Oleh: Ndaru Anugerah
“Rasain, China kena tulah! Senjata biologis yang mereka buat ternyata bocor dan menghantam mereka sendiri.” Begitulah narasi yang banyak beredar di jagat media sosial.
Benarkah?
Kalo narasi tersebut benar bahwa China tengah membangun persenjataan biologis, lalu kenapa mereka mengambil tempat super strategis semisal Wuhan? Kenapa nggak di daerah terpencil? Bukankah sangat riskan bila timbul kebocoran? Apa China cukup bodoh melakukan perencanaan yang sembrono tersebut?
Untuk menghindari masuk ke dalam teori konspirasi, saya coba ulas pakai nalar saja untuk menanggapi narasi tersebut.
Apa kriteria dari digunakannya senjata biologis?
Mengacu pada definisi yang dibuat oleh Leonard Horowitz dan Zygmunt Dembek, suatu keadaan dapat dikatakan telah mengekspos persenjataan biologis, jika: pertama, dapat memicu penyakit mematikan yang tidak biasa. Kedua, tidak adanya penjelasan epidemilogis-nya. Dan yang ketiga, hanya menyasar daerah/ras tertentu.
Merujuk pada hal tersebut, maka kasus virus Corona di Wuhan, jelas merupakan manifestasi dari penggunaan persenjataan biologis. Kenapa?
Pertama telah memicu penyakit yang mematikan, kedua nggak ada penjelasan epidemilogisnya. Dan ketiga hanya menyasar ras tertentu, yaitu Mongoloid. Kalopun ada ras lain yang terdampak, itu bisa dihitung dengan jari saja jumlahnya.
Berdasarkan pendapat para pakar virology, virus Corona ini sungguh aneh bin ajaib. Selama jutaan tahun, mereka hidup berdampingan dengan manusia, tapi mereka hanya menginang pada hewan saja, misalnya unta, kelelawar dan burung.
Dengan kata lain mereka nggak pernah menginfeksi manusia, hingga kemudian ditemukannya virus mematikan tersebut yang telah menyasar manusia.
Apa tiba-tiba adanya perubahan iklim, maka virus-virus tersebut bermigrasi ke manusia?
“Hampir bisa dikatakan nggak mungkin hal tersebut serta merta terjadi,” demikian ungkap seorang pakar virology.
Aliasnya, ada pihak yang merekayasa virus-virus tersebut hingga bisa bermigrasi dan menginfeksi manusia.
Sampai sini, clear ya…
Untuk mengetahui siapa yang bermain, maka kita perlu tahu siapa yang telah, setidaknya menginisiasi perang biologis tersebut.
Project for the New American Century (PNAC) sebagai sebuah think-tank pertahanan AS yang bermarkas di Washington D.C. pernah mengeluarkan laporan yang berjudul Rebuilding America’s Defenses. Dikatakan,”Bentuk-bentuk canggih perang biologis yang dapat menarget genotype tertentu dapat dikembangkan untuk dapat menjadi alat kepentingan politik AS.”
Singkatnya, perang biologis dapat digunakan AS demi memuluskan langkah politiknya.
Demi memuluskan rencana tersebut, maka mereka mengembangkan biolaboratorium di banyak negara. Untuk meng-kompartemenisasi China dan Rusia, utamanya.
Berdasarkan data intelijen, ada sekitar 400-an biolab yang tersebar di sepanjang Kazakhstan, Kyrgyzstan, Afghanistan, Pakistan, Taiwan, Filipina, Korsel, Jepang hingga Indonesia.
Indonesia?
Pernah dengar NAMRU 2 yang berpusat di jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat? Sejak tahun 1970-an, Naval Medical Research Unit (NAMRU) 2, sudah bertengger di negera ber-flower ini.
Awalnya karena permintaan Menkes G.A Siwabessy kepada Dubes AS Francis Galbraith dalam rangka penanggulangan malaria dan campak yang menggila saat itu. Singkat cerita, dibuatlah NAMRU-2 tersebut, yang anggotanya para tentara AL yang telah mendapat perbekalan intelijen.
Dan ajaibnya, proyek tersebut banyak nuntut ini itu ke pemerintah Indonesia, tapi nggak berikan manfaat balik semisal menghasilkan vaksin atau apalah. Polanya, ada wabah menular disini, terus diambil sampel-nya buat dikirim ke AS sana. Nggak lama, muncul-deh vaksin wahid dari AS untuk dijual ke Indonesia dengan harga selangit.
Sasus beredar, NAMRU-2 mengembangkan strain virus baru yang kemudian diujicobakan pada masyarakat Indonesia khususnya di daerah terpencil. Kalo berhasil dibuatkan vaksin-nya ya syukur alhamdulillah. Kalo-pun gagal, toh daerahnya bukan diwilayah AS juga. Jadi nothing to lose…
Melihat gelagat ini, maka Menkes Siti Fadilah kala itu, berang dan di tahun 2009 kemudian menutup fasilitas biolab berkedok lab kesehatan tersebut.
“Laboratorium kesehatan kok yang kelola pasukan militer? Mana pakai paspor kekebalan diplomatik, segala,” demikian keluhnya.
Kalo kemudian NAMRU-2 ditutup, bukan berarti proyek biolab AS mati suri. Karena sekarang telah berganti nama menjadi AFRIMS (The Armed Forces Research Institute for Medical Services). Intinya, ya sama saja. Proyek biolab berbaju riset penanggulangan penyakit menular, tetapi tetap dibawah kendali Kementerian Pertahanan AS.
“Dan saat ini mereka tengah mengembangkan penelitian di bidang mikro-organisme, patogen serta virus berbahaya yang mematikan,” demikian ungkap sumber di Global Future Institute. Langkah ini perlu diambil AS sebagai skenario cadangan, saat perang asimetrik gagal digelar.
Kalo sudah begini, apa kita masih percaya narasi bahwa China tengah menghadapi bahaya kebocoran senjata biologis yang mereka miliki? Bukankah kasus Wuhan mengemuka, setelah gagalnya perang dagang yang diberlakukan AS atas China?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments