Cuma Settingan


507

Cuma Settingan

Oleh: Ndaru Anugerah

Vaksin si Kopit dari Rusia sudah jadi. Dari China menyusul. Tinggal vaksin dari Big Pharma yang belum jadi. Padahal Operation Warp Speed sudah digulirkan, nyatanya tetap kalah cepat dari kedua negara tersebut.

Padahal syarat vaksin bisa dipakai menyangkut 2 hal. Pertama vaksinya harus aman dan kedua harus efektif. (baca disini dan disini)

Untuk tujuan ini, maka dibuatlah ujicoba ‘settingan’, yang hasilnya sudah pasti sukses sesuai skenario awal.

Setidaknya Prof. William Haseltine selaku mantan saintis dari Harvard Medical School & Harvard School of Public Health yang menyatakan demikian. (https://www.forbes.com/sites/williamhaseltine/2020/09/23/covid-19-vaccine-protocols-reveal-that-trials-are-designed-to-succeed/amp/%3F__twitter_impression%3Dtrue)

Kenapa Prof. Haseltine bisa mengatakan hal demikian?

Salah satu kriteria ujicoba vaksin seharusnya adalah keefefktifannya dalam mencegah penularan infeksi si Kopit. Nyatanya klausul ini diabaikan oleh Moderna, Pfizer dan AstraZeneca.

Mereka hanya berupaya untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan dari si Kopit, seperti batuk ringan dan sakit kepala dan bukan upaya mencegah infeksi penularan,” ungkap Prof. Haseltine.

Nah kalo begini adanya, ngapain repot-repot divaksin? Cukup minum obat, maka gejala seperti batuk ringan dan sakit kepala bakal beres. Justru orang mau di vaksin dengan tujuan agar laju infeksi bisa dikendalikan dan pandemi bakal berlalu. Bukan begitu Malih?

Untuk tujuan ini, maka ada upaya dari Big Pharma untuk meloloskan izin penggunaan dari vaksin karena kondisi darurat (emergency use authorization) dari FDA. Dengan alasan darurat, maka ijin untuk memakai vaksin bakal mendapat pembenaran.

Padahal syarat bagi otorisasi bagi sebuah vaksin setidaknya menunjukkan kemanjuran sekitar 70%, ungkap Prof. Haseltine, yang artinya 7 dari 10 orang seharusnya nggak terinfeksi setelah divaksinasi. Nyatanya, aturan ini sengaja dibuat longgar sama FDA dengan alasan ‘kondisi darurat’.

Coba kita lihat bagaimana hasil ujicoba di 3 perusahaan Big Pharma tersebut.

Di Moderna, hanya 13 dari 53 orang penerima vaksin yang dinyatakan berhasil. Astrazeneca, hanya 12 dari 50 penerima vaksin. Pfizer lebih parah lagi, hanya 7 dari 32 orang penerima vaksin. Dengan kata lain, tingkat keberhasilannya masih jauh dibandingkan ‘kelompok kontrol’ pada ujicoba mereka.

Bukan itu saja. Relawan yang menerima vaksin pada ujicoba Big Pharma tersebut adalah orang-orang muda yang sehat yang kecil risikonya untuk meninggl karena si Kopit. Lantas bagaimana efek vaksin terhadap kaum lansia yang jauh lebih rentan terhadap vaksin? Kenapa mereka nggak dilibatkan?

Bagaimana juga dengan orang dengan penyakit parah, yang kelak akan pakai vaksin tersebut? Kenapa mereka juga nggak dilibatkan?

Udah gitu, kriteria penetapan relawan untuk divaksin masih jauh dari kata ‘layak’. Gimana nggak? Cukup 1 kali tes PCR positif dengan gejala seperti sakit kepala, demam, batuk dan mual ringan, maka mereka langsung bisa ditetapkan sebagai relawan.

Menurut Prof. Haseltine, “Itu sih gejala flu ringan, bukan Kopit.”

Lalu bagaimana dengan vaksin placebo yang diberikan pada relawan ujicoba tersebut?

Untuk Moderna menggunakan larutan garam, sementara AstraZeneca menggunakan vaksin meningokokus disertai asetaminophen.

Asal anda tahu, bahwa garam sengaja digunakan untuk ‘menyembunyikan’ efek samping yang mungkin timbul dari vaksin. Sedangkan asetaminophen biasa digunakan dengan alasan yang kurleb sama yaitu meminimalisir efek samping seperti: nyeri, demam, hingga sakit kepala.

Padahal penggunaan asetaminophen selama infeksi virus justru dapat merusak respons kekebalan tubuh untuk melawan infeksi tersebut.

(https://articles.mercola.com/sites/articles/archive/2014/03/26/acetaminophen-overdose.aspx)

Pertanyaannya adalah: jika vaksin nggak bisa dipakai untuk mencegah laju infeksi atau penularan, maka otomatis nggak bisa menekan angka rawat inap Kopit di rumkit dan juga angka kematian, maka ngapain juga kita pakai vaksin? Itu mah sama aja boong.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!