Kopit dan Nasib Jalur Sutra (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan, saya sudah mengulas beberapa indikator yang berkaitan dengan nasib mega proyek BRI milik Tiongkok ke depan. Ini saya paparkan agar anda dapat informasi secara berimbang. (baca disini)
Selain itu, selaku analis saya harus menjaga netralitas semaksimal mungkin, supaya analisa yang saya buat nggak timpang. Kalo bagus katakan bagus, begitupun sebaliknya. Jadi bukan ‘analisa asal bapak senang’.
Kita lanjut pada indikator berikutnya.
Di Indonesia yang menjadi mitra utama BRI di Asia, banyak proyek-proyek China yang terpaksa ditunda gegara kebijakan karantina. Salah satunya adalah proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang menelan anggaran sekitar USD 6,07 miliar. (https://www.thejakartapost.com/academia/2021/06/29/accelerating-the-607b-jakarta-bandung-high-speed-railway-project.html)
Asal tahu saja, bahwa proyek jalur kereta sepanjang 150 km tersebut dibiayai oleh China Railways International setelah mendapat pinjaman dari Bank Pembangunan China. (https://www.indonesia-investments.com/id/news/todays-headlines/infrastructure-indonesia-loan-for-jakarta-bandung-railway-signed/item7818?)
Ditambah dengan kondisi pendapatan migas Indonesia yang saat ini ‘terpuruk’, sangat diragukan bahwa proyek tersebut bisa berjalan sesuai rencana. (https://indoshippinggazette.com/2020/what-made-the-indonesia-trade-deficit-narrow-last-year/)
Pertanyaannya: uang pinjaman yang sudah digelontorkan pada proyek yang berpotensi mangkrak tersebut, apa nggak butuh pengembalian?
Sekarang kita lihat kondisi proyek-proyek BRI di Benua Hitam.
Laporan terbaru yang dirilis oleh Fitch Rating menyatakan bahwa akibat wabah Kopit, akan berdampak sangat serius pada pertumbuhan ekonomi negara-negara di Afrika, dari mulai Ghana, Angola, Kongo, Afrika Selatan, Zambia hingga Nigeria.
Dan mayoritas negara-negara tersebut mengekspor komiditas dalam jumlah besar ke China, yang kini terganggu jalur distribusinya. (https://www.msn.com/en-sg/news/other/as-coronavirus-bites-pakistan-looks-to-china-for-belt-and-road-economic-boost/ar-BB14w3D4)
Perlu anda ketahui, bahwa bank-bank pemerintah China telah meminjamkan uang senilai USD 19 miliar untuk membiayai proyek-proyek energi dan infrastruktur di Afrika sejakn2014 silam.
Kini, utang negara-negara di Afrika pada China mencapai USD 145 miliar dan sekitar USD 8 miliar akan jatuh tempo pada tahun ini. (https://www.scmp.com/news/china/diplomacy/article/3131691/chinas-loans-sub-saharan-africa-projects-rose-bit-last-year)
Sekali lagi, bagaimana cara membayar utang tersebut dengan kondisi seperti saat ini?
Kok angkanya sangat besar? Bagaimana perinciannya?
Saya coba jabarkan.
Anda tahu Huawei Technologies? Perusahaan telkom asal China tersebut telah berinvestasi setidaknya senilai USD 16 miliar di Nigeria, guna membangun jalur infrastruktur IT. (https://www.vanguardngr.com/2018/06/chinese-firms-investments-nigeria-telecoms-hit-16bn-shittu/)
Selain itu, perusahaan konstruksi asal China CCECC juga memiliki kontrak untuk membangun 4 terminal bandara internasional plus membangun jalur kereta yang menghubungkan Lagos, Kano dan Calabar serta jalur kereta api Port Harcourt-Maiduguri.
