Ide Ambisius nan Bombastik
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bagaimana Abang menilai tentang program sang Ndoro besar untuk proses transisi energi saat ini?” tanya seorang melalui kanal messenger.
Perasaan tentang ini sudah sering saya bahas.
Energi terbarukan, energi hijau, net zero carbon atau apapun namanya itu, hanyalah sekedar ide bombastik yang sangat muluk untuk diimplementasikan, karena memang pada dasarnya nggak bisa dieksekusi pada tataran teknis.
Bagaimana mungkin energi terbarukan bisa menggantikan energi bahan bakar fosil, jika kelayakannya nggak pernah bisa dibuktikan? (baca disini, disini, disini dan disini)
Saya coba buktikan satu hal, agar anda paham duduk masalahnya.
Anda pasti tahu, bahwa kartel sang Ndoro besar adalah pihak pertama yang menyuarakan proses transisi energi ini. Ekonomi hijau adalah target yang harus dicapai dengan cara mencampakkan ekonomi berbasis karbon saat ini. (https://www3.weforum.org/docs/WEF_Energy_Transition_101_2020.pdf)
Walhasil, semua program turunan, pasti mengacu pada proses transisi ini.
Salah satu yang diluncurkan dengan kampanye bombastik sana-sini adalah proses peralihan energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, yang diagendakan akan mencapai tahap final di 2050 mendatang. (https://www.un.org/sg/en/content/sg/articles/2020-12-11/carbon-neutrality-2050-the-world%E2%80%99s-most-urgent-mission)
Bahkan Uni Eropa di tahun lalu, sempat melarang produksi mobil berbahan bakar fosil hingga 2035 mendatang. Solusi yang ditawarkan adalah kendaraan listrik karena dinilai bebas karbon. (https://www.weforum.org/agenda/2022/07/eu-climate-change-policy-co2-fossil-fuels-2030-targets/)
Apakah program ini berhasil?
Nyatanya Uni Eropa baru-baru ini malah ‘merevisi’ program mandat transisi kendaraan bebas karbon tersebut, karena berbagai kendala. (https://www.france24.com/en/live-news/20230325-eu-germany-reach-deal-on-fossil-fuel-car-phaseout-plan)
Jadi, yang awalnya proses transisi energi sudah dimulai di Benua Biru, kini aturan tersebut baru direvisi dan baru bisa efektif diterapkan pada 2035 mendatang, utamanya pada sektor kendaraan bermotor. Dengan kata lain ada kemunduran schedule dari rencana semula. (https://europe.autonews.com/environmentemissions/eu-reaches-deal-ban-new-combustion-engine-cars-2035)
Implikasi dari keputusan ini adalah bahwa kendaraan yang diproduksi di Eropa saat ini bakal menggunakan bahan bakar sintetis yang katanya ‘ramah lingkungan’. Dan bahan bakar sintetis tersebut mirip bensin atau solar. Lantas dimana bedanya dengan fossil fuel? (https://www.hotcars.com/heres-why-electric-cars-are-the-future-and-synthetic-fuels-are-not/)
Blunder, bukan?
Satu yang pasti bahwa keputusan tersebut bakal memungkinkan produksi dan penjualan mobil baru berbahan bakar sintetis dengan sistem pembakaran internal, karena mobil listrik belum siap untuk digunakan.
Apa alasan utama penangguhan transisi mobil berbahan bakar fosil ke mobil listrik?
There are some reasons.
Tahukah anda kalo proses transisi kendaraan ke mobil listrik dapat meningkatkan penggunaan listrik hingga 25% lebih boros? Ini dapat dimungkinkan karena untuk mengisi daya pada baterai mobil listrik, membutuhkan listrik yang lumayan besar. (https://www.nytimes.com/2021/01/29/climate/gm-electric-cars-power-grid.html)
Bahkan untuk kendaraan-kendaraan besar semisal truk atau bis, jika nekat digunakan maka makin banyak lagi energi listrik yang terkuras. Memangnya listrik yang dihasilkan untuk nge-charge baterai kendaraan, asalnya darimana selain dari bahan bakar fosil? (https://storymaps.arcgis.com/stories/7bed52d706024276b35d43e86fd8f2dc)
Belum lagi kendaraan listrik biasanya melakukan pengisian daya listrik di malam hari, bukan? Logis, mengingat kendaraan biasanya beroperasi di siang hari.
Pertanyaannya: adakah tenaga surya atau angin efektif bisa digunakan di malam hari ketimbang di siang hari? Ujung-ujungnya apakah bukan fossil fuel lagi yang digunakan sebagai sumbernya?
Lebih jauh lagi soal efesiensi mesin yang digunakan pada kendaraan listrik.
Sudah rahasia umum jika mobil listrik perlu sistem pemanas khusus pada kabinnya, sehingga mengonsumsi lebih banyak energi jika digunakan, ketimbang mobil berbahan bakar fosil. (https://cleantechnica.com/2021/11/22/heating-cooling-are-a-challenge-for-electric-vehicles/)
Dengan kata lain, mobil listrik lebih boros energi.
Lalu dimana letak konsistensinya jika status boros energi tercipta? Bukankah peralihan energi ke energi terbarukan justru untuk mencapai tingkat sempurna penggunaan energi? (https://www.epa.gov/sites/default/files/2018-07/documents/mbg_1_multiplebenefits.pdf)
Makin pusing, kan?
Bisa disimpulkan kalo program transisi ke energi hijau adalah program ambisius dan bombastik semata. Nggak ada kesesuaian antara kampanye dan implementasinya.
Itu lebay.
Menjadi lumrah jika Swiss telah lebih dulu mencampakkan program mobil listrik-nya di akhir tahun lalu, karena memang selain sumber energinya terbatas, program ini nggak efisien dalam penggunaan energi. (https://www.dailymail.co.uk/news/article-11494991/Switzerland-BAN-electric-cars-roads-power-shortages.html)
Pertanyaan selanjutnya: apakah program transisi energi layak dilanjutkan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments