Krisis di Sri Lanka (*Bagian 1)


524

Krisis di Sri Lanka (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, bisa ulas soal krisis di Sri Lanka?” pinta seorang melalui kanal messenger.

Saya memang akan membahas soal ini sejak lama. Namun karena kesibukan sebulan terakhir ini, menyebabkan schedule awal yang telah saya siapkan, jadi berantakan. Dan sekarang mumpung saya punya kesempatan, saya akan membahasnya.

Asal tahu saja, bahwa Sri Lanka mengalami krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah negara tersebut merdeka, dimana mereka gagal membayar utang luar negeri-nya untuk pertama kalinya. (https://www.washingtonpost.com/world/2022/04/12/sri-lanka-economic-crisis-default-external-debt/)

Akibatnya sungguh fatal, karena 22 juta orang di negara tersebut mengalami pemadaman listrik selama 12 jam yang berimbas pada lumpuhnya perekonomian nasional. (https://www.business-standard.com/article/international/sri-lanka-to-witness-12-hour-power-cuts-as-economic-crisis-worsens-122040100095_1.html)

Masalah nggak hanya seputar black-out, karena bahan pangan, bahan bakar, obat-obatan dan bahan-bahan kebutuhan pokok lainnya juga mengalami kelangkaan di pasaran. (https://www.theguardian.com/world/2022/apr/11/sri-lanka-nearly-out-of-medicine-as-doctors-warn-toll-from-crisis-could-surpass-covid)

Pada gilirannya, kondisi ini menyumbang inflasi yang tinggi di negara itu, sebesar 17,5%. (https://www.business-standard.com/article/international/sri-lankan-inflation-in-february-hits-record-high-since-2015-at-17-5-122032200358_1.html)

Dengan angka inflasi setinggi itu, nggak heran jika harga bahan pangan, melonjak drastis. Misalnya nih, satu kilogram beras, yang awalnya seharga 80 rupee, kini harganya 500 rupee. (https://www.aljazeera.com/news/2022/4/7/infographic-sri-lankas-economic-crisis-and-political-turmoil)

Atau harga susu bubuk (biasanya untuk debay) yang biasanya seharga 60 rupee, kini harganya menyentuh angka 250 rupee. (https://economynext.com/milk-powder-prices-in-sri-lanka-spike-again-91846/)

Wajar jika kemudian warga Sri Lanka menggelar aksi unjuk rasa, karena pemerintah dinilai gagal menanggulangi situasi perekonomian, utamanya yang menyangkut urusan perut warga. (https://www.breitbart.com/asia/2022/03/30/protests-as-sri-lanka-runs-out-of-fuel-food-medicine/)

Menanggapi situasi yang mulai tidak terkendali, pada awal April silam, Presiden Gotabaya Rajpaksha langsung mengumumkan status darurat karena ‘panik’ menanggulangi situasi nasional yang mulai berada di luar kendali. (https://www.thehindu.com/news/international/sri-lankan-president-gotabaya-rajapaksa-revokes-state-of-emergency/article65294425.ece)

Kenapa harga bisa setinggi langit?

Ini karena negara ini sangat bergantung pada impor barang penting yang menyangkut hajat hidup mereka, dari mulai makanan, bahan bakar hingga obat-obatan. Untuk mendapatkan barang-barang itu, mereka menyimpan valas sebagai alat bantu transaksinya.

Masalah muncul karena belakangan, valas menjadi barang langka di Sri Lanka. Karena valas-nya nggak ada, maka valas dijadikan kambing hitam atas meroketnya harga-harga. (https://economictimes.indiatimes.com/news/international/world-news/sri-lanka-imposes-import-restrictions-on-367-non-essential-items/articleshow/90108244.cms)

Apa sesungguhnya penyebab masalah yang terjadi di Sri Lanka?

Banyak pihak berargumen bahwa hubungan dengan China-lah yang ada dibelakang krisis. Alih-alih memberikan bantuan utang, China dituding menyiapkan ‘jebakan utang’ bagi Sri Lanka. (https://trumpwhitehouse.archives.gov/briefings-statements/remarks-vice-president-pence-administrations-policy-toward-china)

Dan skenario jebakan utang yang diberikan China kepada para negara-negara peserta Belt & Road Initiative, langsung diamplifikasi oleh media mainstream Barat. Seolah bahwa China sengaja kasih ‘racun’ dibalik bantuan utang yang mereka berikan.

Tentang ini, saya pernah bahas sebelumnya. (baca disini dan disini)

China memang sengaja menawarkan utangan dalam jumlah besar kepada negara-negara mitra BRI-nya, guna meningkatkan pengaruh politik di negara-negara tersebut. Semakin banyak utang diberikan, maka semakin besar pengaruh politik yang didapat China.

Aliasnya, China membeli pengaruh dengan memberikan utang-an.

Namun, apa iya China sengaja menyediakan jebakan utang bagi negara-negara mitra BRI-nya, sesuai dengan narasi yang dikembangkan media mainstream?

Faktanya, pinjaman yang diberikan China pada kasus Sri Lanka, hanya memberikan kontribusi sebesar 10% dari total utang LN mereka di tahun 2020 silam. (https://publicfinance.lk/en/topics/Who-Are-the-Major-Foreign-Lenders-for-Sri-Lanka%C2%A0-1627381756)

Dan logikanya, angka 10% sangat kecil kontribusinya dalam utang nasional Sri Lanka. “Dimana logika jebakan utang yang selama ini kita dengar, jika kontribusi-nya hanya 10%?”

Lalu dimana angka terbesar atas utang LN Sri Lanka?

30%-nya berasal dari obligasi internasional yang dimiliki negara. Selain itu, Jepang ternyata lebih banyak kasih utang-an ke Sri Lanka, ketimbang China.

Jadi kalo narasi gagal bayar atas pinjaman yang diberikan China terkait proyek infrastruktur, utamanya dalam mendanai pelabuhan Hambantota, yang ditenggarai menyebabkan krisis saat ini, itu jelas lebay. (https://www.chathamhouse.org/sites/default/files/2020-08-25-debunking-myth-debt-trap-diplomacy-jones-hameiri.pdf)

Saya berikan insight yang lain, agar anda paham duduk masalahnya.

Pembangunan pelabuhan Hambantota memang dibiayai oleh Bank Exim China. Tapi, seiring berjalannya waktu, proyek itu ternyata mendatangkan kerugian bagi negara.

Akibatnya Sri Lanka terpaksa meyewakan pelabuhan tersebut selama 99 tahun kepada Grup Pedagang China, dan sebagai imbal baliknya Sri Lanka mendapatkan uang kompensasi hak guna sebesar USD 1,12 milyar. (https://www.theatlantic.com/international/archive/2021/02/china-debt-trap-diplomacy/617953/?fbclid=IwAR3jaseD3UKzxsBDPN4SG4NYttY6XJerPzvcu_KG5U1giTHqjkquRv9KKGA)

Perlu dicatat, bahwa isu China mengambil alih Hambantota adalah hoax yang sengaja dihembuskan dalam rangka menjustifikasi narasi jebakan utang yang ‘katanya’ diberikan China untuk menjerat negara-negara mitra BRI-nya.

Lalu apa penyebab sesungguhnya dari krisis di Sri Lanka?

Pada bagian selanjutnya kita akan bahas.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!