Apa Kabar BPJS Kesehatan?


518

JKN alias Jaminan Kesehatan Nasional merupakan salah satu program populis andalan presiden Jokowi. Bukan pada periode kedua saja, tapi sejak periode satu pakde berkuasa. Namun JKN belakangan menimbulkan penyakit kronis pada pemerintahan. Karena apa? Defisit anggaran.

Mulanya JKN yang lebih dikenal dengan istilah BPJS Kesehatan, merupakan program yang digadang-gadang bisa mengatasi masalah kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, kenyataan tak seindah harapan.

Ternyata jumlah uang yang digelontorkan BPJS besar pasak daripada tiang. Aliasnya uang iuran yang ditarik dari para peserta BPJS nggak imbang dengan pengeluarannya. Terjadilah defisit keuangan, dan angkanya kian tahun makin meroket.

Pada 2014 saja, defisit anggaran 3,3 trilyun. Dan pada 2018, angkanya mencapai 10,98 trilyun. Dan diproyeksi pada 2024 begitu Jokowi turun tahta, angkanya mencapai 77,8 trilyun. Angka yang sangat fantastik.

Darimana timbulnya defisit anggaran tersebut? Banyak hal.

Pertama dari iuran yang terbilang murah meriah. Sebagai gambaran, iuran kelas I mulanya dipatok Rp.80.000,-, kelas II dipatok Rp.51.000,- Nah yang parah lagi kelas III, yang dipatok Rp.25.000,- saja. Itupun bukan keluar dari kantong sendiri, karena untuk pasien kelas III dananya terpaksa ditalangi langsung oleh pemerintah.

Dari pasien kelas III saja yang merupakan golongan misqueen, pemerintah udah jelas nombok. Belum lagi dari pasien kelas I dan kelas II yang juga bukan memberi kontribusi keuntungan, tapi malah kerugian. Kok bisa?

Ada sekitar 223 juta peserta BPJS. 14%nya merupakan peserta mandiri, sekitar 32 juta orang. Nah, total iuran yang berhasil dikutip dari mereka sekitar 8,9 trilyun. Namun nyatanya, klaim yang diberikan oleh mereka jauh lebih besar angkanya, 27,9 trilyun. Artinya pemerintah harus nombokin lumayan gede.

Defisit anggaran juga bisa disumbang dari ketidak-patuhan peserta dalam membayar iuran bulanan. Ada kecenderungan bahwa mereka hanya bayar uang iuran kalo ada gejala bakal sakit saja. Kalo sehat-sehat aja, mereka nunggak iuran. Akibatnya bisa dibayangkan.

Begitu sakit, maka mereka ramai-ramai bayar iuran, agar bisa mendapatkan layanan kesehatan full dari BPJS. Kalo jumlahnya ‘peserta kumatan’ ini sedikit, mungkin nggak ngefek, tapi kalo sudah nyentuh angka jutaan apa nggak pusing pala Barbie?

Udah gitu, masalah tambah kompleks saat penyakit yang diklaim peserta kumatan tersebut merupakan penyakit katastropik alias penyakit boros anggaran, semisal jantung, kanker, hingga gagal ginjal.

Selain itu, defisit anggaran juga dipicu dari sistem klaim rumah sakit yang berbasis pada Indonesia Case Base Groups alias Ina CBG. Sistem ini ditenggarai sebagai penyebab terjadinya manipulasi anggaran yang dilakukan pihak RS, sehingga angka yang diklaim di mark-up habis-habisan.

Berdasarkan kenyataan tersebut, plus pemerintah yang lagi tongpes, maka Menkeu Sri Mulyani terpaksa mengajukan revisi, agar iuran peserta BPJS bisa disesuaikan (27/8).

Apa dasar pertimbangannya?

Pertama ada payung hukumnya. Merujuk pada pasal 16i Perpres 111 tahun 2013, bahwa iuran kepesertaan BPJS bisa disesuaikan tiap 2 tahun sekali. Artinya, wajar kalo kemudian pemerintah menaikkan tarif, karena memang ada dasar hukumnya. Itupun dua tahun sekali.

Kenaikan itu dipicu oleh faktor inflasi. Yang namanya inflasi, tiap tahun pasti ada dan nggak pandang bulu. Itulah sebab kenapa tiap tahun gaji kita terus naik, ya karena ada biaya penyesuaian yang diakibatkan oleh inflasi tadi. Tak terkecuali BPJS yang juga naik karena inflasi tersebut.

Yang kedua, iuran BPJS terkenal underpriced alias kemurahan. Dengan iuran kelas I senilai 80 ribu sebulan dengan manfaat berlipat, sudah pasti memicu orang untuk berbondong-bondong ikutan BPJS. Coba kalo dibandingkan dengan asuransi dengan iuran 500ribu per bulan, dapat apa?

Berbekal pada alasan di atas, maka tok,tok,tok. DPR pun menyetujui kenaikan iuran BPJS yang diajukan pemerintah. Efektif per 1 Januari 2020. Kelas I naik jadi 160ribu dan kelas II naik jadi 110ribu.

Bisa dibayangkan, keputusan ini langsung menimbulkan kontra dikalangan bani nyinyir. Ujung-ujungnya, Jokowi juga yang disalahkan karena dituding membuat rakyat semakin melarat. Kemana logikanya?

Untuk rakyat miskin di kelas III, kan iurannya tetap ditanggung oleh pemerintah. Jadi nggak ada alasan untuk bilang rakyat kere makin melarat.

Hanya kelas I dan kelas II saja yang dinaikkan iurannya. Dan golongan ini jelas bukan rakyat miskin. Kalo mereka kemudian nggak setuju terhadap kenaikkan iuran BPJS, kenapa mereka nggak ikut asuransi saja atau mengundurkan diri dari kepesertaan BPJS? Gampang, kan?

“Enakan ikut BPJS karena bisa ngirit banyak ketimbang ikutan asuransi,” demikian aku mereka.

Dengan kata lain, naiknya iuran merupakan hal yang wajar untuk dilakukan.

Yang nggak wajar adalah kinerja Direktur Utama BPJS – Fahmi Idris. Dengan gaji ratusan juta per bulan, kerjanya ngapain aja? Ambil contoh, apakah pelayanan BPJS sudah optimal? Kan nggak. Masih banyak bolongnya.

Selain itu, selaku pimpinan dengan kisaran gaji melebihi pendapatan seorang presiden, seorang Dirut harusnya mampu membuat terobosan (breakthrough), sehingga bisa mengurangi defisit anggaran yang ujung-ujungnya diharapkan mampu mengerem laju kenaikan iuran anggota.

Kalo dikit-dikit bilang defisit terus minta pemerintah untuk nalangin padahal udah digaji ratusan juta sebulan, lha mending gue aja yang jadi dirut-nya.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!