Akhirnya Pusing Sendiri
Oleh: Ndaru Anugerah
Universitas Airlangga bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara dan juga TNI AD mengklaim telah berhasil mengembangkan obat baru bagi si Kopit. (https://nasional.kompas.com/read/2020/08/19/11545621/menyoal-klaim-obat-covid-19-unair-dari-keterbukaan-informasi-hingga-dampak?page=all)
Adalah Kasad TNI AD Jenderal Andika Perkasa yang pertama kali megumumkan klaim tersebut. “Obatnya sudah ada dan tinggal menunggu izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),” ungkap Jenderal Andika pada Sabtu silam (15/8).
Bahkan Waka Komite Pelaksana Penanganan C19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Komjen Gatot Eddy Pramono menambahkan, “Uji coba klinis tahap 3 atas kandidat obat C19 tersebut telah dilakukan terhadap pasien C19 yang dirawat tanpa ventilator di rumah sakit.” (https://www.jpnn.com/news/jenderal-andika-komjen-gatot-kompak-bergerak-kenalkan-obat-covid-19)
Sayangnya, Gatot nggak merinci jumlah pasien dan di rumah sakit mana saja yang telah mendapatkan pengobatan obat potensial tersebut.
Meskipun demikian, jka nggak ada halangan, Jenderal Andika berencana akan bertemu dengan Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito untuk membahas kelanjutan izin edar dari obat tersebut.
Berdasarkan keterangan Jenderal Andika, pemerintah pusat akan memberikan subsidi pada tahap awal produksi obat tersebut. Wajar dikasih subsidi, mengingat kalo semua diserahkan pada masyarakat pada kondisi seperti saat ini, maka harga obatnya akan mahal, jatuhnya.
Memang obatnya seperti apa? Apakah obat baru?
Rektor Unair, Prof. Mohammad Nasih kasih keterangan, kalo obatnya tersebut bukan barang baru, melainkan obat racikan hasil kombinasi.
“Dari lima kombinasi obat penawar yang kami dapatkan, namun hanya 3 yang disarankan karena memiliki potensi penyembuhan yang optimal. Ketiganya adalah kombinasi Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, serta Hydroxychloroquine dan Azithromycin.
Sebagai gambaran, di luar negeri sana, obat tersebut diberikan satu per satu kepada pasien. Namun untuk di Indonesia, Unair membuat kombinasi untuk dijadikan 1 obat racikan.
Lalu gimana hasilnya?
Efektivitas obat tersebut mencapai 90%. Bukan itu saja. Dosis yang dipakai menjadi lebih rendah dibandingkan jika obat tersebut diberikan secara terpisah alias satuan.
“Setelah kami kombinasikan, daya penyembuhannya meningkat dengan sangat tajam. Untuk kombinasi tertentu bahkan mencapai 98% efektivitasnya,” klaim Prof. Nasih.
Namun, suara berbeda justru keluar dari pihak di luar sana.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan (18/8), “Adanya upaya riset obat atau vaksin berbasis kemampuan nasional tentu harus didukung dan diapresiasi. Namun tanpa mengabaikan kepatuhan terhadap kaidah ilmiah dan etika riset itu sendiri.”
Maksudnya, pihak penemu obat harus fair juga dalam menyajikan informasi atas klaim yang telah mereka lakukan atas obat tersebut. Ini penting agar publik tahu akan tingkat efektivitas obat serta efek samping yang mungkin ditimbulkan dari obat tersebut.
Kenapa Dicky bisa berkata begitu? Apakah ada yang janggal dalam riset yang dilakukan Unair tersebut?
Dicky mengamini hal tersebut. Menurutnya sejak awal proses, pihak yang melakukan riset tidak transparan atas hasil riset mereka. Namun sayangnya, hasil riset tetap dipaksakan menjadi obat bagi si Kopit dengan berbagai faktor pertimbangan.
Cukup?
Tentu tidak Rudolfo. BPOM sendiri telah mendapati hasil berupa sejumlah temuan kritis terhadap uji klinis tahap 3 yang dilakukan pihak Unair. Penny Lukito menjelaskan, “Tingkat signifikansi nggak terlalu besar. Jadi nggak cukup manjur (untuk dijadikan obat).”
Bukan itu saja. Penny Lukito bahkan menjelaskan bahwa obat tersebut merupakan obat keras yang akan menimbulkan efek samping yang serius jika digunakan bagi penanganan si Kopit. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200819160018-20-537389/bpom-sebut-obat-corona-unair-tni-ad-bin-masuk-kategori-keras)
Hal senada juga dinyatakan oleh anggota Komite Nasional Penilai Obat BPOM, Dr. Anwar Santoso. “Uji klinis atas sebuah obat tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Penyembuhan suatu penyakit memiliki beberapa faktor perancu, sehingga uji klinis diperlukan untuk meminimalisir faktor tersebut.”
Dekan Sekolah Farmasi ITB, Prof Daryono Hadi Tjahjono juga menilai tim riset Unair berantakan dalam menyiapkan penelitian uji klinis kombinasi obat si Kopit. “Kalo berantakan seperti itu, baiknya risetnya diulang,” ungkapnya. (https://nasional.tempo.co/read/1377598/dekan-sekolah-farmasi-itb-nilai-riset-obat-covid-19-unair-berantakan/full&view=ok)
Menanggapi serangan yang bertubi-tubi pada kubu Unair, akhirnya pihak istana kelimpungan sendiri. Bukannya happy karena sudah nemuin obat, eh malah muncul masalah lain.
Akhirnya Jubir Satgas C19, Wiku Adisasmito buka suara, “Karena transparansi publik diperlukan, tentunya pihak Unair tidak berkeberatan untuk menjelaskan bagaimana kaji etik berlangsung dan uji klinis yang sedang dijalankan kepada publik.”
Dan melihat sinyalemennya, dragon-dragon’nya obat ini akan susah untuk diproduksi massal, mengingat banyaknya tentangan dari banyak pihak. Dan kita akan kembali mundur untuk beberapa waktu yang tidak bisa ditentukan.
“Pendapat abang sebagai analis Geopolitik, bagaimana?” tanya seorang netizen.
Menurut saya, apa yang telah dikeluhkan banyak pihak dalam mengkritisi obat temuan dari Unair tersebut, perlu direspon dengan bijak. Transparansi, itu kata kuncinya. Jangan nggak jelas juntrungannya, tiba-tiba obatnya langsung jadi dan dipaksakan untuk dipakai.
Seperti saya bilang dalam analisa saya beberapa bulan lalu, bahwa untuk buat obat maupun vaksin, bukan seperti buat tahu bulat yang bisa langsung jadi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Butuh waktu yang sangat lama untuk bisa menghasilkannya.
Kenapa? Ini berkaitan erat dengan keamanan dan efektivitasnya. Jangan sampai obat yang dipakai saat ini, dikemudian hari justru mendatangkan efek samping yang tidak diinginkan.
Lantas kalo nggak efektif, apa bedanya obat tersebut dengan obat/vaksin yang dihasilkan oleh big pharma?
“Saran abang apa?” tanya seorang netizen yang lain.
Pakai saja obat yang sudah ada. Hydroxychlroquine, itu obatnya.
Setidaknya ada 3 alasan utama.
Pertama banyak sudah ilmuwan dunia telah memakai obat tersebut dan sudah dibukukan dalam jurnal ilmiah kelas dunia. Kedua, efek samping yang ditimbulkan relatif kecil, namun efektivitasnya cukup baik selain aman. Dan ketiga, elite global telah mati-matian ‘membunuh eksistensi’ obat tersebut, sampai-sampai dibuat penelitian abal-abal dari Harvard pula. (baca disini)
Kalo bukan obat potensial, ngapain juga sampai media mainstream ikut-ikutan mendegradasi hydroxychlroquine. (baca disini, disini, dan disini)
Ketimbang Indonesia repot-repot buat penelitian baru yang nggak jelas ujung pangkalnya plus boros anggaran, mending pakai template yang sudah ada. Jadi kalo ada pihak yang meragukan hydroxychloroquine, tinggal kasih unjuk jurnal ilmiahnya buat dibaca. Kalo nggak setuju, tinggal tantang balik untuk membuat solusi alternatifnya.
“Kalo nggak bisa kasih solusi, mendingan diam.”
Praktis, bukan?
Lagian sudah rahasia umum kalo ilmuwan Indonesia terkenal malas untuk menerbitkan jurnal, termasuk di bidang medis.
Sekali lagi, ini saran saya. Nggak memaksa sifatnya. Mau dipakai syukur, nggak-pun saya nothing to lose. Setidaknya sebagai analis, saya bisa kritik sesuatu kebijakan, maka saya bisa kasih solusi altenatif-nya.
Satu yang perlu dicatat, rakyat punya batas jenuh dalam menilai lambannya penanganan pada pandemi ini.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Nah masalahnya utk hcq dibilang gk bermanfaat klo pake rct bang
RCT yg dimaksud apakah randomized controlled trial?
.
Saya coba jawab ya.
1. Apakah ada penelitian relevan yg menyatakan demikian?
2. Kalo ada, bs tolong lampirkan.
3. Syaratnya jurnal penelitian ilmiah tsb hrs fair dan tdk memihak ya. Contoh: kalo blm2 penelitiannya sdh didanai big pharma, kt gak bs klaim penelitian itu bebas kepentingan. Yg sy mksd spt ini: https://www.sciencemediacentre.org/expert-reaction-to-rct-of-hydroxychloroquine-for-covid-19/
Maaf, tuh org siapa ya? Pemenang Nobel? Ilmuwan terkenal? Atau rajin bikin penelitian atau kerap nulis jurnal? Kalo nggak, ngapain jg repot2 dijadiin rujukan?
“Lagian sudah rahasia umum kalo ilmuwan Indonesia terkenal malas untuk menerbitkan jurnal, termasuk di bidang medis”.
Tu udah jawab semua masalah bang ??
Dia dokter lulusan ui, dan sedang studi phd di kobe university bang.
Bener bgt, bang! di Lombok sendiri masyarakatnya sudah mulai terlihat jenuh atas lambatnya penanganan si Kopit ini. Orang-orang sdh mulai malas dgn berita² ttg C19. sdh mulai tidak perduli, banyak yg kumpul² dlm keramaian walaupun jls² dilarang. mall² ttp ramai padat, bgtu jg dgn pasar tradisional. Diperparah dgn berita meninggalnya bayi baru lahir karena telat penanganan medis oleh pihak RS dikarenakan harus tes rapid dl sblm mendapatkan penanganan medis…kok lucu ya bang, dlm keadaan darurat msh tdk mau mendahulukan penyelamatan nyawa manusia, malah mengutamakan hasil rapid tes yg “dipertanyakan” keakuratannya