Ketika Asumsi Terus Dibangun (*Bagian 3)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian 1 dan 2 dari tulisan, saya telah mengulas tentang asumsi tentang si Kopit yang banyak dibombardir oleh media mainstream yang bertujuan membuat semua orang jadi paranoid. (baca disini dan disini).
Bersyukur karena sudah banyak yang mulai mengerti akan skenario yang tengah dimainkan, dengan membaca analisa saya. Tujuan saya cuma satu: anda nggak lagi paranoid sama si Kopit. Sebab rasa takut yang berlebihan, justru akan membuat situasi tambah runyam.
Apa nggak kasian sama pakde yang mulai pucink karena ekonomi nasional mulai minus sekian persen? (https://www.idntimes.com/business/economy/teatrika/jokowi-kalau-sampai-ekonomi-gak-naik-kuartal-iii-gak-tau-lagi-saya)
Padahal kalo mau ekonomi berputar, kata-kata Jokowi yang tempo hari layak dipegang. Apa itu? Hidup berdamai dengan si Kopit. Artinya, lakukan kegiatan seperti biasanya, tanpa harus ketakutan nan lebay dengan si Kopit. Itu kata kuncinya.
Anyway, pada bagian terakhir ini saya akan bahas tentang asumsi-asumsi lainnya yang sangat sering di ekspos oleh media mainstream.
Asumsi yang sering didengungkan adalah tentang OTG (asimptomatik people) yang dapat menyebarkan virus si Kopit. Dengan pemberitaan ini, gimana anda nggak parno? Orang yang nggak ada gejalanya, tiba-tiba bisa menularkan virus, apa nggak gawat?
Akibatnya orang mulai saling curiga, “Jangan-jangan kamu, dia, mereka adalah OTG, lagi?” Dan ujung-ujungnya makin mengentalkan keyakinannya untuk nggak beraktivitas normal seperti biasanya.
Kalo ini hanya asumsi, lalu bagaimana fakta sesungguhnya?
Penelitian yang dilakukan di China tentang infektivitas pembawa virus SARS-CoV-2 tanpa gejala (asimptomatik) yang diterbitkan pada Mei 2020 silam, memaparkan 455 subyek yang diduga OTG alias asimptomatik C19 (karena memiliki gejala si Kopit), nyatanya begitu dicek lab, tak satupun dari 455 orang tersebut yang terinfeksi si Kopit. Kalo nggak terinfeksi, lantas bagaimana bisa menularkan pada orang lain? (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7219423/)
Bahkan walaupun akhirnya merevisi pernyataaannya, pejabat WHO Dr. Maria Kerkhove sempat menyatakan, “Dari data yang kami miliki, tampaknya masih sangat jarang bahwa orang tanpa gejala benar-benar menularkan infeksi virus ke individu sekunder. Itu sangat jarang.” (https://www.cnbc.com/2020/06/08/asymptomatic-coronavirus-patients-arent-spreading-new-infections-who-says.html)
Tentang orang tanpa gejala, saya pernah mengulasnya dengan komplit. (baca disini)
Lalu apa asumsi berikutnya?
Penetapan social distancing, yang katanya didukung oleh bukti yang ilmiah yang akurat. Kalo ada, tolong tunjukkan, penelitian yang mana dan gimana impact-nya terhadap aturan bakunya? Apakah aturannya 6 kaki, 1,5 meter, 2 meter atau 1 meter?
Bingung sendiri ngejawabnya, kan? Karena apa? Nggak ada bukti ilmiahnya. Akibatnya aturan di tiap negara jadi beda-beda, sesuai dengan suka-sukanya pemerintah aja.
Sebuah penelitian yang dirilis oleh The Lancet malah bilang kurleb begini, “Nggak ada bukti ilmiah yang mendukung penetapan jarak sosial yang dapat menghalangi laju infeksi virus.” (https://www.telegraph.co.uk/news/2020/06/15/no-scientific-evidence-support-disastrous-two-metre-rule/)
Bahkan penasihat pemerintah Inggris yang bernama Robert Dingwall mengamini hal tersebut, “Aturan jarak 2 meter itu, datangnya dari mana? Tidak ada dasar ilmiah untuk penetapan jarak 2 meter, karena tidak ada literatur ilmiah yang mendukungnya.” (https://metro.co.uk/2020/04/25/two-metre-social-distancing-rule-conjured-nowhere-professor-claims-12609448/)
Misal nih, anda naik angkot yang lebarnya nggak sampai 2 meter, apakah itu berarti hanya anda yang boleh naik angkot berdasarkan aturan social distancing? Rugi bandar kalo begitu kejadiannya.
Asumsi berikutnya yang sering dipakai oleh media mainstream adalah perihal pemakaian masker. Pakai masker oleh orang sehat wajib hukumnya, karena didukung bukti yang ilmiah.
Tentang ini saya pernah ulas. (baca disini)
Nyatanya, berdasarkan hasil penelitian dikatakan bahwa, “Masker itu dirancang untuk ahli bedah atau orang yang sakit. Jadi bukan untuk orang yang sehat.” (https://thefreedomarticles.com/unmasking-the-truth-masks-weaken-dont-protect-you/)
Bahkan penggunaan masker pada orang sehat, justru memicu hipoksia alias rendahnya oksigenasi. Apa dampak dari hipoksia? Macam-macam, mulai dari memicu kelelahan, kelemahan dan kekebalan tubuh yang rendah. Dengan kekebalan tubuh yang rendah, bukankah anda jadi rentan tertular penyakit?
“Tapi selama ini saya memakai masker untuk melindungi anak saya agar tidak tertular penyakit yang disebabkan oleh saya, dan itu efektif kok?” ungkap seorang netizen.
Dalam medis, efektif atau tidaknya sesuatu, harus didukung oleh penelitian. Jadi ada dasar ilmiahnya, dan bukan pakai perasaan. Kalo hanya ngandelin perasaan, buat apa harus sekolah tinggi-tinggi, mbakyu?
Parahnya, kebanyakan masker yang dipakai orang-orang, terbuat dari bahan kain. Jadi mana bisa menghentikan laju sebuah virus yang berukuran nanometer alias sangat-sangat kecil.
Yang ada, masker tersebut malah jadi sarang mikroba, karena kondisi hangat dan lembab yang diciptakannya saat dipakai.
Dr. Russel Blaylock juga mengatakan, “Hipoksia dapat terjadi seiring penggunaan masker berjam-jam, yang dapat memicu gangguan kekebalan tubuh dalam diri seseorang, dengan cara menghambat sel kekebalan tubuh dalam melawan virus yang disebut CD4 + T –lomfosit. Ini bisa terjadi karena hipoksia justru akan menstimulasi sel penghambat kekebalan tubuh ayng disebut Treg.” (https://www.jpost.com/health-science/could-wearing-a-mask-for-long-periods-be-detrimental-to-health-628400)
Aliasnya, alih-alih mau sehat, anda yang pakai masker justru malah berisiko tertular infeksi penyakit yang lebih parah lagi.
Sebenarnya masih banyak asumsi-asumsi lainnya yang kerap didengungkan oleh media mainstream. Cuma nanti kalo disebutin satu-persatu, tulisan saya bakal panjang dan mirip kek sinetron berseri ala Indosiar.
Setelah baca paparan saya, saya berharap cuma 1, agar anda nggak jadi makin panik karena saban hari baca berita tentang si Kopit.
Cukup ketawain aja, atau lebih bagus lagi jangan digubris. Propaganda tidak akan berkembang pada masyarakat yang kritis.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments