Elektabilitas adalah Segalanya?


524

Elektabilitas adalah Segalanya?

Oleh: Ndaru Anugerah

Seorang buzzer mencoba melakukan ‘intimidasi’ pada PDIP yang intinya mempertanyakan apakah partai Banteng tersebut serius akan ‘membuang’ sosok GP yang dinilai potensial pada pilpres 2024 mendatang. (https://surakarta.suara.com/read/2021/05/23/185510/ganjar-pranowo-dicuekin-denny-siregar-mbak-puan-hati-hati-lho?page=all)

Kenapa sang buzzer keukeuh agar seorang GP layak diajukan sebagai seorang capres?

Karena menurutnya, elektabilitas GP lumayan tinggi. Dan elektabilitas yang tinggi bisa dijadikan jaminan bahwa dirinya punya kans untuk menang pada gelaran pilpres. Titik.

Apa iya begitu?

Sebelum kita mengulasnya, anda perlu tahu dulu apa itu popularitas, elektabilitas dan pencitraan. Saya pernah bahas beberapa tahun yang lalu. (baca disini)

Dengan kata lain, untuk mendapatkan elektabilitas yang tinggi, seorang kandidat harus populer dulu. Kalo sudah populer, maka tinggal pakai sentuhan ‘pencitraan’ yang dikelola oleh konsultan politik, maka elektabilitasnya bakalan terkerek naik.

Lagian, kalo anda jeli liat pertanyaan yang diajukan lembaga survei untuk tahu elektabilitas seseorang, maka diktum yang dipakai adalah ‘kalo pilpres digelar hari ini’.

Pertanyaannya: apa pilpres digelar hari ini? Kan nggak.

Jadi selalu ada bias dari hasil survei tersebut terhadap hasil pemilu yang sesungguhnya. Pada banyak kasus, hasil survei malah nggak paralel dengan hasil yang didapat pada hari pencoblosan.

Nggak heran jika seorang jenderal lapangan sekelas Bambang Pacul bisa bilang, “Seorang kepala daerah harus bisa menunjukkan kinerjanya di lapangan dan bukannya di media sosial.” (https://jatim.suara.com/read/2021/05/26/133334/bambang-pacul-sebut-elektabilitas-ganjar-cuma-wacana-udara-maksudnya-apa?page=all)

Karena memang kenyataannya tidak demikian.

Kalo kurang yakin, mari kita kupas lebih dalam.

Pertanyaannya sederhana: apakah elektabilitas seorang calon bisa dijadikan rujukan yang ajeg dalam kontestasi pemilu?

PDIP mungkin sudah kasih contoh yang bagus tentang hal ini.

Dulu, sewaktu pilgub Jateng 2013, nama GP nggak masuk hitungan kalo merujuk pada survei tentang elektabilitas.

Saat itu Bibit Waluyo selaku petahana, jauh lebih dikenal orang. Dan sosok kedua yang punya elektabilitas baik saat itu adalah Rustriningsih selaku wagub Bibit. (https://kabar24.bisnis.com/read/20130416/345/8795/pilgub-jateng-survei-lskp-bibit-waluyo-masih-unggul)

Namun secara mengejutkan, PDIP malah mengusung GP selaku cagub penantang petahana, bukannya Rustriningsih yang waktu itu punya tingkat elektabilitas jauh lebih baik ketimbang GP. (https://news.detik.com/berita/d-2188698/27-tahun-mengabdi-rustriningsih-kini-dikandangkan-pdip)

Lantas, kalo merujuk pada elektabilitas semata yang mengedepankan figur seseorang, harusnya Bibit yang memenangkan kontestasi, dong?

Nyatanya malah sebaliknya. Sosok GP yang nggak begitu dikenal warga Jateng, malah akhirnya memenangkan kontestasi. (https://www.beritasatu.com/nasional/116003/bibit-dan-hadi-akui-kemenangan-ganjar)

Kejadian yang sama juga pernah dialami Bibit Waluyo yang saat gelaran pilgub Jateng 2008 diusung oleh PDIP. Waktu itu Bibit yang punya elektabilitas ‘jeblok’, justru malah berhasil memenangkan kontestasi. (https://www.antaranews.com/berita/94368/pdi-perjuangan-usung-bibit-waluyo-rustriningsih)

Artinya apa?

Bukan elektabilitas ansich yang menentukan seseorang bisa disorong untuk menjadi seorang kandidat guna memenangkan kontestasi, melainkan ada faktor lain, yaitu parpol. Parpol-lah yang punya kemampuan untuk mengorbit seseorang dari yang nggak dikenal, jadi serta merta terkenal.

Pada gilirannya, parpol juga yang akan bekerja keras di lapangan untuk memenangkan kandidat yang diusungnya.

Kok bisa begitu?

Karena di Indonesia itu, mayoritas pemilih masih bersifat tradisional. Bukan pemilih yang rasional, bersikap kritis apalagi pemilih yang skeptis. (https://tirto.id/termasuk-pemilih-macam-apakah-anda-dalam-pilkada-cmWj)

Pemilih model gini, lebih mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham dan juga agama sebagai indikator yang mereka pakai untuk memilih calon pemimpin.

Makanya jangan heran kalo kemudian seorang AB bisa memenangkan pilkada Jakarta di 2017 silam, karena salah satunya pemilih tradisional tadi.

Lewat narasi bahwa AB adalah sosok pemimpin ummat, maka Ahok akhirnya dibuat kalah telak. (https://www.merdeka.com/politik/sah-kpu-dki-tetapkan-anies-sandi-menang-pilgub-dki-2017.html)

Dan peran parpol dalam mensosialisasi kandidatnya dengan pendekatan kultural guna menarik hati pemilih tradisional, sangat mutlak diperlukan.

Jadi, kalo buzzer tadi punya anggapan bahwa elektabilitas dijadikan rujukan seorang untuk bisa dijadikan calon apa nggak, itu jelas lebay dan terlalu memaksakan kehendak.

Pertanyaannya: dia mau memperjuangkan kepentingan rakyat apa mau mengharap ‘proyek’ dari kandidat yang ngotot diusungnya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!