Hikayat Penjual Minyak Ular (*Bagian 1)


532

Hikayat Penjual Minyak Ular (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada ulasan terdahulu, saya telah membahas tentang snake oil salesman. Itu saya lakukan sebagai pengantar untuk menceritakan tentang hikayat William Levingston a.k.a Dr. Bill Levingston dan keturunannya. (baca disini)

Siapa sosok Levingston sebenarnya?

Levingston menggambarkan dirinya sebagai seorang dokter sekaligus spesialis kanker. Padahal dia bukanlah seorang dokter, bukan juga seorang spesialis kanker. Dia hanyalah penjual ‘minyak ular’ yang diklaim dapat menyembuhkan segala macam penyakit.

Minyak Batu atau Rock Oil adalah produk yang dijualnya.

Harga sebotol Minyak Batu tergolong mahal, sekitar USD 25 yang setara dengan gaji 2 bulan yang diterima oleh seorang pekerja di AS kala itu.

Meskipun mahal, orang tetap mau membeli produk Levingston karena tipuan yang dilakukannya. Bagi Levingston, uang adalah segalanya, meskipun untuk mendapatkannya dia harus menipu orang. (https://mitcheljustebook.blogspot.com/2020/08/download-pdf-winning-war-on-cancer-epic.html)

Memangnya Minyak Batu itu apa?

Nggak lain adalah campuran obat pencahar dan minyak bumi yang sampai lebaran monyet-pun nggak akan bisa menyembuhkan kanker.

Makanya karena takut kedok penipuannya terbongkar, Levingston nggak pernah tinggal lama di suatu tempat dalam rangka jualan obat palsu tadi.

Bisa dikatakan bahwa Levingston adalah penipu ulung alias snake oil salesman.

Apa yang menarik dari seorang Levingston?

Levingston bukanlah nama asli yang dimilikinya. Nama aslinya adalah William Avery Rockefeller selaku pendiri dinasti Rockefeller yang sangat masyhur. William terpaksa mengganti namanya menjadi Levingston setelah dirinya didakwa memperkosa seorang gadis di Cayuga pada 1849. (https://www.history.com/news/john-d-rockefeller-father-con-man-origins)

Kalo anda baca sejarah resmi dinasti Rockefeller, maka anda sulit mendapatkan kisah yang sesungguhnya. Jika anda mencari melalui mesin pencari, anda hanya mendapatkan silsilah keluarga yang telah dipoles sedemikian rupa, yang intinya Rockefeller kini sebagai sosok yang berseberangan dengan mendiang leluhurnya.

Jika Levingston digambarkan sebagai sosok yang egois dan serakah, maka anaknya John Davison Rockefeller adalah sosok yang dermawan dan murah hati. Begitu kurleb-nya.

Nyatanya apa kata pepatah: acorn doesn’t fall far from the tree.

Satu yang perlu diingat, Levingston pernah berkata, “Saya menipu anak laki-laki saya, setiap ada kesempatan. Saya ingin membuat mereka terasah dengan baik.” (http://www.csudh.edu/hux/syllabi/554/one_2.html)

Pelajaran yang telah diberikan sosok ayahnya, ditangkap dengan baik oleh John yang merupakan sosok yang cerdas. Teladan yang didapat adalah bagaimana cara menipu dan berbohong dengan ‘baik’, dimana sifat tersebut kelak mengantarnya menjadi sosok ‘berpengaruh’ di dunia.

Kalo ayahnya menjual Minyak Batu untuk menipu orang banyak, maka John menjual minyak ular jenis lain, yaitu minyak bumi.

Di tahun 1860-an, John muda membangun kilang minyak dengan beberapa rekan bisnisnya di Cleveland. Dan dalam waktu singkat, Standard Oil yang didirikannya, berhasil memurnikan sekitar 90% minyak yang ada di AS kala itu. (https://www.britannica.com/biography/John-D-Rockefeller)

Di masa awalnya, minyak bumi yang disulingnya digunakan sebagai bahan bakar penerangan di rumah-rumah.

Sialnya, di tahun 1878 penemuan bola lampu oleh Thomas Edison, nyaris menghempaskan impian John. “Ada bola lampu, ngapain repot-repot pakai lampu petromaks?” begitu kurleb-nya.

Namun bukan John D. Rockefeller namanya kalo tidak bisa mengakali kesulitan yang dihadapainya.

Setelah putar otak, dirinya mendapati bahwa harus ada solusi berupa produksi massal yang menggunakan minyak olahannya sebagai bahan bakar. Dengan demikian aktivitas penggunaan minyak akan menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat AS.

Ide inilah yang kemudian dijual oleh John. Minyak ular gaya baru yang dijual ke masyakarat AS, yang sebetulnya nggak terlalu dibutuhkan orang saat itu.

Pada masa itu, untuk konektivitas seantero AS, kereta api menjadi moda transportasi utama. Dengan hadirnya kereta api, maka warga AS nggak butuh waktu lama dalam mengarungi hamparan tanah dan bukit yang sangat luas. Selain itu, kereta api relatif aman dan nyaman untuk digunakan, ketimbang naik kereta kuda.

Masalah muncul saat menempuh jarak dari stasiun ke rumah yang lumayan jauh, harus naik apa? Masa iya harus jalan kaki? Nggak mungkin juga kan, naik andong apalagi odong-odong?

Satu-satunya solusi yang mungkin adalah menciptakan kereta tanpa kuda.

Itulah mobil yang kita kenal saat ini.

Dengan hadirnya mobil sebagai moda transportasi massal, maka masalah yang dihadapi John dapat teratasi. Tapi dengan satu syarat, jika dan hanya jika mobil tersebut menggunakan minyak olahan John sebagai bahan bakarnya.

Kebayang dong, berapa cuan yang akan didapat John jika skenario ini dapat berjalan sesuai rencana.

Pertanyaannya: bagaimana rencana ini kemudian dieksekusi John D. Rockefeller?

Pada bagian selanjutnya saya akan bahas.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!