Inipun membutuhkan dana yang nggak sedikit alias milyaran dollar. (https://punchng.com/chinese-firms-handling-47bn-key-fgs-projects/)
Dan yang kasih kontribusi pembiayaan besar lainnya adalah pembangunan infrakstruktur migas di Nigeria, dimana China National Offshore Oil Corp telah berinvestasi menacapai USD 16 miliar. (https://www.voanews.com/africa/china-invests-16-billion-nigerias-oil-sector)
Yang tidak dipikirkan adalah, bahwa kesepakatan untuk membayar utangan tersebut, didapat dari pendapatan proyek-proyek tersebut. Masalahnya proyeknya nggak jalan dan migas juga terpukul, lalu bagaimana mengumpulkan uangnya buat bayar pinjaman?
Di Kenya, lain lagi ceritanya. China sudah menggelontorkan utangan bilateral bagi negara tersebut mencapai angka 72%. (https://qz.com/africa/1324618/china-is-kenyas-largest-creditor-with-72-of-total-bilateral-debt/)
Utang sebanyak itu digunakan untuk berbagai hal, terutama pembangunan jalur kereta api Mombasa-Nairobi ke Pelabuhan Mombasa (proyek Standard Gauge of Railway), yang menelan anggaran hingga USD 4 miliar. (https://www.railway-technology.com/projects/mombasa-nairobi-standard-gauge-railway-project/)
Jika sebelum pandemi si Kopit saja Kenya sudah empot-empotan bayar utangan dari China tersebut, bagaimana lagi dengan kondisi krisis saat ini yang hanya menyisakan cadangan devisa sangat minim? (https://www.generationaldynamics.com/pg/xct.gd.e190103.htm#e190103)
Yang nggak kalah tragis adalah nasib proyek BRI di Ethiopia. Meskipun banyak proyek strategis China dibangun disana, bukan berarti proses pembayaran cicilan langsam adanya.
Bahkan sebelum krisis si Kopit di tahun 2019, Ethiopia sudah minta restrukturisasi utangan dengan China. (https://www.reuters.com/article/ethiopia-china-loan-idUSL5N1VS4IW)
Hal ini bisa terjadi karena nilai impor-nya sudah melebihi nilai ekspor-nya sekitar 400% dan utang pemerintah sudah mencapai 59% dari PDB-nya. (https://www.theafricareport.com/11080/ethiopias-china-challenge/)
Dana utangan dari China bahkan mencapai USD 26 miliar, dan diperuntukkan bagi pembangunan jalur kereta api Ethiopia-Djibouti yang menelan anggaran USD 4 miliar. Inipun jadi proyek yang nggak menguntungkan karena banyaknya aksi protes di wilayah Afar.
Dan mega proyek kedua terbesar di Ethiopia yang pakai dana utangan dari China adalah pembangunan Bendungan Grand Renaissance (GERD) yang rencananya bakal dipakai guna memasok kebutuhan listrik dan juga kereta listrik-nya. (https://theconversation.com/solar-and-wind-power-could-break-the-grand-ethiopian-renaissance-dam-deadlock-158898)
Dengan kondisi geopolitik di negara Tanduk Afrika tersebut saat ini, akan sangat sulit merealisasi pembayaran utang ke China yang telah mencapai angka USD 12 miliar. (baca disini)
Meski China punya impian bakal menyiapkan dana investasi khusus bagi Afrika mencapai USD 60 miliar di tahun 2018 silam, namun apa masih realistik kondisinya kini ditengah krisis global plus kepayahan negara-negara Afrika buat membayar beban utang? (https://apnews.com/1fc21c4b22144b26bf1253d8f5c623c1)
Jadi, bagaimana nasib BRI ke depannya?
Apakah sesuai klaim China yang mengatakan bahwa krisis Kopit hanya bersifat ‘sementara dan terbatas’? (https://news.cgtn.com/news/2020-05-24/Wang-Yi-Coronavirus-to-strengthen-and-re-energize-BRI-cooperation-QKOTpIJpkc/index.html)
Silakan anda simpulkan sendiri.
Salam Demokrasi
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments