Swedia Punya Jawabannya (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Mengapa Swedia menolak menetapkan lockdown yang sangat dianjurkan oleh WHO? Apa yang melatar belakanginya? Kemana juga perkembangan kasus si Kopit di negara tersebut? Dan bagaimana skenario si Kopit kemungkinan berakhir disana?
Pertanyaan itu paling banyak ditanyakan kembali ke saya, selaku pihak yang (mungkin) paling banyak mengekspos analisa geopolitik tentang kasus si Kopit di negara tersebut.
Saya akan bahas semuanya dalam 2 bagian tulisan, mengingat banyak informasi yang akan saya berikan dalam menjawab pertanyaan tersebut.
Kita mulai ya…
Begitu Swedia menolak penetapan lockdown pada negara tersebut, otomatis Swedia ngajak perang. Kenapa? Karena program lockdown yang didengungkan WHO, jelas punya agenda terselubung. Agenda siapa lagi kalo bukan elite global, seperti yang saya sering ulas. (baca disini, dan disini)
Sejak saat itu, komunitas Eropa mulai berbicara ‘miring’ tentang Swedia yang dianggap BERSIKAP ANEH. “Kok hampir semua negara di Eropa lockdown, eh dia malah nggak. Apa udah bosen hidup?” begitu kurleb-nya. (https://www.politico.eu/article/sweden-coronavirus-lessons/)
Dalam bayangan orang awam (yang dibentuk oleh media mainstream), menolak lockdown artinya SIAP-SIAP SETOR NYAWA, karena akan MENGHASILKAN BANYAK KEMATIAN.
Akibatnya, bukan saja orang Eropa yang buka suara, tapi antek-antek elite global di belahan dunia lain-pun dipaksa buka suara.
“Kebijakan C19 Swedia merupakan kebijakan yang bodoh,” demikian ungkap Nick Cohen. (https://www.theguardian.com/world/commentisfree/2020/may/23/sweden-covid-19-policy-model-for-right-also-a-deadly-folly)
Bahkan pernyataan Thomas Erdbrink lebih keras lagi, “Swedia mencoba status baru bagi negaranya dengan menjadi negara Paria.” (https://www.nytimes.com/2020/06/22/world/europe/sweden-coronavirus-pariah-scandinavia.html)
Kok bisa Swedia ambil kebijakan anti lockdown seperti itu?
Saya kasih tahu: “Kebijakan Swedia untuk tidak menerapkan lockdown, bukan kebijakan sehari jadi. Ada proses panjang yang melatar belakanginya.”
Maksudnya?
Swedia telah lama menerapkan kebijakan pertahanan negara. Itu yang sekarang mereka jalankan. Jadi bukan semata-mata untuk melawan si Kopit, tapi mereka tahu ada ‘skenario’ yang SENGAJA dijalankan untuk merongrong negara tersebut, lewat serangan si Kopit.
“Konsep pertahanan negara sudah ada sejak PD II dan disempurnakan saat Perang Dingin berlangsung,” demikian kurlebnya. Intinya setiap WN Swedia harus siap bela negara bila dibutuhkan. (https://www.nato.int/docu/review/articles/2018/04/04/resilience-planning-for-swedens-total-defence/index.html)
Saat berhadapan dengan 2 kekuatan besar yang pernah ada di Eropa (Nazi Jerman dan Uni Soviet), Swedia nggak punya pilihan lain selain melibatkan seluruh WN-nya untuk aktif bela negara.
Baik sipil, pebisnis hingga sukarelawan, semua dilibatkan dalam dinas kemiliteran dan pelatihan bela negara lainnya, terutama saat negara ‘membutuhkannya’.
Tahu Volvo? Perusahaan otomotif tersebut telah lama menjadi rekanan pemerintah Swedia, dan selalu dalam keadaan siap untuk memproduksi kendaraan bila terjadi perang. (https://www.politico.com/news/magazine/2020/07/03/what-sweden-can-teach-us-about-coronavirus-348462)
Namun, seiring berakhirnya Perang Dingin, program bela negara sempat mereda. Baru kemudian saat aneksasi Krimea oleh Rusia, di tahun 2015 pemerintah Swedia kembali menghidupkan program tersebut. (https://www.forsvarsmakten.se/sv/om-forsvarsmakten/totalforsvaret/)
Jangan aneh kalo perang melawan si Kopit, dilandasi spirit yang sama. Jadi semua WN saling bahu membahu untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan diri sendiri. Dan Stockholm telah mempertaruhkan kebijakan BERKELANJUTAN tersebut demi untuk MELINDUNGI WARGANYA.
“Kebijakan yang diberlakukan di hampir semua wilayah Eropa hanya berfungsi dalam jangka pendek, BUKAN BERKELANJUTAN seperti yang kami terapkan,” demikian ungkap Dr. Anders Tegnell ahli epidemiologi paling berpengaruh di Swedia. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-05-01/trump-s-latest-attack-on-sweden-revives-covid-19-controversy)
Dan ini perlu partisipasi aktif dari seluruh warganya, yang NGGAK MUNGKIN DIHARAPKAN dari WN yang diperlakukan pasif, dengan menyuruh mereka untuk stay at home alias di-lockdown, DENGAN PERLAKUAN SEDIKIT-DIKIT MAIN ANCAM ATAU KASIH DENDA.
“Itu sama saja dengan memperlakukan warga kek anak kecil aja.”
Sebaliknya, dengan berperan aktif, otomatis setiap WN memiliki tanggungjawab yang sama dalam menjaga keamanan bersama, dengan menjalankan instruksi yang diberikan pemerintah.
Ini terbukti dari hasil survei yang dilakukan pemerintah Swedia. “Sebanyak 93% WN Swedia mengatakan bahwa mereka mengikuti rekomendasi yang diberikan pemerintah TANPA PAKSAAN.” (https://www.expressen.se/tv/nyheter/coronaviruset/ny-matning-stockholmare-bast-pa-social-distansering/)
Apakah kebijakan yang diambil Swedia efektif?
Setidaknya Dr. Mike Ryan selaku ahli darurat di WHO, telah mengatakan, “Jika kita ingin mencapai normal baru, dalam banyak kasus Swedia mewakili model tersebut,” (https://sverigesradio.se/sida/artikel.aspx?programid=2054&artikel=7463561)
Artinya apa? Kebijakan anti-lockdown pemerintah Swedia SUDAH TEPAT.
Gak percaya?
Coba kita lihat statistika-nya. Saat ini (15/7) Swedia menderita 76.001 infeksi si Kopit, dengan 5445 orang meregang nyawa. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/sweden/)
Dibandingkan dengan negara Eropa lainnya, angka kematiannnya pasti lebih besar.
Tapi nanti dulu. Penting untut dicatat bahwa jumlah kematian TERBESAR di Swedia justru terjadi RUMAH PERAWATAN alias panti jompo (sekitar 2036 orang) dan 1062 orang lainnya adalah lansia yang meninggal di rumah yang dirawat oleh pengasuh yang didanai oleh pemerintah. (https://www.expressen.se/nyheter/coronaviruset/sa-manga-aldre-har-dott-eller-smittats-av-corona-dar-du-bor/)
Aliasnya, dari 5445 angka kematian tersebut, LEBIH DARI SETENGAHNYA merupakan lansia berusia uzur yang tanpa si Kopit-pun boleh dibilang tinggal menunggu waktu saja.
Jelas ada masalah dalam penanganan si Kopit pada para manula di Swedia. Tapi kalo dikatakan kebijakan anti lockdown ala Swedia dianggap gagal, main ente kurang jauh.
Lalu bagaimana kemungkinan ke depan pada kasus si Kopit di Swedia? Katanya ada temuan baru. Apa itu? Saya akan bahas pada bagian kedua nanti.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis geopolitik)
0 Comments