Kegalauan Jokowi


509

Apa yang menarik dari perhelatan pilpres kali ini? Tidak ada. Kurang gregetnya, terutama karena TKN JOMIN hanya bermain dengan gaya bertahan. Ibarat pertandingan sepak bola, permainan model gini, tentu tidak enak untuk disimak. What a boring game!

Kenapa musti bertahan? Karena konsultan politiknya memberikan masukan. “Pak, dengan prestasi pembangunan yang segudang plus sering-sering blusukkan, pasti kemenangan sudah ditangan. Dan yang harus dilakukan adalah bertahan. Ulur waktu ditengah gempuran,” begitu kurang lebih nasihatnya.

Jangan heran, strategi kampanye jadi hambar. Apa yang dipertontonkan Jokowi hanya defensif sifatnya. Kalo nggak menggunakan jurus klarifikasi untuk menangkis tuduhan-tuduhan yang kerap dialamatkan kepadanya, paling pol jualan keberhasilan atau prestasi yang sudah diraihnya.

Bicara strategi, memang sah-sah saja harus bagaimana. Cuma ada parameter yang mampu mengukur tingkat keberhasilannya. Pertanyaannya: apa cara ini efektif?

Survei Litbang Kompas yang digelar beberapa waktu lalu, tepatnya di tanggal 5 Oktober 2018, menunjukkan elektabilitas JOMIN hanya menyentuh angka 52,6%, sedangkan paslon BOSAN meraih angka 32,7%. Posisi yang belum sepenuhnya aman untuk seorang petahana. Ada titik rawan disana.

Jika kita refleksikan dengan hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2017, pakde hanya berhasil mengkerek angka sekitar 6%, dari sebelumnya 46,3%. Sedangkan Prabowo, yang pada 2017 mengantongi angka 18,2%, peningkatannya hampir 2 kali lipat alias 14,5%.

Ini diperkuat dengan pernyataan pakde kepada tim kampanyenya, untuk tidak terlelap pada hasil survei-survei yang belakangan marak digelar, yang hasilnya mayoritas memenangkan elektabilitas Jokowi. Alasan pakde sederhana, karena apa yang terjadi pada politik dan ekonomi global, akan bisa menjalar ke kancah perpolitikan nasional.

“Tiga minggu sebelum referendum Brexit, saya bertemeu dengan PM Inggris, David Cameron. Pak Cameron referendumnya bagaimana kira-kira? Dia jawab, presiden Jokowi pasti kita menang besar, bukan sedikit,” tukas pakde. Ternyata hasilnya gak sesuai harapan. “Artinya perkiraan-perkiraan itu meleset,” tambahnya.

Ada kegalauan disana. Dan memang sewajarnya perasaan itu ada, mengingat ada ketidak optimalan kerja para relawan di daerah-daerah. Padahal upaya yang harus dibangun adalah kerja relawan secara door-to-door, seperti yang sering saya ulas. Di sisi ini, kerja para kampret jauh lebih optimal.

Sekarang, kalo bicara statistika, kita bicara tentang trend. Kalo bisa disimpulkan, trend yang dimiliki pakde peningkatannya kurang signifikan. Sedangkan raihan yang dimiliki Prabowo, cukup signifikan. Kalo pola ini dipertahankan, maka akan boncos diakhir cerita. Setelah di evaluasi, tok…gaya permainan harus diubah.

Adalah Erick Thohir yang kemudian menyikapi kegalauan hati pakde, dengan menyatakan, “Karena kemarin kami sudah diserang bahkan ada kampanye PKI segala, jadi mau tidak mau kami harus ofensif sekarang,” katanya pada acara rakornas Tim Kampanye Daerah (TKD) di Hotel Acacia, Jakarta (13/12) lalu.

Pertahanan terbaik adalah menyerang. Setidaknya itu yang pernah diucapkan oleh Sun Tzu. Dan paslon BOSAN sudah membuktikan diktum tersebut. Terbukti, walaupun minim program apalagi prestasi, suara swing voters bisa beralih pada dirinya. Cukup hanya satu kata: serang!

Isu yang dibangun tim BOSAN untuk menggerus elektabilitas petahana selain menarik suara undecided voters, dari mulia harga rupiah yang terus anjlok, sembako yang makin tidak terjangkau, selain isu PKI, terbukti cukup efektif untuk dimainkan, walaupun kesannya murahan dan tidak mendidik rakyat secara politis.

Situasi ini diperburuk oleh ulah cebongers, yang kurang sinergis dalam bergerak dan menggarap isu-isu yang ada. Cebongers cenderung normatif. Gak percaya? Lihat aja kalo kita posting sedikit ‘aneh’ saja, maka mereka akan buru-buru komen: “Harusnya kita nggak boleh ikutin cara kelompok sebelah. Kita hanya boleh men-share prestasi Jokowi saja.”

Dan semua ini harus segera dihentikan, kalo tidak mau di-disrupsi oleh kubu BOSAN. Duduk nyaman pada zona nyaman sudah tidak efektif. Serangan balik kini dinantikan.

Akankah cara yang dilakukan Erick akan berbuah keberhasilan? Dalam politik, keberhasilan itu dampak, yang penting ada niatan untuk melakukannya. Toh jatuhnya Soeharto di 1998, dimulai dengan aksi menyerang, bukan hanya diam yang sifatnya defensif.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!