AADH (*bagian 1)


509

“Bang, kenapa nggak sekali-kali ulas kondisi luar negeri, jangan ulas masalah politik di dalam negeri mlulu?” begitu protes seorang melalui kanal media sosial.

Bingung juga ngejawabnya. Perasaan banyak juga tulisan saya yang sudah mengulas kondisi politik luar negeri.

“Mungkin dia mau abang mengulas soal trending topic yang kekinian. Kasus demonstrasi Hong Kong, misalnya,” imbuh seorang teman mencoba menjelaskan.

Kalo soal itu, kan sudah banyak yang mengulasnya. Apa masih relevan untuk membahasnya?

Tapi, oke lah. Demi memuaskan keingintahuannya, saya akan coba mengulasnya.

AADH alias ada apa dengan Hong Kong?

Banyak yang harus diulas. Karenanya, tulisan ini akan mengupasnya ke dalam dua tulisan agar pembaca bisa mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang apa yang sebenarnya terjadi di Hong Kong. Jadi bukan, katanya-katanya doang…

Namun untuk memahami kasus yang terjadi Hong Kong akhir-akhir ini, kita harus membuka ingatan kita tentang sejarah China dimasa lampau.

Seiring dengan perkembangan revolusi industri di Eropa pada abad ke 18, maka mau tidak mau, negara-negara industri yang dikenal dengan The Big Three (Inggris, Spanyol dan Perancis) dipaksa untuk mengembangkan wilayah jajahan akibat praktik merkantilisme yang mereka anut.

Merkantilisme hanya bisa berjalan jika dan hanya jika neraca perdagangan ekspor dan impor suatu negara yang dicadangkan dengan emas atau perak saat itu, jumlahnya minimal seimbang. Artinya kalo neraca impor lebih tinggi dari neraca ekspor-nya, maka cadangan emas atau peraknya bakal menukik tajam.

Dan ini tidak boleh terjadi. Maka mau tak mau, perang kudu digelar agar daerah yang kaya hasil alamnya tersebut dapat ditaklukkan dan dijadikan negara koloni, yang kelak dapat diatur-atur sesuai kemauan negara industri tersebut.

Apa yang terjadi pada hubungan dagang Inggris dan China saat itu, sungguh tidak menguntungkan Inggris. Bagaimana tidak. Inggris sangat bergantung pada produk China dari mulai sutra hingga porselin cungko yang mendunia. Sementara volume ekspor Inggris ke China jauh dibawah volume impor-nya.

Akibatnya bisa ditebak. Inggris dibuat ketar-ketir, karena emas dan peraknya terus tergerus oleh pemerintah China. Ini tidak bisa dibiarkan. Setelah diputar-putar akal, dapatlah ide untuk membuat rakyat China dibawah kepemimpinan Dinasti Qing dibuat bergantung. Pada apa? Candu.

Sejak itu, beribu-ribu peti candu diseludupkan ke China lewat pelabuhan-pelabuhan oleh para pedagang Inggris. Perlahan tapi pasti, rakyat China mulai mengkonsumsi candu dan menjadi ketagihan karenanya.

Bisa ditebak, rakyat China menjadi malas dan menurun kesehatan fisik dan mentalnya. Bego permanen, kek kampret yang dibuat bergantung pada nasi bungkus dan hobi nyebar hoaks.

Lebih parah lagi. Akibat perdagangan illegal tersebut, pundi-pundi emas dan perak pemerintahan China mulai terkuras dan melayang ke luar negeri, utamanya Inggris.

Melihat gelagat tidak beres ini, maka Dinasti Qing kemudian geram dan menghancurkan gudang-gudang penyimpanan candu para pedagang Inggris yang ada di Canton.

Bukan itu saja. Pemerintah China mengharuskan para pedagang Inggris mematuhi aturan setempat kalo mau tetap jualan di China, termasuk untuk tidak berjualan candu.

Pemerintah Inggris tentu saja meradang, dan menjawab larangan sepihak tersebut dengan menggelar perang yang kemudian dinamakan perang candu terhadap pemerintahan dinasti Qing.

Karena kurang majunya perangkat selain strategi perang, maka Dinasti Qing dipaksa keok melawan Inggris dan dipaksa menandatangani perjanjian yang berat sebelah alias unequal treaty.

Bagaimana tidak? China dipaksa melepas Hong Kong selaku wilayah teritorialnya kepada Inggris saat itu, sebagai akibat kalah perang.

Sejak itu, Hong Kong yang letaknya strategis, dieksploitasi habis-habisan oleh Inggris sebagai pelabuhan internasional, yang sudah pasti pundi-pundi keuntungannya pada akhirnya jatuh ke tangan pemerintah Inggris.

Situasi ini berjalan terus, hingga kemudian revolusi Tiongkok terjadi di tahun 1949 dan menjadikan China daratan menjadi negara sosialis. Pemerintahan tirai bambu, yang tidak mudah digertak apalagi di tekan oleh negara-negara maju semisal Inggris sekalipun.

Apa yang terjadi kemudian? Saya akan bahas pada tulisan saya yang kedua.
I’ve got to go home, now.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!