Antara TBC dan Kopit


513

Antara TBC dan Kopit

Oleh: Ndaru Anugerah

“Kopit ini memiliki case fatality rate sekitar 2,7%. Artinya kalo nggak divaksin, maka akan ada sekitar 7 juta angka kematian di Wakanda,” demikian ungkap seorang dokter tik-tok.

Apakah benar klaim yang diberikan dokter tersebut?

Saya pernah bahas, bahwa secara global, tingkat kematian akibat Kopit kurang dari 1%. Jadi kalo ada angka lebih dari 1%, kita pantas pertanyakan, angkanya dapat dari mana? (baca disini)

Penyebab utama tingginya angka kematian nggak lain adalah karena semua kematian diklaim disebabkan karena Kopit. Sakit jantung terus di test positif, maka matinya karena Kopit. Begitupun dengan penyakit lainnya.

Walhasil, tingkat kematian akibat Kopit meningkat, karena semua di-Kopit-kan. Nggak heran penyakit lainnya semisal kanker, paru-paru, diabetes, gagal ginjal, hingga hipertensi hilang di ‘pasaran’ akibat semua diborong sama Kopit. (baca disini)

Belum lagi orang yang tidak meninggal karena Kopit, nyatanya banyak yang dimakamkan ala Kopit. Untuk apa, coba? (https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5495456/cerita-153-makam-jenazah-negatif-corona-di-bandung-dibongkar-dipindahkan)

Dengan kata lain, klaim tingkat kematian sebesar 2,7%, jelas lebay karenanya datanya nggak valid.

Yang kedua, apakah dengan vaksinasi akan menurunkan angka kematian?

Nggak juga. Bahkan mengurangi penyebaran infeksi saja vaksinasi nggak bisa melakukan itu. Saya pernah membahas tentang hal ini. (baca disini, dan disini)

Kembali si dokter Tik-Tok nyolot, “Kalo begitu apa solusi yang ditawarkan kalo bukan vaksin? Apa membiarkan saja orang terinfeksi dan lalu mati, layaknya binatang?”

Kalo mulai emosi dan menggelar debat kusir, siapa juga yang mau ngeladenin? Buang-buang energi. Useless.

Lain halnya kalo kita ngomong nggak ngandelin jigong saja, tapi pakai data.

Maksudnya?

Menurut data dari WHO, kasus TBC di dunia pada 2015 silam, mencapai 10,4 juta jiwa. Dan Wakanda ada sebanyak 1,02 juta kasus, dengan angka kematian mencapai 100.000 jiwa di tahun tersebut. (https://www.kebijakanaidsindonesia.net/en/article/news/1701-ketika-indonesia-juara-dua-penderita-tbc-terbanyak-di-dunia)

Karena bersifat lethal, WHO menegaskan bahwa penyakit tersebut dikategorikan sebagai penyakit paling menular yang bisa mengakibatkan kematian. (https://www.dw.com/en/who-tuberculosis-is-the-worlds-deadliest-infectious-disease/a-52895167)

Data di tahun 2018, tingkat kematian akibat TBC di Wakanda mencapai 67.000 orang. Dan angka ini masih jauh lebih banyak ketimbang kematian akibat Kopit yang mencapai 39.983 jiwa selama durasi 1 tahun. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/)

Sekarang kita pakai nalar, mana yang lebih mematikan, Kopit atau TBC?

Walaupun bersifat lebih mematikan, nyatanya orang nggak lebay memperlakukan TBC layaknya Kopit. Nggak ada tuh vaksinasi massal. Nggak ada tuh social distancing plus pakai masker setiap saat. Nggak ada tuh penutupan sana-sini diberlakukan.

Kenapa anda nggak mengkritisi hal ini?

Harusnya, kalo bersifat lebih mematikan, maka pemerintah akan ambil tindakan lebih represif ketimbang penanganan Kopit. Tapi itu tidak dilakukan, bukan?

Bahkan saking kesalnya, dokter Erlina Burhan selaku Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Wakanda bilang begini, “Kenapa media massa bungkam akan hal ini dan lebih histeris menanggapi kasus Kopit?” (https://sains.kompas.com/read/2020/01/30/180200523/orang-indonesia-harusnya-takut-tbc-bukan-virus-corona-ini-kata-ahli?page=all)

Jadi kalo TBC yang lebih mematikan saja perlakuan yang diberikan pemerintah Wakanda masih wajar-wajar saja, lantas kenapa perlakuannya sungguh berbeda pada Kopit?

Apa karena ada ‘titipan’ dari sang Ndoro besar?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!