Dua Narasi Tapi Satu Sisi


518

Dua Narasi Tapi Satu Sisi

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana kita melihat plandemi Kopit belakangan ini?

Kalo bicara real, orang sudah apatis sama yang namanya Kopit. Ignorant adalah kata yang tepat untuk itu.

Coba lihat dimana-mana.

Mayoritas masyarakat sudah nggak peduli terhadap protokol kesehatan yang awalnya sangat mereka patuhi. (https://www.sciencedaily.com/releases/2021/01/210121084623.htm)

Toh pakai masker atau nggak, nyatanya Kopit masih tetap ada.

Toh mau divaksin atau nggak, nyatanya angka penderita Kopit akan terus-menerus ada.

Orang mulai apatis sama kondisi ini. Yang mereka tahu Kopit lah yang menyebabkan harga-harga kebutuhan makin melambung tinggi. Kopit jua-lah yang buat mereka terpaksa kehilangan pekerjaan dan dipaksa menghempaskan status ekonomi mereka yang awalnya mapan.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka skenario nakut-nakutin pakai senjata bernama Kopit, jadi nggak efektif.

Pertanyaannya: gimana cara agar status plandemi Kopit bisa dipertahankan?

Ada dua cara yang mungkin diambil. Pertama dengan mendorong terbentuknya pandemic treaty, dimana cukup hanya lembaga sekelas WHO yang menetapkan status plandemi tanpa perlu persetujuan dari negara tempat diberlakukannya plandemi. (baca disini)

Dan yang kedua, dengan membuat narasi palsu tentang status plandemi. Kalo anda tahu permainan good cop, bad cop, seperti itulah modus-nya.

Maksudnya?

Kita tahu bahwa China memberlakukan status nol-Kopit di negaranya yang ‘katanya’ telah berakhir. Jadi nggak boleh ada seorang-pun yang terjangkit Kopit di negeri Tirai Bambu tersebut. (https://www.dw.com/en/what-is-chinas-zero-covid-policy/a-61736418)

Pesan yang hendak disampaikan lewat kebijakan ini adalah: “Tuh lihat, kami sangat peduli pada warga kami sehingga kebijakan lockdown terpaksa diambil berulang kali guna menghentikan penyebaran Kopit.”

Padahal, mana ada ceritanya penyakit flu yang kini di-rebranding tersebut bisa dibasmi sampai tuntas-tas-tas?? (baca disini)

Sebaliknya, di dunia Barat, kebijakan yang diambil bukanlah lockdown, mengingat warganya bisa teriak keras kalo itu diberlakukan. Yang ada warganya protes, terus demonstrasi sampai kemudian melakukan aksi pemogokkan atas pemberlakukan lockdown.

Singkatnya, kebijakan lockdown tidaklah efektif untuk diberlakukan.

Terus apa yang diambil oleh negara-negara Barat dalam memperpanjang status plandemi?

Ya enjus massal, solusinya.

Pesan yang mau disampaikan jelas: “Tuh lihat China yang begitu brutal dalam memberlakukan lockdown. Kami nggak akan ambil langkah itu, karena kami menjunjung prinsip demokrasi yang nggak ada kebijakan main paksa.”

Disini kita lihat, ada dua narasi yang dimainkan. Good cop dan bad cop.

Barat mengklaim kalo mereka China terpaksa memberlakukan kebijakan lockdown karena vaksin mereka nggak mempan dalam menangkal Kopit selain angka vaksinasi yang terbilang rendah.

Sebaliknya, dunia Barat mengklaim vaksin m-RNA mereka sangat efektif dalam menahan laju penyebaran Kopit. (https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/nov/28/china-abandon-zero-covid-protests-mass-vaccination)

Untuk alasan ini, bahkan ‘katanya’, beberapa pabrikan vaksin asal Barat a.k.a Big Pharma, nggak mau melakukan transfer teknologi vaksin m-RNA kepada pabrikan vaksin asal China.

Sasus beredar, China terpaksa melakukan inovasi vaksin berbasis m-RNA buatan mereka sendiri dan itu nggak mudah. Walaupun sudah berhasil dibuat, nyatanya hanya kalangan terbatas yang bisa memakainya. (https://news.yahoo.com/china-finally-approves-mrna-covid-065627541.html)

Jadi ada dua narasi, tapi keduanya mengusung isu yang sama akan bahaya Kopit yang harus dihentikan baik dengan vaksin ‘ajaib’ maupun kebijakan penguncian. Dan jangan lupa. PCR sebagai alat deteksi Kopit, juga dipakai pada kedua pihak.

Nyatanya Kopit-nya akan tetap ada.

Pertanyaannya: apakah dengan vaksin berbasis m-RNA, lantas Kopitnya bisa langsung habis? Siapa yang bisa jamin akan hal ini? (https://www.msn.com/en-us/health/medical/opinion-after-their-pandemic-debut-mrna-vaccines-are-just-getting-started/ar-AA15aYd7)

Selanjutnya: apakah dengan lockdown lantas Kopit-nya hilang dari peredaran?

Berkali-kali saya katakan sedari awal, lockdown seketat apapun itu nggak akan pernah dapat menghentikan penyebaran si Kopit. Yang ada, ekonomi terjun bebas dan rantai pasokan global jadi terhambat. Ujung-ujungnya si Kopit juga yang disalahkan. (baca disini, disini dan disini)

Apa yang bisa disimpulkan?

Mau narasi Barat maupun narasi China, tetap saja Kopit masih terus bertengger. Sebagai akibatnya, kebijakan yang diambil kalo nggak main enjus, ya pemberlakukan lockdown. Titik.

Bukankah ini sama saja dengan yang terjadi di Ukraina saat ini? Mau pendukung Rusia maupun pendukung Rusia, memangnya agenda siapa yang sesungguhnya dimainkan disana? Bukankah agenda sang Ndoro besar? (baca disini dan disini)

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!