Hikayat Penjual Minyak Ular (*Bagian 2)


532

Hikayat Penjual Minyak Ular (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, saya telah mengulas tentang peran penting William Avery Rockefeller pada anaknya John Davison Rockefeller, dalam membentuk pola pikirnya yang kelak memanipulasi pikiran orang dengan konsep dagang ‘minyak ular’-nya. (baca disini)

Kita juga telah bahas tentang ambisi Rockefeller dalam menguasai jalur minyak di AS, dengan membentuk perusahaan Standard Oil.

Namun ada masalah muncul saat bola lampu muncul ke dunia, yang nyaris menghempas impian John dalam menguasai perdagangan minyak.

Untuk mengatasinya, satu-satunya solusi praktis adalah dengan mendorong terciptanya moda transportasi massal, yang kelak akan menggunakan minyak yang diproduksi Standard Oil sebagai bahan bakarnya. Itulah mobil yang kita kenal saat ini.

Untuk memuluskan rencananya, itu bukan perkara mudah. Setidaknya ada 2 masalah utama yang menghalangi rencana John.

Pertama, moda transportasi massal berbasis troli (streetcar) telah ada di berbagai kota besar di AS. Dengan hadirnya streetcar, apa gunanya mobil berbahan bakar fosil?

Dan kedua, kalopun mobil berhasil diproduksi secara massal, tetap ada bahan bakar alternatif yang bisa dipakai selain bensin.

Maksudnya apa?

Saya coba jelaskan satu persatu agar anda mudah memahaminya.

Soal streetcar, John dengan mudah menghancurkan infrastruktur transportasi umum ini. Dengan mendirikan perusahaan konsorsium yang terdiri atas Standard Oil, Firestone Tire, General Motors dan Phillips Petroleum, mereka berhasil membeli dan membongkar sistem streetcar yang telah ada di 45 kota besar di AS. (https://nissenbaum.tech.cornell.edu/papers/Kwinty.pdf)

Sedangkan masalah kedua, lebih pelik ketimbang masalah pertama.

Saat mobil pertama kali dibuat oleh Henry Ford, bahan bakar yang dirancang untuk mobil Model T yang dihasilkannya, sebenarnya bisa alkohol bisa juga bensin. Ini bisa terjadi karena Ford sendiri adalah pendukung bahan bakar berbasis alkohol. (http://www.youtube.com/watch?v=5qDYoEupI28)

“Bahan bakar masa depan berasal dari buah atau sayuran yang bisa difermentasi,” demikian ungkap Ford. (http://query.nytimes.com/mem/archive-free/pdf?res=9C00E4DB153FE631A25753C2A96F9C946495D6CF)

Bahkan di tahun 1941, Ford sempat memproduksi kendaraan dengan bahan bakar etanol yang dihasilkan dari jerami. (http://www.youtube.com/watch?v=4rgDyEO_8cI)

Tentang penggunaan alkohol sebagai bahan bakar, memang bukan barang baru. Etil alkohol telah lama digunakan sebagai bahan bakar lampu sejak abad ke-19. Meskipun harganya mahal, namun ketersediaannya relatif stabil di pasaran. (https://www.researchgate.net/figure/A-simple-spirit-lamp-circa-1830-A-and-an-incandescent-alcohol-lamp-circa-1900-B_fig6_334573631)

Selain itu, alkohol memiliki nilai panas yang lebih rendah ketimbang bensin. Jadi jika digunakan pada mesin kendaraan, nilai ekuivalensi pada kompresinya akan sama dengan bensin. (http://pubs.er.usgs.gov/publication/b392)

Dengan temuan ini, para petani di AS menyuarakan tentang penghapusan pajak alkohol sebesar USD 2,08 per gallon dengan alasan bahwa alkohol diperlukan sebagai bahan bakar kendaraan.

Seruan ini kemudian ditindak lanjuti Presiden Teddy Roosevelt dengan bersuara di depan Kongres di tahun 1906. “Alkohol seharusnya bisa digunakan dalam sektor seni dan manufaktur, sehingga mereka dapat masuk pada daftar tidak kena pajak,” begitu kurleb-nya. (http://www.presidency.ucsb.edu/ws/?pid=69667)

Walhasil pajak alkohol dicabut pada tahun 1906.

Implikasinya, harga etanol jagung yang harganya 14 sen per galon, jauh lebih murah ketimbang harga bensin pabrikan John yang dijual pada harga 22 sen per galon.

Singkat cerita, kalo mau bisnis minyaknya tetap eksis, nggak ada cara lain bagi John selain menghancurkan alkohol sebagai pesaingnya.

Rupanya, Dewi Fortuna masih berpihak pada John. Pada awal abad-19, AS punya masalah dengan alkohol. Banyak warga AS menggunakan alkohol sebagai minuman yang memabukkan saat itu. (http://www.pbs.org/kenburns/prohibition/roots-of-prohibition/)

Inilah yang kemudian dijadikan entry point oleh John dalam mendesak diberlakukannya UU anti miras.

Dibantu oleh teman lamanya Howard Hyde Russel, John membiayai terbentuknya Anti-Saloon League (ASL) yang meneriakkan suara lantang tentang pelarangan produksi alkohol dan penjualan alkohol, karena dianggap telah merusak moral bangsa. (https://web.archive.org/web/20121023134801/http://www.rockarch.org/publications/resrep/dighe.pdf)

Sekali lagi, ini bukan bicara soal moral bangsa. Bukan sama sekali. Karena Johh sama sekali nggak tertarik soal itu. Tujuan John mendanai ASL adalah untuk menghancurkan bisnis alkohol yang menjadi hambatan dalam menguasai kartel minyak di AS.

Dan sesuai skenario, (dibantu lobi-lobi di Washington), akhirnya AS memberlakukan larangan alkohol di tahun 1920. (https://www.britannica.com/event/Prohibition-United-States-history-1920-1933)

Meskipun nggak melarang penggunaan alkohol sebagai bahan bakar, pembatasan ini jelas membuat produsen alkohol sebagai bahan bakar gulung tikar. Karenanya bahan bakar alkohol dicampakkan oleh industri otomotif akibat pembatasan yang dilakukan. (http://www.slate.com/articles/health_and_science/medical_examiner/2010/02/the_chemists_war.html)

Bukan itu saja, karena penggunaan bahan bakar fosil produksi John juga sukses mencampakkan rencana pembuatan mobil listrik yang telah ada sejak 1830 yang tidak memerlukan perpindahan gigi, minim getaran dan bau serta bebas polusi dan harga yang terjangkau. (https://www.thoughtco.com/history-of-electric-vehicles-1991603)

Sejak saat itu, cengkraman John D. Rockefeller mulai menggurita.

Sangat sulit membayangkan dunia tanpa minyak, sebab selain digunakan sebagai bahan bakar, minyak juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan plastik, obat-obatan, aditif pada pangan hingga pupuk. Dari Big Pharma hingga Big Agra, semuanya pakai minyak sebagai bahan utama produksi mereka.

Kisah ini nggak akan pernah anda dapatkan pada oulet media mainstream, karena semua cerita tentang klan Rockefeller hanya anda temukan sisi baiknya saja. Wajar, yang biayai corporate media, memangnya siapa?

Bisa dikatakan tentakel Rockefeller telah merambah ke semua aspek kehidupan kita dan membuat kita tergantung kepadanya. Kalo dulu Levingston menjual minyak ularnya guna menipu orang, kini Rockefeller muda juga telah menjual minyak ular yang menyebabkan ‘kanker’ pada diri kita.

Bukankah ungkapan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya adalah ungkapan sempurna bagi dinasti Rockefeller?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!