut memiliki bentuk seperti mahkota (Corona) dipermukaannya, saat dilihat dibawah mikroskop.

Sejak kasus Conona ini pertama kali merebak, para ilmuwan berlomba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang susunan genetik virus, sehingga bisa mendapatkan gambaran tentang bagaimana cara mengobati infeksi secara efektif.

Dan belakangan, vaksin mulai digadang-gadang sebagai penawar virus Corona tersebut. Akibatnya banyak pihak yang berbondong-bondong untuk mencoba mengembangkan vaksin. Masalahnya, untuk membuat vaksin butuh waktu yang sangat lama sekaligus memakan biaya yang nggak sedikit.

Vaksin sendiri merupakan jenis perawatan yang bertujuan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk melawan patogen infeksius seperti bakteri maupun virus.

Secara prinsip, vaksin mengandung antigen dan adjuvant. Antigen nggak lain adalah virus yang dilemahkan dan mampu merangsang sistem kekebalan tubuh untuk bertahan melawan virus. Sedangkan adjuvant adalah zat tambahan yang berfungsi untuk memperkuat sistem imun seseorang.

Selain itu, vaksin juga mengandung bahan pengawet, sehingga dapat dipakai beberapa kali, misalnya thimerosal. Di beberapa negara, thimerosal sudah tidak dipakai lagi, karena ditenggarai menimbulkan efek samping yang dapat membahayakan manusia.

Lantas, kapan vaksinnya siap?

Merujuk pada pernyataan Bill Gates sang juragan vaksin, barangnya ready paling cepat akhir tahun ini (-katanya sih begitu). Kenapa sangat lama? “Karena banyak tahapan uji klinis yang harus dilalui, termasuk ujicoba fase 1 hingga 3,” demikian ungkap Bruce Thompson dari Universitas Swinburne, Australia.

Ini dilakukan agar vaksinnya kelak aman untuk digunakan sehingga bisa efektif untuk pengobatan.

Sebagai gambaran, perusahaan farmasi Moderna, telah melakukan uji klinis tahap pertama pada 16 Maret yang lalu, pada 45 manusia yang berumur 18-55 tahun. Vaksin eksperimental tersebut mengadopsi teknologi mRNA, sehingga diberi nama mRNA-1273.

Tentang apa itu mRNA, saya akan bahas pada lain tulisan.

Secara teknis, 45 pasien dibagi menjadi 3 kelompok. Nah masing-masing-masing kelompok diberi dosis berbeda: ada yang 25 mikrogram, 100 mikrogram dan 250 mikrogram, untuk melihat tingkat efektivitas selain faktor keamanan jika kelak vaksin digunakan.

Uji klinis kedua, telah juga dilakukan oleh Moderna pada 27 Maret yang lalu. Bahkan sasus beredar, Universitas Emory, Australia telah juga mengirim sukarelawan dewasa pada uji klinis tahap kedua tersebut.

Kandidat kedua yang santer digadang-gadang telah menciptakan vaksin eksperimental adalah Inovio, sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Pennsylvania. Vaksinnya diberi nama INO-4800 dengan teknologi ekslusif yang berbeda dengan mRNA (yang dibesut oleh Moderna).

Sayangnya, Inovio belum berhasil melakukan ujicoba hingga saat ini. Uji praklinis baru akan dilakukan oleh perusahaan tersebut pada bulan Juni nanti.

Selama vaksin belum tersedia, apakah kita tidak bisa melakukan pengobatan alternatif?

Nggak juga. Saya pernah ulas tentang hal ini (baca disini) & (baca disini). Anda bisa memakai beberapa obat ini sebagai solusi darurat.

Pertama Favipirapir alias Avigan. Obat ini telah diuji klinis di Wuhan dan Shenzhen pada 300 pasien (18/3). Hasilnya, obat tersebut mampu mempersingkat perjalanan virus Corona. Obat yang masuk klasifikasi obat influenza tersebut, diproduksi oleh Fujifilm Toyama Chemical sebagai obat anti virus.

Kedua yang bisa dicoba adalah chlroroquine dan hydroxychloroquine. Jurnal Nature (4/2) telah menurunkan laporan tentang efektivitas obat tersebut guna memerangi SARS-CoV-2 alias virus Corona. Meskipun membawa efek samping seperti sakit kepala, diare, ruam dan masalah otot, obat ini layak dicoba senagai alternatif.

Dan terakhir yang sekarang lagi booming adalah penggunaan terapi plasma untuk penyembuhan C19.  Pada 24 Maret yang lalu, FDA telah mengijinkan akses plasma pemulihan untuk penderita pasien Corona.

Teknisnya, pasien C19 yang telah pulih, diambil sebagian darahnya guna diinfuskan ke dalam tubuh pasien yang masih sakit. (https://www.fda.gov/vaccines-blood-biologics/investigational-new-drug-ind-or-device-exemption-ide-process-cber/investigational-covid-19-convalescent-plasma-emergency-inds)

Sistem kekebalan tubuh adalah pertahanan yang dibangun tubuh ketika virus menyerang, dalam bentuk pasukan sel. Sel-sel itu akan melepaskan antibodi yang ada pada cairan darah. Itulah yang dinamakan plasma.

Jika seorang pasien selamat dari C19, kemungkinan besar mereka telah membangun sejumlah besar antibodi dalam plasma mereka. Nah, plasma ini kemudian diambil dan ditanamkan ke pasien yang sakit parah. Tujuannya? Agar antibodi dapat merangsang sistem kekebalan tubuh pada pasien tersebut.

Terapi plasma juga bukan barang baru, karena pada kasus pandemi SARS, MERS dan H1N1 juga telah mengadopsi metode tersebut.

Apakah efektif?

Laporan yang dibuat oleh ilmuwan China dan diterbitkan oleh The Lancet Infectious Diseases Journal pada Februari lalu, menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan. “Sebanyak 91 dari 245 pasien telah pulih dengan metode tersebut.” (https://www.thelancet.com/journals/laninf/article/PIIS1473-3099(20)30141-9/fulltext)

Bahkan di AS sendiri, Gubernur New York – Andrew Cuomo – telah menggunakan terapi plasma konvensional pada akhir Maret yang lalu.

Saya harap, setelah membaca tulisan ini anda bisa mulai punya pegangan walaupun sedikit tentang C19. Yah, daripada nggak punya sama sekali.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Bicara tentang vaksin berikut turunannya, pasti ngga jauh2 dari yang namanya uji coba klinik terhadap makhluk hidup, hewan dan manusia.
    Bang Ndaru coba analisa dong tentang manusia yang jadi percobaan vaksinnya. Apakah benar2 mereka secara sukarela dan sadar jadi bahan percobaan. Apakah mereka dapat imbalan (finasial ato yang lain). Bagaimana nasib mereka ketika uji coba tersebut tidak sesuai harapan. Dsb…

    Salam pergerakan!

error: Content is protected !!