“Apa sih guna konsultan politik?” begitu isi pertanyaan yang masuk ke laman medsos. Jawabannya: sangat banyak. Coba bayangkan bagaimana suatu produk Apple yang memakan biaya riset lumayan gede dan teknologi terkini, tapi minim pemberitaan? Apa mungkin bisa laris manis dipasaran?
Itu baru salah satunya. Banyak yang lainnya. Akan saya ulas dalam tulisan saya kali ini.
Pernah lihat film “Our Brand is Crisis”? Begitulah cara kerja seorang konsultan politik. Dari mulai branding kandidat yang diusung, sampai bermuara kepada kemenangan sang kandidat. Paket all out, tepatnya.
Jasa konsultan politik di Indonesia memang terbilang barang baru. Baru booming pada saat pilpres dilakukan secara langsung di 2004. Saat itu, kandidat yang butuh terlihat mentereng di mata rakyat, dipaksa memakai jasa mereka. Sejak saat itu, konsultan politik adalah kebutuhan primer bagi para politisi.
Kerja seorang konsultan politik, pada dasarnya terbagi atas 3 kategori. pertama mapping, kedua monitoring dan yang terkahir adalah mobilizing.
Gimana maksudnya?
Pertama mapping. Ditahap ini seorang konsultan politik akan melakukan riset awal tentang perilaku pemilih dan bagaimana pemetaan diantara para kandidat yang tengah bersaing. Singkatnya, apa kelemahan dan keunggulan kandidat yang diusung mesti jelas dulu, baru bisa bekerja ke tahap berikut.
Ditahap selanjutnya alias monitoring, konsultan politik akan memberikan pendampingan kepada kandidatnya. Nah ditahap ini, mulailah tahap branding alias pencitraan. kandidat yang kelihatan letoy dengan sekejab akan dipoles menjadi sosok yang tangguh dan perkasa.
Kenapa seorang Prabowo selalu ditampilkan kemana-mana dengan berkuda? Atau Anies Baswedan yang dicitrakan sebagai pemimpin yang santun? Ingat juga saat Pepo yang selalu ingin tampil memukau dimuka publik, terutama saat kampanye anti korupsi di televisi?
Itu-lah pencitraan, walaupun ujung-ujungnya satu persatu kader Demokrat terciduk pada kasus korupsi juga. Tak terkecuali besannya Pepo. Yang penting citra sudah terbentuk.
Selanjutnya tahap finalisasi, mobilizing.
Pada tahap akhir ini, butuh polesan akhir untuk memenangkan kandidat yang diusung. Kampanye yang biasa dilakukan sudah bersifat personal, alias door to door. Dari balik kehidupan individu mulai dikorek-korek guna menyentuh sisi pribadi mereka untuk akhirnya memilih kandidat yang diusung.
Sesudah tahu cara kerjanya, terus berapa biaya yang harus dirogoh guna menyewa jasa mereka?
Memang tidak ada yang baku kalo sudah nyangkut biaya. Tapi sebagai gambaran, untuk pemilihan kabupaten/kota, jumlah yang harus dikeluarkan lewat survei kepada 400 orang responden saja sudah 120-150 jeti. Itu sekali survei, lho?
Nah untuk tingkatan pilkada atau level provinsi, akan lebih lagi. Bisa 200-350 jeti. Itupun tergantung daerahnya. Provinsi DKI Jakarta pasti akan beda tarif dengan provinsi NTT misalnya.
Itu baru survei. Belum lagi biaya pendampingan alias companionship fee, yang dipatok bulanan. Biasanya biaya pendampingan dipatok berdasarkan tingkat elektabilitas seorang calon. Makin tinggi elektabilitasnya, maka biayanya makin kecil.
Dan biaya yang paling banyak digelontorkan ada pada tahap mobilizing, dimana akan melibatkan banyak orang untuk menarik suara publik. Disinilah model black campaign, hoax dan gerilya door to door mulai dilibatkan, sampai akhirnya penempatan saksi di tiap TPS saat pemilu berlangsung.
Melihat banyaknya uang yang harus digelontorkan oleh tiap kandidat, menjadikan konsultan politik sebagai ladang yang menjanjikan. Belum lagi kalo sekiranya kandidat yang diusung beroleh kemenangan. Sudah barang tentu nantinya job demi job akan ngantri secara bererot.
Dan sekali lagi ini adalah bisnis. Bisnis tidak kenal warna ideologi, moral apalagi dampak yang akan ditimbulkan kelak. Diktumnya cuma satu: bagaimana bisa menang? Short-term intension.
Padahal sejarah mengajarkan kepada kita, bagaimana seorang kandidat yang notabene-nya mumpumi untuk memimpin suatu bangsa, terpaksa terjungkal dalam ajang kontestasi hanya karena ulah konsultan politik tertentu, dengan skenario hoax dan kampanye hitamnya.
Pilkada DKI Jakarta, adalah contoh konkret yang ada disekitar kita. Kalo dikembangkan, apa nggak mungkin yang begituan tidak terjadi lagi saat pilpres 2019 nanti? Terlalu naïf jika kita katakan tidak…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments