Apa Masalahnya Dengan Test?
Oleh: Ndaru Anugerah
Berseliweran kabar burung di WAG yang menyatakan bahwa perusahaan akan mengharuskan setiap karyawannya untuk di test C19 dalam rangka new normal life. Ini jelas buat beberapa orang panik.
Bukan kenapa-kenapa. Kalo hasil test-nya akurat dan dapat dipertanggungjawabkan sih oke-oke aja. Nah kalo nggak?
Misal nih, seseorang nggak punya gejala C19 lalu di test dan hasilnya positif, apa nggak berabe? Perlakuan isolasi hingga prosesi penguburan ala protokol C19 yang dikubur tanpa dihadiri handai taulan, sudah terbayang di kepala. Padahal sakitnya bukan berasal dari C19, tapi sebab lain.
“Bisa dikasih pencerahan Bang, tentang hal ini?” tanya lirih seorang diujung sana.
Saya pernah bahas tentang pengujian C19 pada ulasan saya beberapa minggu yang lalu. (baca disini) Intinya pengujian itu sungguh membingungkan, gunanya apa.
Biar anda sekalian tahu bingungnya dimana, saya coba kasih penjelasan kembali.
Virus Corona pernah melanda dunia di tahun 2003, cuma variannya beda. Dulu SARS CoV-1, nah sekarang SARS CoV-2. Dulu kurang menular, tapi cukup mematikan. Nah, sekarang kebalikannya.
Gejala C19 ada dua tipe, mayor dan minor. Gejala mayor seperti batuk, dyspnea (kesulitan bernafas), nyeri dada, anosmia (hilangnya indera penciuman), serta dysgeusia (rasa tidak normal) tanpa sebab yang jelas.
Sedangkan gejala minor seperti: demam, nyeri otot, kelelahan hingga sakit tenggorokan.
Kalo anda punya gejala mayor atau minor, anda secara klinis sudah DICURIGAI mengidap C19. Untuk tahu pastinya, anda kudu di test. Pengujian yang standar dilakukan adalah dengan RT PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction).
RT PCR ditemukan oleh Dr. Kary Mullis seorang pemenang Nobel pada bidang Kimia di tahun 1993. RT PCR mampu mendeteksi SEJUMLAH KECIL RNA pada kasus C19. (https://covid-19.sciensano.be/sites/default/files/Covid19/COVID-19_procedure_hospitals_FR.pdf)
Apa parameter suatu test dikatakan baik?
Ada 2 indikator utama. Pertama sensitivitasnya dan kedua spesifikasinya. Sensitif artinya kemudahan dalam mengidentifikasi target, sedangkan spesifik artinya kemampuan dalam mengidentifikasikan target. Test yang baik bukan saja sensitif, tapi juga spesifik.
Maksudnya apa? Semakin kurang sensitif suatu test, maka akan semakin banyak jumlah pasien negatif palsunya (dikira tidak terinfeksi, tahunya terinfeksi). Sebaliknya, semakin spesifik suatu test, maka akan semakin banyak false positive yang bakal terjadi.
Menurut arahan WHO, teknik RT PCR sangat dianjurkan untuk digunakan, karena dianggap cepat dalam memperoleh hasilnya, tingkat sensitivitas cukup tinggi dan gampang direproduksi di tiap negara. (https://www.revmed.ch/RMS/2007/RMS-106/32181)
Apakah demikian adanya? Ada beberapa fakta yang perlu anda ketahui.
Pertama, RT PCR tidak bisa mendeteksi virus, melainkan hanya bisa mendeteksi jejak genetik (RNA) dari virus. Jadi bila hasil test RT PCR nya positif, tidak selalu menunjukkan adanya virus lengkap. Padahal virus yang lengkap dan utuh merupakan faktor utama dalam penularan C19 yang perlu diketahui. (https://www.fda.gov/medical-devices/emergency-situations-medical-devices/faqs-testing-sars-cov-2)
Kedua, RT PCR nggak bisa menghitung viral load alias jumlah virus. Test tersebut hanya bisa mendeteksi keberadaan virus atau tidak. ITUPUN HANYA JEJAK VIRUS, BUKAN VIRUS UTUH. Padahal jumlah virus sangat menentukan tingkat infeksi yang dimiliki seseorang.
Dan yang ketiga, RT PCR tekniknya lumayan ribet sementara memiliki banyak keterbatasan. Apalagi dalam mendeteksi virus RNA yang ada pada C19.
Ingat Presiden Tanzania – Dr. John Magifuli – yang menguji seekor kambing dan pepaya dengan alat uji RT PCR dan hasilnya positif? Artinya apa? Kehandalan test patut dipertanyakan. “Masa kambing positif Corona? Yang Bokir ahh…”
Dilain pihak, Magifuli cuma mau ngomong, “Sesungguhnya C19 bukanlah penyakit yang mematikan.” Padahal WHO sudah memberlakukan status pandemi pada C19. Nyatanya fake pandemic. (baca disini)
Ini bisa terjadi karena alat test yang dipakai, sudah terkontaminasi dengan banyak faktor, dari mulai jamur, bakteri hingga virus itu sendiri. Di Amrik salah satunya. (https://dailygeekshow.com/tests-contamines-coronavirus/)
Itu di Amrik lho yang fasilitas dan kualitas kesehatannya dianggap baik. Bijimane di negeri ber-flower?
Kalo anda kurang yakin pada pendapat saya, saya kasih tahu tokoh medis yang punya reputasi internasional. Namanya Prof. John P.A. Ioannidis dari Fakultas Kedokteran Universitas Standford. Beliau adalah salah satu spesialis yang sangat terkenal di dunia pada bidang epistemologi kesehatan. (https://fr.wikipedia.org/wiki/John_Ioannidis)
“Test PCR yang digunakan dalam krisis C19 tidak bisa diandalkan. Kami telah membuat keputusan yang salah tanpa data yang dapat dipercaya (dengan memakai test tersebut),” begitu ungkap beliau. (https://www.youtube.com/watch?time_continue=1683&v=cwPqmLoZA4s&feature=emb_logo)
Kesimpulannnya, test diagnostik yang menggunakan RT PCR jauh dari kata ‘DAPAT DIANDALKAN’. Misalnya nih, anda tiba-tiba didiagnosis positif C19 sekalipun, percayalah bahwa itu hanyalah fragmen RNA dari virus tersebut, tapi bukan penyakit C19. Jadi nggak guna juga hasil test-nya buat apa.
Mulai paham, kan?
Saran saya satu: “Pakai akal sehat anda sajalah untuk menjawab masalah yang kini anda hadapi.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments