Siapa Butuh Pakai Masker?
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa standar yang dijadikan rujukan dalam menanggulangi penyebaran Kopit?
Banyak, tentunya. Namun semua serba subyektif yang lemah pijakan sains-nya. Saya pernah bahas tentang hal ini, di awal-awal plandemi. (baca disini, disini dan disini)
Nggak aneh, jika kebijakan itu berubah-ubah ‘sesuai selera’.
Jika pada awal-awal kebijakan 3M diterapkan, nggak lama berganti dengan 5M. Ini bisa terjadi karena semua didasarkan pada anjuran yang diterapkan oleh otoritas kesehatan dunia yang sifatnya debatable. (https://www.allianz.co.id/explore/yuk-update-3m-menjadi-5m-untuk-cegah-covid19.html)
Salah satu yang paling kontroversial adalah penggunaan masker secara eksesif. Dimanapun dan kapanpun, masker terus digunakan. Bahkan saat tidur, juga tetap digunakan, saking paranoid-nya dengan si Kopit. Kopit-nya nggak kena, malah serangan jantung yang didapat.
Masalah mendasarnya: apakah upaya menyaring virus Kopit merupakan hal yang efektif untuk dilakukan? (baca disini)
Tapi, persetan dengan semua itu. Yang penting: ‘pakai masker harga mati, karena kalo nggak pakai masker bisa mati.’ Titik.
Bahkan saat varian Omicron merebak, kebijakan ini makin diterapkan secara lebay. Salah satunya di Perancis, dimana kasus baru yang ‘katanya’ dipicu oleh varian baru tersebut, mulai merangkak naik sejak Desember 2021 silam. (https://www.nytimes.com/2021/12/31/world/paris-masks-outdoors-omicron.html#:~:text=A%20new%20mandate%20to%20wear,latest%20wave%20of%20coronavirus%20infections.)
Singkat cerita, pemerintah memberlakukan kebijakan pakai masker, bahkan ketika warga beraktivitas di luar ruangan. Yang parahnya lagi, anak kecil yang berumur 6 tahun ke atas, juga terkena aturan ini. (https://www.voanews.com/a/french-mask-mandate-includes-6-year-olds/6378560.html)
Akibat pemberlakuan kebijakan otoritarian tersebut, beberapa warga Perancis mengajukan gugatan ke pengadilan, setelah 2 minggu diberlakukan.
Hasilnya?
Tok-tok-tok. Pengadilan administratif Paris memutuskan untuk membatalkan kebijakan mandat masker pada Kamis kemarin (13/1).
Apa alasan utamanya?
“Aturan wajib pakai masker merupakan pelanggaran yang berlebihan, nggak proporsional, tidak pantas dan melanggar kebebasan pribadi,” begitu ungkap sang hakim. (https://www.reuters.com/world/europe/court-suspends-order-wear-masks-outdoor-paris-afp-2022-01-13/)
Implikasi dari keputusan pengadilan tersebut mengikat tidak hanya penduduk kota Paris yang berpenduduk 2,1 juta orang, tapi juga 7 wilayah lainnya yang berdekatan dengan Paris yang berpenduduk sekitar 12 juta orang, yang nggak perlu pakai aturan wajib masker.
Keputusan ini menambah amunisi bagi para penentang kebijakan Kopit yang ada di negara tempat Macron memimpin. Kesimpulannya: ternyata kebijakan otoritarian sekalipun, masih bisa dibatalkan oleh keputusan pengadilan.
Ini jelas lebih menarik ketimbang mengikuti kebijakan Kopit di Wakanda yang semuanya hanya ‘manut-manut’ saja saat pak Lurah nyuruh apapun untuk dilakukan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments